Media massa merupakan salah satu cara untuk menyampaikan informasi.
Sebelum terjadinya pemberontakkan yang dilakukan oleh orang-orang PKI, mereka
terlebih dahulu menguasai media massa seperti koran dan surat kabar. Perbedaan
pandangan pun sering terjadi, terutama pada saat itu ketika ideologi komunis
berusaha untuk menguasai negara. Surat Kabar merupakan media massa yang populer
kala itu, surat kabar merupakan salah satu informasi yang yang paling mudah
didapatkan oleh rakyat-rakyat di Indonesia.
Pemerintah saat itu menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi
oleh pers. Antara lain, peraturan Peperti No.1/1961 yang menetapkan
percetakan-percetakan pers sebagai alat untuk menyebarluaskan Manipol dan
Dekrit Presiden No.6/1963, dikeluarkan setelah hukum darurat pers dicabut, yang
menekankan tugas pers untuk mendukung Demokrasi Terpimpin. Berdasarkan dekrit
itu, penerbit pers harus memperoleh izin terbit dari pemerintah.
Karena diwajibkan meminta izin terbit, koran Masyumi Abadi menghentikan
penerbitannya. Karena sebelumnya partai Masyumi dan PSI, telah dilarang oleh
pemerintah. Harian Pedoman dan Nusantara, yang memenuhi kewajiban memperoleh
izin terbit itu, tidak lama kemudian juga ditutup oleh pemerintah. Setelah itu,
menyusul penerbitan Pos Indonesia, Star Weekly dan sejumlah lainnya.
PKI dan organisasi-organisasi penyokongnya meningkatkan “ofensif
revolusioner” mereka sejak berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Meluasnya
gerakan propaganda dan agitasi serta aksi-aksi sepihak mereka, terlihat dalam
tindakan-tindakan pihak keamanan terhadap kelompok tersebut. Pada tahun 1960,
dari 22 surat kabar yang diberangus pemerintah, terompet PKI Harian Rakjat
termasuk paling sering dilarang terbit.
Pihak PKI menggunakan berbagai isu dalam melancarkan aksi-aksi mereka,
termasuk menyerang pemerintah dengan berbagai alasan pada setiap kesempatan.
Pada akhir 1960, sejumlah gembong mereka di Jakarta diperiksa oleh aparat
militer. Sementara di beberapa daerah seperti Kalimantan Selatan, Sumatera
Selatan dan Sulawesi Selatan, panglima militer setempat melarang semua kegiatan
PKI dan menahan sejumlah pemimpin partai PKI.
Selain melancarkan sejumlah aksi massa di kota-kota, PKI juga
melancarkan “ofensif revolusioner” di desa-desa, dikenal dengan istilah
aksi-sepihak. Dengan dalih memerangi “tujuh setan desa”, anggota Barisan Tani
Indonesia (BTI), organisasi massa dalam kubu PKI, menggelar aksi-aksi sepihak
di sejumlah tempat di Jawa, Bali dan Sumatera. Ketika aksi-aksi tersebut
mendapat perlawanan rakyat dan ABRI, bentrokan fisik pun terjadi dan menelan
korban jiwa.
Dukungan PKI terhadap politik radikal Sukarno, yang memperoleh gelar
baru “pemimpin besar revolusi”, membuatnya semakin dekat dengan presiden.
Kampanye menentang Belanda di Irian Barat dan ketegangan yang meruncing dengan
Amerika Serikat dan sejumlah negara-negara Barat, disusul pencanangan politik
konfrontasi terhadap Federasi Malaysia oleh presiden, telah dimanfaatkan secara
optimal oleh pihak PKI guna meningkatkan pengaruhnya.
Mereka melancarkan aksi-aksi anti-Amerika, seperti demonstrasi menolak
Peace Corps dan film-film Hollywood. Organ-organ partai PKI dan pendukungnya,
seperti Harian Rakjat, Bintang Timur,Warta Bhakti, Terompet Masjarakat, Harian
Harapan, Gotong Rojong, dan koran-koran sekutu mereka di sejumlah kota lainnya,
diarahkan untuk mempertajam pertentangan-pertentangan di dalam negeri.
