Setelah pemberontakkan PKI yang dilakukan pada tahun 1965 kembali gagal, para petinggi PKI menjadi target utama penangkapan. Para petinggi seperti D.N Aidit, Sjam Kamaruzaman, dan petinggi-petinggi lainnya tertangkap dan dieksekusi tanpa proses pengadilan. Sejak Maret 1966, Partai Komunis Indonesia (PKI) kemudian menjadi partai terlarang. Dari petinggi-petinggi yang telah tertangkap dan dieksekusi, masih ada petinggi-petinggi PKI yang belum tertangkap, salah satunya adalah Sudisman. Dia adalah anggota tertinggi keempat dari Politbiro Partai Komunis Indonesia, dan merupakan salah satu dari lima pemimpin senior PKI yang diadili.
Selama pelarian, Sudisman sempat mencoba mengatur kembali PKI menjadi gerakan bawah tanah setelah para pemimpin senior lainnya ditangkap dan dieksekusi. Dia bertindak sebagai pemimpin PKI untuk waktu yang singkat sebelum penangkapannya. Niat Sudisman untuk memperbaiki partai harus dikubur dalam-dalam. Pada penghujung tahun 1966, tepatnya pada 6 Desember, ia tertangkap di sekitar Tomang. Sudisman kemudian ditahan di dalam sel berukuran 2,20 x 3,60 meter selama lebih dari 7 bulan atau tepatnya 211 hari terhitung mulai 6 Desember 1966.
Penjara bukanlah hal baru baginya, waktu muda dia pernah dipenjara pemerintah kolonial karena persdelict. Sebagai sosok petinggi PKI, track record Sudisman tidak bisa dipandang sebelah mata. Bersama Amir Sjarifuddin, ia menjadi bagian dari jaringan kelompok PKI ilegal saat penjajahan Jepang. Keduanya kala itu bergerak di akar rumput bersama rakyat. Sudisman dikenal sebagai organisator yang jitu dan cerdik, maka ia dijuluki the king maker. Ia juga dikatakan sebagai “kamus berjalan” yang bisa dimintai bantuannya bila seseorang lupa atau tak mampu mengingat-ingat suatu hal penting yang ingin dikemukakan.
Ketika PKI bergerak di bawah tanah dan ilegal pada zaman pendudukan Jepang, Sudisman pernah dijatuhi hukuman bui selama 8 tahun. Beruntung, hukuman itu tidak dijalaninya secara penuh karena Jepang terlebih dahulu hengkang dari tanah air pada tahun 1945. Setelah bebas, dia menjadi pimpinan Pemuda Republik Indonesia (PRI) dan juga anggota Komite Nasional Indonesia (KNI) Jawa Timur. Ketika organisasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) berdiri pada 10 November 1945, menurut Norman Joshua Soelias dalam Pesindo: Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950 (2016), Sudisman termasuk menjadi salah satu pendirinya.
Ia mendirikan Pesindo bersama Wikana, Ruslan Widjajasastra, Krissubanu, dan lainnya. Pesindo kemudian menjadi organ pemuda yang sangat berpengaruh. Setelah Kongres III Pesindo pada 12 November 1950, Pesindo kemudian berganti nama menjadi Pemuda Rakyat (PR). Organisasi pemuda itu belakangan menjadi onderbouw PKI dan ikut dibubarkan setelah pemberontakkan 1965.
Menurut Soe Hok Gie, dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, dalam susunan organisasi yang dibentuk pada 1948 setelah Musso kembali dari Eropa, Sudisman masuk ke dalam struktur PKI di seksi organisasi. Menurut pengakuannya sendiri, seperti terbaca dalam Pleidoi Sudisman: & Statement politiknya menyon[g]song eksekusi (2001), Sudisman menjadi Kepala Organisasi Central Comite (CC) alias pengurus pusat PKl.
Kedatangan Musso memang mengubah secara dramatis jalan perjuangan PKI. Musso datang bukan hanya untuk mengambil alih PKI, namun juga mendorong PKI mengambil jalan yang lebih radikal dan memuncak pada peristiwa Kudeta Madiun 1948. Setelah pemberontakkan tahun 1948 yang gagal, banyak para petinggi PKI yang dieksekusi termasuk Muso. Namun tidak semua anggota dan petinggi PKI mati terbunuh. Mereka yang berhasil lolos dari pembersihan membangun kembali partai itu. Termasuk Sudisman yang pada tahun 1950, "diangkat sebagai Sekretaris CC PKI.
Di bawah kepemimpinan D.N. Aidit yang masih terhitung muda pada awal 1950an, Sudisman dipercaya untuk urusan organisasi sebagai Sekretaris CC PKI. di bawah kepemimpinan D.N. Aidit yang masih terhitung muda pada awal 1950an, Sudisman tampaknya begitu dipercaya untuk urusan organisasi. Ketika menjabat sebagai anggota Politbiro PKI, dia juga menjadi Anggota Departemen Organisasi PKI. Di luar urusan partai, Sudisman adalah anggota parlemen, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong-Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (DPRGR-MPRS).
Saat ditangkap setelah pemberontakkan PKI tahun 1965, Sudisman memilih menggunakan pengadilan untuk menjelaskan sikap PKI -- setidaknya mewakili empat kameradnya itu. Dan ia menyadari benar bahwa pledoinya akan menjadi dokumen sejarah. Kesadaran itulah yang membimbingnya untuk memanfaatkan "panggung" Mahmilub dengan sebaik mungkin.
