Pembantaian kejam yang dilakukan oleh orang-orang PKI
bukanlah suatu peristiwa karangan yang dibuat untuk menarik perhatian. Para
Anggota PKI saat itu memang menggunakan kekuatan mereka untuk melenyapkan para
pejabat pemerintah pusat saja, tetapi juga penduduk biasa bisa menjadi korban
jika mereka memiliki dendam. Banyak dari mereka adakah ulama-ulama
tradisionalis, santri dan lain-lain yang dikenal karena kesalihan mereka kepada
Islam. Mereka ditembak, dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang, bahkan
kadang ketiganya sekaligus.
Saat pemberontakkan yang terjadi di Madiun, kabar angin mulai
tersebar ke daerah-daerah sekitarnya. Banyak Masjid dan madrasah dibakar,
surau-surau menjadi kosong, dan rumah-rumah pemeluk islam dirampok serta
dirusak. Tersebar pula kabar bahwa Ulama-ulama dan santri-santri dikunci di
dalam madrasah, lalu madrasah-madrasah itu dibakar. Mereka padahal tidak
berbuat apa-apa. Orang-orang tua yang sudah ubanan, orang-orang biasa dan
anak-anak laki-laki yang baik turut menjadi korban. Bukan karena mereka
memberontak kepada PKI, mereka disiksa hanya karena mereka seorang muslim. Para
tawanan dibawa ke alun-alun kota, di depan masjid, atau tempat-tempat lain. Tanpa
tau dosa apa yang mereka lakukan kepada orang-orang PKI, kepala mereka
dipancung atau dibunuh dengan cara lain. Karena banyaknya korban, Parit-parit
di sepanjang jalan bahkan digenangi oleh darah.
Setelah berhasil menguasai madiun, para anggota PKI mulai
menyebar ke sekitaran Madiun. Daerah-daerah yang mayoritas muslim akan menjadi
target pembantaian oleh orang-orang PKI. Kampung Kauman yang merupakan daerah
mayoritas muslim turut menjadi daerah yang dibumihanguskan.
Pada
tanggal 20 September 1948, tiba-tiba datang sebuah truk yang berisi orang-orang
PKI baik laki-laki, maupun perempuan. Seorang perempuan turun dari truk
kemudian berteriak keras kepada seluruh penduduk Kauman. Dia mengatakan bahwa
salah seorang anggota PKI telah mati terbunuh di Kampung Kauman.
Pada
saat itu, di atas truk memang ada mayat yang dibungkus kain dan hanya kelihatan
kakinya saja. Perempuan itu berteriak agar penduduk Kauman mengakui bahwa ada penduduk desa itu yang telah
membunuh salah seorang anggota PKI. Karena mereka memang diantara mereka tidak
ada yang membunuh, maka tidak ada satu orang pun yang mengakuinya. Akhirnya
rombongan PKI pergi meninggalkan kampung kauman dengan ancaman akan
membumihanguskan Kampung Kauman. Ini sebenarnya adalah taktik licik PKI yang
berpura-pura mencari pembunuh, yang mereka lakukan adalah untuk memancing
lawan-lawan yang akan menghalangi pemberontakan mereka.
Ancaman
PKI kala itu bukanlah omong kosong, mereka benar-benar membuktikan ancaman
mereka. Pada tanggal 24 September 1948, PKI datang menyerbu Kampung Kauman
layaknya kerumunan lebah yang sarangnya diganggu. Rumah-rumah penduduk lalu dibakar,
sehingga seluruh penghuni rumah keluar dari persembunyiannya. Waktu itu seluruh
warga laki-laki Kauman ditawan dan digiring ke Masopati setelah tangan mereka
ditelikung dan diikat dengan tali bambu.
Dalam
aksi pembumihangusan Kampung Kauman itu, sedikitnya 72 rumah terbakar, dan
sekitar 149 laki-laki digiring ke Maospati. Dari Maospati seluruh tawanan
dimasukkan ke dalam gudang pabrik rokok, kemudian diangkut dengan lori milik
pabrik gula ke kawasan Glodok. Dari glodok itu para tawanan dipindahkan ke
Geneng dan Keniten. Ditengah suasana mencekam tersebut, para anggota PKI telah
bersiap melakukan pembantaian. Tetapi sebelum berhasil disembelih, para tawanan
terlebih dahulu diselamatkan oleh tentara Siliwangi yang tengah melakukan
pembersihan.
Pembakaran Kampung Kauman pada dasarnya merupakan bagian dari
aksi PKI untuk memberangus pengaruh agama Islam di tengah masyarakat. Sebab,
sebelum aksi pembakaran itu, Madrasah Pesantren Takeran juga telah dibakar,
beberapa saat setelah Kiai Imam Mursjid tertawan. Pesantren Burikan pun tak
luput dari serbuan PKI. Kemudian para tokoh-tokoh pesantren seperti Kiai
Kenang, Kiai Malik, dan Muljono dibantai di Batokan. Korban lain dari kalangan
ulama yang dibantai oleh PKI adalah keluarga Pesantren Kebonsari, Madiun.
Achmad
Daenuri, putra K.H. Sulaiman Zuhdi Affandi dari pesantren Mojopurno,
menceritakan bahwa ayahnya adalah putra sulung Kiai Kebonsari. Menurut Daenuri,
ayahnya ditangkap oleh PKI, bersamaan dengan ditangkapnya bupati Magetan.
Sementara adik kandung ayahnya, K.H. Imam Sofwan yang menjadi pimpinan
Pesantren Kebonsari, ditangkap PKI bersama dengan dua putranya yakni Kiai
Zubair dan Kiai Bawani. Daenuri mengatakan “setelah pemberontakan itu meletus, banyak
pesantren-pesantren yang sudah kehilangan para pimpinannya.
Setelah
Magetan, aksi keganasan PKI berlanjut di Trenggalek, Surabaya, dan Kediri. Di
Trenggalek, PKI juga melancarkan terornya. Mereka menyiapkan belasan jurigen
bahan bakar serta telah menempatkan dinamit di bawah seluruh tiang Masjid Agung
Trenggalek yang siap diledakkan. Namun Imam Masjid tersebut, K.H. Yunus tak
beranjak dari mihrab tempat suci itu. Tepat jam 12 malam, dia diseret keluar
masjid dan dicampakkan ke halaman oleh PKI. Setelah itu, masjid bersejarah nan
megah itu dibakar dan diledakkan sampai musnah hingga rata dengan tanah.
Itulah
sekelumit peristiwa yang terjadi di Kampung Kauman pada peristiwa
pemberontakkan PKI Madiun. Pemberontakkan yang dilakukan oleh PKI kala itu
memang tidak berlangsung lama. Namun dari pemberontakkan di Madiun memakan
korban yang jumlahnya tidak sedikit. Selain pejabat pemerintah, polisi, dan
para pejuang, banyak para ulama dan santri yang menjadi korban pembantaian.
Namun sayangnya ada upaya dari sebagian orang untuk memutar balikan fakta bahwa
PKI adalah korban.
Sumber Referensi :
news.detik.com,
pojoksatu.id,
republika.co.id
0 komentar:
Posting Komentar