Dengan sendirinya, ofensif PKI tersebut memancing perlawanan dari
kelompok pers anti-PKI. Konflik-konflik yang berkembang berkisar pada pro-kontra
Manifes Kebudayaan yang diumumkan oleh sejumlah sastrawan dan seniman, aksi
boikot terhadap film-film Hollywood, dan pro-kontra penyederhanaan partai yang
diusulkan oleh presiden. Manifesto Kebudayaan ini diprakarsai oleh beberapa
seniman, seperti Wiratmo Soekito, HB Jassin, dan lain-lain yang pemikirannya
tidak sejalan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Namun Manifes
Kebudayaan kemudian dilarang Presiden Sukarno pada tanggal 8 Mei 1964 karena
dianggap menandingi Manifesto Politik dan melemahkan revolusi. Sebelum
dilarang, organisasi kebudayaan PKI, seperti Lekra, organisasi sejenis dalam
kubu PNI, dan Lembaga Kebudayaan Nasional, menentang manifesto kebudayaan
secara gigih.
Pertentangan berikutnya menyangkut Panitia Aksi Boikot Film Amerika
(PABFIAS), badan yang dibentuk oleh Front Nasional tetapi praktis ditunggangi
oleh PKI. Aksi-aksi PABFIAS mempertajam konflik antara kelompok koran-koran PKI
dan pers anti-PKI. Kasus PABFIAS memicu polemik khusus pula antara
harian-harian Duta Masjarakat, Sinar Harapan, Merdeka dan lain-lain di satu
pihak, melawan Harian Rakjat, Bintang Timur, Suluh Indonesia, Warta Bhakti dan
sebagainya di lain pihak. Sementara itu, terjadi pula polemik antara Berita
Indonesia dan Merdeka kontra Harian Rakjat dan media PKI lainnya mengenai
pro-kontra penyederhanaan partai.
Golongan PKI telah berhasil menguasai PWI, SPS dan kantor berita Antara
setelah pemerintah menutup sejumlah koran anti-PKI yang bergabung dalam gerakan
Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS). Kubu PKI memperbesar kekuatannya dengan
menerbitkan koran-koran baru. Situasi yang makin mencemaskan mendorong
wartawan-wartawan senior seperti Adam Malik, B.M. Diah, Sumantoro, dengan
dibantu wartawan-wartawan muda Jakarta seperti Asnawi Idris, Harmoko dan
lain-lain, untuk mendirikan BPS di lingkungan pers, radio dan televisi sebagai
wadah perlawanan terhadap ofensif PKI di bidang media massa.
BPS kemudian dibentuk di Jakarta pada 1 September 1964 dengan Adam
Malik sebagai ketua, Diah sebagai wakil ketua dan Sumantoro sebagai ketua
harian. Waktu itu Malik adalah menteri dalam kabinet Sukarno, sementara Diah
menjabat duta besar RI di Thailand. Terdapat pula beberapa anggota Pengurus BPS
lainnya di Jakarta termasuk Sayuti Melik.
Pendukung BPS juga berasal dari luar Jakarta seperti banyak surat kabar
yang terbit di Medan. Pengurus BPS Medan kala itu adalah Tribuana Said sebagai
ketua, Arif Lubis, Arshad Yahya, dan lain-lain. BPS juga mendapat dukungan dari
wartawan-wartawan anti-PKI di Semarang, Surabaya, Yogyakarta dan Bandung.
Lawan-lawan BPS adalah koran-koran PKI, PNI dan pendukungnya seperti
Harian Rakjat, Bintang Timur, Suluh Indonesia, Warta Bhakti, Ekonomi Nasional
di Jakarta, Terompet Masjarakat dan Djawa Timur di Surabaya, Harian Harapan,
Gotong Rojong dan Bendera Revolusi di Medan. Koran-koran BPS memperoleh
dukungan luas dari sejumlah organisasi politik dan masyarakat, tetapi pada 17
Desember 1964 Presiden Sukarno membubarkan BPS di seluruh Indonesia. Keputusan
itu kemudian disambut gembira oleh kubu PKI.
Dengan cepat PWI yang telah mereka kuasai memecat semua wartawan BPS
anggota PWI. Menyusul tindakan pemecatan massal itu, pada tanggal 23 Februari
1965 pemerintah memutuskan pembredelan seluruh pers BPS. Salah satu
harian yang dicabut izin terbitnya adalah Berita Indonesia. Pada 9 Februari,
harian ini telah dialihkan menjadi Berita Yudha dengan Brigjen Ibnu subroto
sebaga pemimpin umum dan Brigjen Nawawi Alif sebagai pemimpin redaksi. Setelah
presiden memberangus koran-koran BPS, ABRI menerbitkan satu harian baru bernama
Angkatan Bersenjata di bawah pimpinan Brigjen R.H. Sugandhi dan Letkol Yusuf
Sirath.