Ketika persidangan itu berlangsung, ia mengaku sedikit kecewa lantaran persidangan tersebut tidak terbuka untuk masyarakat luas. "Sungguh sayang bahwa sidang-sidang Mahmilub yang mengadili perkara saya ini tidak disiarkan oleh RRI seperti halnya dengan sidang-sidang Mahmillub yang lalu sejak mengadili perkara Sdr. Dr. Subandrio.Walaupun tidak disiarkan oleh RRI, saya yakin bahwa secara "getok-tular", secara berantai akan sampai pada mereka, sebab "mondblad", (suara dari mulut ke mulut), adalah lebih cepat tersiar daripada "staatsblad" (suara pemerintah).
Dalam sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILUB) tahun 1967, Sudisman memaparkan penjelasannya tentang kejadian 30 September 1965. Dalam sidang itu Sudisman tidak menyangkal keterlibatannya dalam G30S yang menculik dan membunuh para jenderal Angkatan Darat. Di persidangan secara terbuka dia mengatakan: “Saya sendiri terlibat dalam G30S, tetapi PKI sebagai Partai tidak terlibat dalam G30S.” Baginya, gerakan yang tak melibatkan massa rakyat seluruh pendukung PKI se-Indonesia hanyalah sebuah avonturisme (petualangan politik) petinggi partai.
“Bagaimana pun juga, sebagai pimpinan tertinggi yang masih hidup, saya memakai kesempatan ini untuk meminta maaf atas apa yang terjadi.” Paparan Sudisman tersebut ia beri judul "Uraian Tanggung Jawab" sebagai hasil dari perenungannya selama mendekam dalam tahanan. Ia merasa bertanggung kepada rakyat dan Partai Komunis Indonesia, rakyat yang dimaksud ialah kaum buruh, kaum tani, borjuis kecil di luar kaum tani termasuk kaum intelektual revolusioner, dan borjuis nasional yang anti-imperialis dan anti tuan tanah (anti-feodal).
Sudisman mengatakan dengan jelas: "Saya dengan mereka [Aidit, Njoto, Lukman, Sakirman] membangun kembali PKI sejak tahun 1951, dari kecil menjadi besar, dari berpolitik salah menjadi berpolitik benar, dari terisolasi menjadi berfront luas, dari kurang belajar teori menjadi mulai belajar teori Marxisme – Leninisme, dan karena tidak menguasai teori Marxisme – Leninisme secara kongkrit kemudian berakhir terpelanting dalam kegagalan’ G-30-S yang membawa kerusakan berat pada PKI."
“Para petinggi PKI, Tanpa mengindahkan ketentuan-ketentuan organisasi melibatkan diri ke dalam G30S yang tidak berdasarkan kesadaran dan keyakinan yang tinggi massa Rakyat.” G30S nyatanya menjadi jalan yang justru menghancurkan PKI. G30S, “telah menyebabkan terpencilnya partai dari massa rakyat. Kalau sudah jauh dari massa rakyat, yang harusnya jadi pendukung utama PKI, maka habis sudah PKI."
Ia menampik keterlibatan PKI sebagai organisasi dalam G30S. Akan tetapi, kata Sudisman, "Saya pribadi terlibat dalam G-30-S yang gagal. Kegagalan ini berarti pula kegagalan saya dalam memimpin PKI, sehingga mendorong menjadi unggulnya pihak lawan politik PKI." Baginya sangat jelas: G30S adalah kesalahan fatal yang dari sanalah PKI harus ikut-ikutan memikul akibatnya. Dan untuk semua akibat fatal itu, bagi Sudisman, seluruh pemimpin PKI harus memikul tanggungjawab.
"Kalau pimpinannya baik dan beres seharusnya hal seperti itu tidak terjadi," demikian Sudisman melakukan otokiritik. Dan sebagai satu-satunya petinggi PKI yang masih hidup, ia memikul tanggungjawab untuk mewakili empat kameradnya yang lain. Sudisman mengatakan: "Mereka berempat adalah saya, dan saya adalah mereka berempat, sehingga solidaritas Komunis mengharuskan saya untuk menunggalkan sikap saya dengan mereka berempat dan memilih 'jalan mati'." Ia memilih jalan mati yaitu jalan berlima menunggal jadi satu, jalan yang telah dilalui oleh kawan-kawannya seperti DN Aidit, MH Lukman, Njoto dan Sakirman. Jalan itu ia pilih karena setiap jalan yang dilaluinya pasti akan mengarah kepada kematian. Maka dari itu ia memilih jalan pendek dengan hukuman mati seperti teman-teman seperjuangannya. Ia kemudian divonis bersalah dan dijatuhi hukuman mati.
Itulah uraian tanggung jawab yang dipaparkan oleh Sudisman, salah seorang dari anggota tertinggi politbiro PKI. Ketika berada dalam persidangan Mahmilub, dia berusaha untuk membersihkan nama baik PKI dengan mengatakan bahwa pemberontakkan itu adalah sebuah petualangan politik. Sudisman dengan yakin mengatakan “Walaupun PKI sekarang sedang rusak berkeping-keping, saya tetap yakin bahwa ini hanya bersifat sementara dan dalam proses sejarah nantinya PKI akan tumbuh kembali, sebab PKI adalah anak zaman yang dilahirkan oleh zaman.” Dari pernyataannya itu, maka secara tidak langsung mengatakan bahwa ideologi komunis masih ada di Indonesia dan diharapkan untuk bangkit kembali oleh orang-orang seperti Pak Sudisman.
Sumber Referensi :
id.wikipedia.org,
marxists.org,
suara.com,
tirto.id,
0 komentar:
Posting Komentar