Lagu Genjer-genjer seakan menjadi Mars pemberontakkan PKI pada tahun 1965. Akibatnya, pencipta lagu genjer-genjer ditangkap oleh CPM (Korps Polisi Militer) karena dinilai sebagai anggota PKI. Pada pemberontakan 1965, PKI menargetkan para petinggi angkatan darat yang berseberangan dengan agenda PKI, karena angkatan darat adalah pasukan yang menghentikan pemberontakan pada tahun 1948. Maka dari itu, genjer-genjer diplesetkan menjadi jendral-jendral. Sebelum lagu genjer-genjer menjadi identik dengan lagu PKI, terdapat yel-yel yang lebih dulu diteriakkan dari pada lagu genjer-genjer. Pada pemberontakkan PKI tahun 1948, yel-yel yang paling terkenal adalah “Pondok Bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati.” Yel-yel inilah yang diteriakkan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun pada tahun 1948. Sebuah rima yang menggambarkan bahwa para kaum muslim adalah target utama mereka.
Saat Pemberontakan PKI pada tahun 1927 gagal, Muso
harus kabur ke Moskow untuk menghindari penangkapan. Disaat itulah Muso bertemu
dan belajar ideologi komunis kepada Stallin yang masih menggunakan ideologi
Karl Marx. Karl Marx menganggap agama adalah candu bagi masyarakat, dan
mengatakan menghujat agama adalah syarat utama dari semua hujatan.
Karl Marx juga pernah mengatakan "Bila waktu tiba kita tidak akan
menutup-nutupi terorisme kita. Kami tidak punya belas kasihan dan kami tidak
meminta dari siapapun rasa belas kasihan. Bila waktunya tiba kami tidak
mencari-cari alasan untuk melaksanakan teror cuma ada satu cara untuk
memperpendek rasa ngeri mati musuh-musuh itu dan cara itu adalah teror
revolusioner." Dari sini kita
dapat melihat bahwa ideologi komunisme melakukan berbagai macam cara agar dapat
menjadi kasta tertinggi dalam sebuah negara.
Saat berdirinya negara komunis di Uni Soviet oleh Lenin,
begitu banyaknya korban berjatuhan. Bahkan Lenin mengatakan "Saya suka mendengarkan musik yang
merdu tetapi di tengah-tengah revolusi sekarang ini yang perlu adalah membelah
tengkorak, menjalankan keganasan dan berjalan dalam lautan darah dan tidak jadi
soal bila 3/4 penduduk dunia habis asal yang tinggal 1/4 itu Komunis. Untuk
melaksanakan Komunisme kita tidak gentar berjalan di atas mayat 30 juta
orang."
Ideologi inilah yang dipelajari oleh Muso selama
berada di Uni Soviet. Setelah situasi cukup tenang di Indonesia, Muso kembali
ke Indonesia dengan membawa ajaran Karl Marx yang menganggap agama adalah musuh
utama. Ajaran Karl Marx dibawa mentah-mentah kemudian ditanamkan kepada
anggota-anggota komunis di Indonesia. Sejak 18 September 1948, Muso mulai memproklamirkan
negara Soviet Indonesia di Madiun. mereka melakukan pemberontakan dan
pembantaian disekitar Madiun.
Melalui yel-yel itu, penyerangan sadis PKI dilakukan dengan
merusak bangunan pondok pesantren, membubarkan langgar dan membantai para kiai
dan santri yang mereka temui. Lebih parahnya, sebelum yel-yel itu
dikumandangkan di berbadai desa, kota, jalan dan gang-gang. Para anggota PKI seperti
sudah menyiapkan lubang-lubang untuk membantai para kiai dan santri. Di
berbagai lubang itulah, para kiai dan santri disembelih secara masal bahkan
dikubur hidup-hidup. Akibatnya, banyak tempat-tempat yang menjadi saksi bisu
kekejaman anggota PKI terutama di daerah Magetan.
Pemberontakan dimulai dari Madiun, kemudian merembet
ke Magetan, Ponorogo, dan Pacitan. Mereka banyak membantai dan menghabisi Kiai
dan Santri di sekitar Magetan. Sekitar 168 orang tewas dan ada yang dikubur
hidup-hidup. PKI Kemudian mulai melakukan terror ke Ponorogo Dengan sasaran utamanya
Pondok Modern Darussalam Gontor. KH. Imam Zarkasyi (Pak Zar) dan KH Ahmad Sahal
(Pak Sahal) dibantu kakak tertua beliau berdua, KH Rahmat Soekarto (yang saat
itu menjabat sebagai Lurah desa Gontor), pun berdiskusi bagaimana menyelamatkan
para santri dan Pondok.
“Wis Pak Sahal, penjenengan ae sing Budhal ngungsi
karo santri. PKI kuwi sing dingerteni Kyai Gontor yo panjengan. Aku tak jogo
Pondok wae, ora-ora lek dikenali PKI aku iki. (Sudah Pak Sahal, Anda saja yang
berangkat mengungsi dengan para santri. Yang diketahui Kyai Gontor itu ya Anda.
Biar saya yang menjaga Pesantren, tidak akan dikenali saya ini,” kata Pak Zar.
