Penculikan
6 jenderal dan 1 perwira adalah awal dari pemberontakkan yang dilakukan oleh
orang-orang PKI. Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, Komandan
Satuan Tugas (Satgas) Pasopati, Letnan (Inf) Doel Arif membentuk tujuh pasukan
dari Satgas Pasopati di Lubang Buaya untuk menculik ketujuh jenderal.
Sasaran
mereka adalah Jenderal A.H Nasution, Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal
Siswondo Parman, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Harjono, Mayor Jenderal R.
Soeprapto, Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo dan Brigadir Jenderal Donald
Ishak Pandjaitan.
Dari ketujuh target penangkapan tersebut, Jendral A.H
Nasution berhasil melarikan diri dan digantikan oleh ajudannya yaitu kapten
Pierre Tendean yang mengaku sebagai Jendral A.H. Nasution. Keenam Jendral yang
menjadi korban G30S PKI antara lain Letnan Jenderal Anumerta Ahmad Yani, Mayor
Jenderal Raden Soeprapto, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono, Mayor Jenderal
Siswondo Parman, Brigadir Jenderal Donald Isaac Panjaitan dan Brigadir Jenderal
Sutoyo Siswomiharjo.
Enam jendral dan satu perwira ini tewas di lubang buaya dan
dinobatkan sebagai pahlawan revolusi. "Sebelum dibunuh, mereka
penyiksaan terhadap para jenderal dan ajudan Nasution yang masih hidup dimulai.
"mereka Dipukul, dipopor pakai ujung senjata. Hasil visum menunjukkan ada
retak di tulang kepala, tangan dan kaki patah, karena mereka ditendang pakai
sepatu lars yang keras,". Mereka semua Mayjen S. Parman, Mayjen R
Suprapto, Brigjen Sutoyo, Lettu Pierre Andreas Tandean akhirnya tewas dibunuh. Dalam
kondisi antara hidup dan mati, ujar Yutharyani, tubuh para jenderal itu lantas
digeret dan dimasukkan ke sebuah sumur di Lubang Buaya.
"Setelah tubuh mereka masuk semua, untuk meyakinkan
mayat meninggal, mereka langsung ditembak lagi. Lalu jasad ditutup dengan
sampah pohon karet, dan ditutup tanah serta ditanah pohon pisang utuh di
atasnya seakan-akan di bawah itu tak ada mayat."
Setelah Soeharto dapat mengendalikan keadaan, Beberapa
pasukan pun diperintahkan Soeharto untuk melakukan penyisiran ke Lubang Buaya.
Letnan Satu Feisal Tanjung dan Letnan Dua Sintong Panjaitan, yang sedang berada
di sekitar tempat itu bersama pasukannya, diperintahkan bergerak ke Lubang
Buaya pada 3 Oktober 1965. Sebelumnya, Resimen Para Komando Angkatan Darat
(RPKAD) mendapat kabar di situlah posisi para jenderal yang terculik.
Informasi ini berdasarkan pengakuan Agen Polisi II Soekitman
yang ikut terculik tapi kemudian kabur. Kawasan itu pun disisir anak buah
Sintong bersama anak buah komandan peleton yang lain. Mereka lalu dapat
informasi dari salah satu warga setempat tentang adanya sumur-sumur yang sudah
ditimbun. Salah satu bekas sumur dicoba digali, tapi ternyata bukandisana
tempatnya. Kemudian mereka melihat satu bekas sumur yang sudah ditanami pohon.
Bekas sumur itu pun digali. Setelah anak buah Sintong menggali, tampak
daun-daun segar, batang pisang, dan potongan kain.
Menurut catatan Hendro Subroto dalam Sintong Panjaitan:
Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009), kain-kain itu adalah baju yang
digunakan Batalyon 454/Banteng Raider. Penggalian lalu dilakukan. Melihat itu,
penduduk pun menawarkan diri untuk ikut bantu menggali. Pada kedalaman 8 meter,
terciumlah bau busuk dan penduduk yang menggali meminta naik karena tidak tahan
dan mengganggu pernapasan. Setelahnya, salah seorang anak buah Sintong ikut
turun dan melihat kaki manusia yang mencuat ke atas. Yakinlah pasukan elite itu
bahwa di situlah jenazah para jenderal terculik berada (hlm. 130-131).
Pada tanggal 4 oktober, pengangkatan jenazah mulai dilakukan. Kopral Anang
masuk lebih dulu pada pukul 12.05 dengan masker oksigen. Satu jenazah berhasil
diikat. Setelah ditarik, ternyata Letnan Satu Pierre Tendean, ajudan Jenderal
Abdul Haris Nasution. Pukul 12.15, Sersan Mayor (KKO) Saparimin turun masuk.
Satu jenazah diikatnya, tapi sulit ditarik karena terjepit jenazah lainnya.
Prajurit Komando I (KKO) Subektu pun turun. Dia mengikat jenazah satu lagi. Dua
jenazah pun terangkat.
