Peristiwa
pemberontakkan PKI pada tahun 1965 tidak hanya dilakukan oleh anggota PKI yang
berasal dari golongan sipil. Para tentara didalam tubuh militer yang berasal
dari golongan kiri juga turut terlibat dalam melakukan pemberontakkan.
Orang-orang PKI kala itu seperti berada
di atas angin, mereka berpikir bahwa rencana mereka akan berhasil mendirikan
ideologi komunis di Indonesia. Karena memang mereka sudah mulai menguasai pemerintahan, kelompok-kelompok masyarakat dengan organisasi underbownya, bahkan sudah menyusup kedalam tubuh militer. Banyaknya anggota PKI yang telah masuk ke dalam
tubuh militer, semakin menambah keyakinan para penganut ideologi komunis bahwa
usahanya untuk merebut kekuasaan akan berjalan mulus.
Salah satu
petinggi militer yang terlibat dalam pemberontakkan tersebut adalah Brigjen TNI Mustafa Sjarief Soepardjo, satu-satunya jenderal yang
terlibat dalam peristiwa lubang buaya tersebut. Ia merupakan salah satu Perwira
Tinggi (Pati) Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). mengutip catatan
yang ditulis oleh Hendro Subroto dalam buku berjudul "Dewan Revolusi
PKI", seorang Perwira Menengah TNI Angkatan Darat, Mayor Inf Imam Santoso,
terbang ke Jakarta dari Kalimantan Barat bersama Soepardjo. Saat itu, Soepardjo
tengah ditugaskan di Kalimantan Barat sebagai Panglima Komando Tempur II
(Pangkopur) di bawah Komando Mandala Siaga (KOLAGA), dalam kampanye Ganyang
Malaysia. Akan tetapi, Imam justru menyaksikan Soepardjo meninggalkan posnya
untuk kembali ke Jakarta pada tanggal 28 September 1965.
Soepardjo
sempat mengatakan kepada Imam, alasan kepulangannya ke Jakarta adalah untuk
memenuhi panggilan mendadak. Tapi ternyata, Soepardjo justru jadi salah satu pimpinan
G30S/PKI 1965. Soepardjo saat itu jadi wakil pimpinan Gerakan 30 September
1965, di bawah komando Letkol Untung Syamsuri yang notabene memiliki pangkat
dua tingkat di bawahnya. Ini memang terlihat sangat aneh karena pemimpin tertinggi
gerakan tersebut malah orang yang pangkatnya lebih rendah, akan tetapi dia mau
saja mengikutinya.
“Pangkat saya memang lebih tinggi dari saudara, tapi di
gerakan ini, saya anak buah saudara,” demikian kira-kira ucapan Brigadir
Jenderal Soepardjo saat menyalami Letnan Kolonel Untung Samsuri tanggal 29
September 1965. Soepardjo adalah panglima yang membawahi ribuan pasukan tempur
di perbatasan Kalimantan-Malaysia. Karirnya sangat cemerlang sebagai komandan
pertempuran dan ahli strategi.
Sebelum
peristiwa mengerikan itu terjadi, Soepardjo yang dikenal sebagai seorang
prajurit tempur dan ahli strategi, sempat memberikan pertanyaan kepada Sjam
Kamaruzaman, yang menduduki posisi sebagai Ketua Biro Khusus PKI. Pertanyaan
Soepardjo kepada Sjam, adalah mengenai rencana cadangan jika Gerakan 30
September gagal. Sayangnya, Soepardjo tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan
dari Sjam. Sebaliknya, Sjam malah menggertak Soepardjo dengan emosi karena ia
terlalu yakin bahwa Gerakan 30 September 1965 tidak akan gagal.
Sjam menjawab
pertanyaan Soepardjo dengan mengatakan "Bung kalau begini banyak yang
mundur. Kalau revolusi sudah berhasil, banyak yang mau ikut,". Dalam
peperangan, skenario mundur bukanlah pengecut. Dalam setiap pertempuran selalu
ada skenario mundur jika tidak bisa memenangkan pertempuran. Tapi itu tak
berlaku untuk Sjam dengan gaya yang menggebu-gebu. Di sini Soepardjo sudah
merasa banyak hal yang berantakan. Hal itu dituliskannya dalam catatan evaluasi
untuk G30S.
Dalam jam-jam awal 1 Oktober 1965, sebenarnya Gerakan Letkol
Untung ini berada di atas angin. Namun Untung dan Sjam tak menggunakan
kelebihan awal ini untuk momentum selanjutnya. "Radio RRI yang mereka kuasai
juga tidak mereka manfaatkan. Sepanjang hari hanya dipergunakan untuk
membacakan pengumuman saja. Harusnya radio digunakan semaksimal mungkin oleh
barisan agitasi propaganda".
Satu kesalahan fatal lain adalah soal logistik. Untung
kehilangan banyak pasukannya gara-gara nasi bungkus. Pasukan Bimasakti yang
terdiri dari Yon 530 dan Yon 454 berjaga sehari penuh di Lapang Monas. Tapi tak
ada yang mencukupi kebutuhan mereka. Tanggal 1 Oktober 1965 dari pagi hingga
petang, pasukan itu tak diberi makan akhirnya pasukan itu pun kelaparan
setengah mati, padahal dalam pertempuran harusnya perut dalam keadaan kenyang,
siapa juga yang mau bertempur kalau perut dibiarkan keroncongan. Maka ketika
Soeharto mengutus utusannya untuk membujuk Yon 530 agar kembali ke Kostrad
tawaran itu langsung saja dipenuhi.