Pak Sahal pun menjawab: “Ora, dudu aku sing kudu
ngungsi. Tapi kowe Zar, kowe isih enom, ilmu-mu luwih akeh, bakale pondok iki
mbutuhne kowe timbangane aku. Aku wis tuwo, wis tak ladenani PKI kuwi. Ayo Zar,
njajal awak mendahno lek mati“. (Tidak, bukan saya yang harus mengungsi, tapi
kamu Zar. Kamu lebih muda, ilmumu lebih banyak, pesantren ini lebih membutuhkan
kamu daripada saya. Saya sudah tua, biar saya hadapi PKI-PKI itu. Ayo Zar,
mencoba badan, walau sampai mati”.
Akhirnya, diputuskanlah bahwa beliau berdua pergi
mengungsi dengan para santri. Penjagaan pesantren di berikan kepada KH Rahmat
Soekarto. Kemudian Berangkatlah rombongan pondok Gontor kearah timur menuju Gua
Kusumo, saat ini dikenal dengan Gua Sahal di Trenggalek. Mereka menempuh jalur
utara melewati gunung Bayangkaki. Pak Sahal pun berujar,“Labuh bondo, labuh
bahu, labuh pikir, lek perlu saknyawane pisan” (Korban harta, korban tenaga,
korban pikiran, jika perlu nyawa sekalian akan aku berikan”.
Sehari setelah santri-santri mengungsi, para PKI akhirnya
sampai ke pondok. Mereka langsung bertindak ganas dengan menggeledah seluruh
pondok Gontor. Para anggota PKI mulai menyerang pondok dengan menembakkan
senjata. Mereka sengaja memancing dan menunggu reaksi orang-orang di dalam
pondok. Karena tidak ada reaksi, mereka berkesimpulan bahwa pondok Gontor sudah
dijadikan markas tentara.
mereka akhirnya menyerbu ke dalam pondok dari arah
timur, kemudian disusul rombongan dari arah utara. Tak lama kemudian datang
lagi rombongan penyerang dari arah barat. Jumlah waktu itu diperkirakan sekitar
400 orang. Dengan mengendarai kuda pimpinan tentara PKI berhenti didepan rumah
pendopo lurah KH. Rahmat Soekarto. Mengetahui kedatangan tamu, lurah Rahmat
menyambut tamunya dengan ramah, serta menanyakan maksud dan tujuan mereka.
Tanpa turun dari kuda, pimpinan PKI ini langsung
mencecar lurah Rahmat. Kemudian mereka meninggalkan rumah lurah Rahmat. mereka
nekat masuk ke tempat tinggal santri, lalu berteriak-teriak mencari kyai
Gontor. “Endi kyai-ne, endi kyai-ne? Kon ngadepi PKI kene …” (Mana Kyainya,
mana kyainya? Suruh menghadapi PKI sini…).
Karena tak ada sahutan, mereka pun mulai merusak
pesantren. Gubuk-gubuk asrama santri yang terbuat dari gedeg bambu dirusak.
Buku-buku santri dibakar habis. Peci, baju-baju santri yang tidak terbawa,
mereka bawa ke pelataran asrama. Mereka menginjak-injak dan membakar sarana
peribadatan, berbagai kitab dan buku-buku. Termasuk beberapa kitab suci Al-Qur’an
juga mereka injak dan bakar.
Karena tidak menemukan seorangpun kiai dan santri,
PKI pun kembali kerumah lurah Rahmat, lalu berusaha masuk ke rumah untuk
membunuh KH. Rahmat Soekarto. Mereka sambil teriak “Endi lurahe? Gelem melu PKI
po ra? Lek ra gelem, dibeleh sisan neng kene…!” (Mana lurahnya? Mau ikut PKI
apa tidak? Kalau tidak mau masuk anggota PKI, kita sembelih sekalian di sini). Namun
sebelum mereka bisa masuk kerumah lurah Rahmat. Datanglah laskar Hizbullah dan
pasukan Siliwangi. Pasukan itu dipimpin KH. Yusuf Hasyim, (putra bungsu KH.
Hasyim Asy’ari). Pasukan PKI itu akhirnya lari tunggang langgang, karena
serbuan itu. Para anggota PKI membiarkan Pondok Modern Darussalam Gontor dalam
keadaan porak poranda.
Itulah
yel-yel yang digaungkan oleh anggota PKI pada tahun 1948. Kejahatan dan
kekejaman yang dilakukan oleh PKI bukanlah hanya isu semata. Semua itu fakta
sejarah yang pernah terjadi di indonesia. Mereka banyak melakukan kezaliman
terhadap kaum muslimin, pejuang, dan tokoh-tokoh yang bertentangan dengan
ideologi mereka. Sejarah penuh kebencian yang diteriakkan PKI sungguh sangat
menyedihkan. Bahkan Pondok Modern Gontor pernah menjadi target sasaran mereka. Beruntung, mereka telah mengungsi terlebih
dahulu sehingga tidak menjadi korban pembantaian oleh orang-orang PKI di tempat
itu.
Sumber referensi : es.unida.gontor.ac.id
kanalsembilan.net
sejarahone.id
0 komentar:
Posting Komentar