Pada 25 Maret 1965, lebih satu bulan setelah pembredelan pers BPS,
pemerintah melalui Departemen Penerangan mengeluarkan peraturan baru lagi yang
mewajibkan semua surat kabar harus berafiliasi kepada partai politik atau
organisasi massa. Gambaran pers pada masa Demokrasi menjadi beberapa surat
kabar, seperti Suluh Indonesia (harian PNI) yang mempunyai delapan afiliasi di
beberapa kota, Duta
Masjarakat (NU) dengan tujuh afiliasi, Harian
Rakjat (PKI) dengan 14 afiliasi, Api Pantjasila (IPKI) dengan tiga afiliasi,
Sinar Bhakti (Partai Katolik) dengan empat
afiliasi, dan Fadjar Baru (Perti) dengan
satu afiliasi.
Parkindo saat itu tidak memiliki harian resmi tetapi dua surat kabar
berafiliasi padanya. Muhammadiyah juga menerbitkan surat kabar harian bernama
Mertjusuar. Di Jakarta waktu itu juga terbit surat kabar harian seperti Bintang
Timur, Kompas dan Sinar Harapan. Pada pertengahan tahun 1965, dengan
dukungan pemerintah Republik Rakyat Cina waktu itu, PKI makin
meningkatkan kampanyenya untuk menuntut Nasakomisasi ABRI dan untuk menciptakan
“Angkatan ke-5”.
Sementara itu, pada bulan Agustus terjadi perpecahan besar dalam tubuh
PNI antara kubu Ali Sastroamidjojo-Surachman dengan kubu Hardi-Hadisubeno. Pada
27 September 1965, Panglimana Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani mengeluarkan
pernyataan menolak Nasakomisasi ABRI dan menentang pembentukan “Angkatan Ke-5”.
Pada tanggal 30 September, PKI melancarkan pemberontakan bersenjata dengan apa
yang dinamakan Gerakan 30 September (G30S) dan dikemudikan dewan yang diketuai
Letnan Kolonel Untung, seorang komandan pasukan pengawal presiden. Peristiwa G30S
membunuh Ahmad Yani dan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat.
Situasi politik nasional sejak Oktober 1965 berbalik dengan
dilancarkannya operasi penumpasan G30S/PKI. PKI dan seluruh organisasi
pendukungnya dibubarkan dan dilarang. Pers PKI dan sekutunya ditutup, antara
lain Harian Rakyat, Bintang Timur, Warta Bhakti, Kebudayaan Baru, Ekonomi
Nasional, Warta Bandung, Djalan Rakyat, Trompet Masjarakat, Djawa Timur, Harian
Harapan, Gotong Rojong dan sebagainya. Koran-koran organ partai PNI yang
ditutup antara lain Suluh Indonesia, Berita Minggu, Bendera Revolusi, Patriot.
Seluruhnya tercatat sebanyak 46 koran yang dilarang terbit. PWI dan SPS
dibersihkan dari unsur-unsur PKI dan sekutunya.
Pada 2 Oktober
1965, Harian Rakjat sempat terbit
kembali dengan menurunkan kepala berita "Letkol Untung Bataljon Tjakrabirawa Menjelamatkan Presiden dan RI dari kup
Dewan Djendral", yang kelak menjadi edisi terakhirnya. Tidak hanya bubar,
semua anggota partai dan aktivis yang mendukung Harian Rakyat diburu,
ditangkap, dipenjarakan ataupun dibunuh.
Itulah sekelumit
pembahasan tentang media massa yang terjadi sebelum PKI melakukan
pemberontakkan pada tahun 1965. Mereka mula-mula menguasai banyak media untuk
menaikkan pamor PKI. Saat itu, Harian Rakjat yang merupakan media massa milik
PKI menjadi koran politik terbesar di Indonesia pada kurun waktu 1950-1965.
Walau beberapa kali dibredel, Harian Rakjat yang beberapakali dibredel tetap
muncul untuk memberitakan CC PKI. Harian Rakjat benar-benar ditutup setelah
Soeharto melakukan pembersihan kepada orang-orang yang berideologi Komunis.
Sumber Referensi :
id.wikipedia.org,
pwi.or.id
0 komentar:
Posting Komentar