Semua Kemacetan gerakan pasukan disebabkan di antaranya
tidak ada makanan. Mereka tidak makan semenjak pagi, siang dan malam. Hal ini
baru diketahui pada malam hari ketika ada gagasan untuk dikerahkan menyerang ke
dalam kota. Tapi terlambat, Yon 530 sudah bergabung dengan Kostrad dan Yon 454
sudah berada di sekitar Halim. Tak mungkin lagi memerintahkan mereka menyerang.
Gerakan 30
September akhirnya gagal dan membuat Soeparjo melarikan diri dan bersembunyi.
Soepardjo adalah tokoh G30S/PKI yang tertangkap paling akhir diantara
rekan-rekannya seperti Sjam, Dipa Nusantara Aidit, dan Letkol Untung. Perintah
untuk menangkap Soepardjo datang dari Letjen TNI Soeharto, yang saat itu
menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat
(Pangkostrad), kepada Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) V Jaya, Brigjen
TNI Amirmachmud. Amir pun langsung bergerak cepat membentuk operasi intelijen
dengan tim khusus bersandi "Kalong".
Dinamakan
demikian karena tim operasi bergerak dimalam hari seperti kalong. Operasi
kalong dipimpin oleh Kapten CPM Suroso. Personelnya berasal dari Kompi Raiders
Kodam V Jaya yang dipersiapkan sebagai pasukan tempur. Selain itu, kelompok
pengintai di bawah pimpinan Pembantu Letnan M. Afandi, bertugas mencari
informasi persembunyian Soepardjo.
Pada 10
Januari 1967, sebagaimana dilansir majalah Angkasa vol.17, 1968, lokasi
persembunyian Soepardjo diketahui berada di Komplek KKO Cilincing, Jakarta
Utara. Salah seorang anggota KKO AL, Mayor Adnan Suwardi menampung Soepardjo
dikediamannya. Tim Operasi Kalong bergegas menyerbu ke Cilincing. Namun
Soepardjo berhasil melarikan diri menuju Halim Perdana Kusumah.
Dalam Dinas Sejarah TNI AU menulis, tepat pada hari Idul
Fitri 1967, Satgas Kalong mencium keberadaan Soepardjo di rumah seorang
prajurit AURI di Halim. Intel gabungan bersama Polisi Militer AU
menggerebek tempat itu.
Ketika mereka menggerebek tempat tersebut, tidak ada orang yang
ditemukan di sana. Tetapi petugas curiga karena menemukan kopi yang masih
panas, jejak kaki di tembok mengarah ke atap dan KTP atas nama Moch Syarif
dalam kantong baju yang digantung. Mereka yakin kali ini Soepardjo tak akan
lolos. Letnan Rosjadi berteriak "Ayo turun! Kalau tidak saya tembak!"
Terdengar jawaban dari atas, "Baik saya turun."
Dan ternyata benar, sosok itulah Brigjen Soepardjo yang
selama satu setengah tahun mereka kejar siang malam. Soepardjo
diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa. Pengadilan mendakwanya bersalah atas
tindakan makar dan menjatuhi vonis hukuman mati. Soepardjo ditahan di Rumah Tahanan
Militer Cimahi. Banyak tahanan lain yang terkesan dengan sikap Soepardjo selama
di tahanan. Sebagai jenderal, dia tak mau diistimewakan. Kalau dikirimi
makanan, ia selalu membagi rata dengan tahanan lain. Dia juga sukarela
menggosok seluruh toilet dan kamar mandi.
Tiga hari sebelum dieksekusi, Saat keluarganya datang
menjenguk untuk terakhir kali, Soepardjo hanya bisa memberikan sepasang sepatu.
Soepardjo mengatakan bahwa ia tidak bisa memberi apa-apa. Cuma sepasang sepatu
ini untuk kenang-kenangan,". Pada tanggal 15 Mei 1970, sehari sebelum pelaksanaan
eksekusi, seluruh keluarganya berkumpul terakhir kali dalam suasana hangat.
Waktu
yang diberikan lebih lama dari biasa, yaitu dua jam. Saat itu Soeparjo memberi
nasehat dengan memegang sebutir apel. Ia menyuruh anak-anaknya untuk
memecahkannya dengan genggaman tangan. Tentu tidak berhasil, Setelah apel di
potong-potong maka mudah dipecahkan. Soeparjo mengatakan “Kalau keluarga sudah
terpecah belah, maka kalian akan mudah dihancurkan”.
Keinginannya untuk mati dengan seragam kebesaran militer
jenderal bintang satu ditolak. Dia akhirnya memilih pakaian serba putih. Supardjo juga sempat meminta
agar eksekusi dilakukan dengan mata terbuka. Tapi setelah dibicarakan dengan
keluarga, niat itu urung dilaksanakan.
Itulah akhir
hayat Jendral Soeparjo yang harus menjalani hukum mati karena terlibat dalam
pemberontakkan PKI. Soeparjo merupakan Jendral pertama
yang dieksekusi oleh pemerintah. Ia
adalah Seorang perwira tinggi yang ahli dalam strategi, namun ia terhasut oleh
ideologi komunis. Setelah satu tahun lebih dalam pelarian, ia akhirnya
tertangkap tanpa melakukan perlawanan. Dengan tertangkapnya Soeparjo, sebuah
surat kabar memberitakan bahwa ia adalah hadiah lebaran untuk rakyat. Sebelum
dieksekusi, Soepardjo sempat menyanyikan lagu Indonesia Raya dan
mengumandangkan azan dari dalam selnya.
Sumber Referensi :
id.wikipedia.org,
historia.id,
intisari.grid.id,
merdeka.com,
tirto.id,
viva.co.id
0 komentar:
Posting Komentar