Mereka adalah Mayor Jenderal Suwondo Parman dan Mayor
Jenderal Suprapto. Pukul 12.55, Kopral (KKO) Hartono turun. Dia mengikat secara
terpisah dua jenazah. Setelah ditarik, ternyata dua jenazah itu adalah Mayor
Jenderal M.T. Haryono dan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo. Pukul 13.30,
Sersan Mayor Suparimin turun lagi. Jenazah diikatnya. Setelah ditarik, ternyata
Letnan Jenderal Ahmad Yani.
Setelah menemukan 5 perwira tinggi dari 6 yang hilang, para
penyelam kelelahan. Bahkan ada anggota yang keracunan. Kapten Winanto pun turun
tangan. Tak hanya dengan alat selam, tapi juga alat penerang dengan tenaga dari
generator. Sampai di dalam, Winanto menemukan satu jenazah lagi. Itulah jenazah
Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan. Maka semua jenderal pun terangkat.
Mulai sore tanggal 4 Oktober itu, menurut Omar Dani dalam
memoarnya, Tuhan, Pergunakanlah Hati,
Pikiran dan Tanganku: Pledoi Omar Dani (2001), “TVRI sangatlah sibuk
menyiarkan berita tentang penggalian jenazah para jenderal dari sumur tua yang
oleh media massa dinamakan Lubang Buaya itu” (hlm. 93). Kisah pengangkatan
jenazah tersebut dibumbui dengan dramatis dan ditambahi cerita fantastis soal
penyiksaan.
Inilah yang menciptakan kebencian banyak pihak kepada mereka
yang terlibat G30S, terutama kepada para anggota dan simpatisan PKI. Cerita pun
menyebar bahwa jenazah itu disilet-silet dan disiksa secara keji. Narasi soal
jenazah yang disilet-silet, dicongkel mata, dan dipotong penis adalah versi
yang banyak dipercaya di zaman Orde Baru.
Jenazah-jenazah itu lalu dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan
Darat Gatot Subroto. Di situlah, sebuah tim telah ditunjuk untuk melakukan
pemeriksaan dan autopsi. Anggota tim tersebut adalah Brigadir Jenderal dr.
Roebiono Kertopati, Kolonel Frans Pattiasina, Prof. dr. Soetomo Tjokronegoro,
dr. Liaw Yan Siang, dan dr. Lim Joe Thay. Instruksi tersebut keluar dengan
surat perintah nomor PRIN-03/10/1965. Berikut ini adalah hasil autopsi ketujuh
perwira militer Angkatan Darat yang himpun dalam beberapa sumber sejarah.
1.
Jenderal Achmad Yani
Luka
Tembak masuk: 2 di dada kiri, 1 di dada kanan bawah, 1 di lengan kanan atas, 1
di garis pertengahan perut, 1 di perut bagian kiri bawah, 1 perut kanan bawah,
1 di paha kiri depan, 1 di punggung kiri, 1 di pinggul garis pertengahan. Luka
tembak keluar: 1 di dada kanan bawah, 1 di lengan kanan atas, 1 di punggung
kiri sebelah dalam. Kondisi lain: sebelah kanan bawah garis pertengahan perut
ditemukan kancing dan peluru sepanjang 13 mm, pada punggung kanan iga ke
delapan teraba anak peluru di bawah kulit.
2.
Letjen R. Soeprapto
Luka
tembak masuk: 1 di punggung pada ruas tulang punggung keempat, 3 di pinggul
kanan (bokong), 1 di pinggang kiri belakang, 1 di pantat sebelah kanan, 1 di
pinggang kiri belakang, 1 di pantat sebelah kanan, 1 di pertengahan paha kanan.
Luka tembak luar: 1 di pantat kanan, 1 di paha kanan belakang. Luka tidak
teratur: 1 di kepala kanan di atas telinga, 1 di pelipis kanan, 1 di dahi kiri,
1 di bawah cuping kiri. Kondisi lain: tulang hidung patah, tulang pipi kiri
lecet.
3.
Mayjen M.T Haryono
Luka
tidak teratur: 1 tusukan di perut, 1 di punggung tangan kiri, 1 di pergelangan
tangan kiri, 1 di punggung kiri (tembus dari depan).
4.
Mayjen Soetojo Siswomiharjo
Luka
tembak masuk: 2 di tungkai kanan bawah, 1 di atas telinga kanan. Luka tembak
keluar: 2 di betis kanan, 1 di atas telinga kanan. Luka tidak teratur: 1 di
dahi kiri, 1 di pelipis kiri, 1 di tulang ubun-ubun kiri, di dahi kiri
tengkorak remuk. Penganiayaan benda tumpul: di empat jari kanan. Mayjen Soetojo
bisa jadi banyak dianiaya sehingga tengkorak dahinya remuk.
5.
Letjen S. Parman
Luka
tembak masuk: 1 di dahi kanan, 1 di tepi lekuk mata kanan, 1 di kelopak atas
mata kiri, 1 di pantat kiri, 1 paha kanan depan. Luka tembak keluar: 1 di
tulang ubun-ubun kiri, 1 di perut kiri, 1 di paha kanan belakang. Luka tidak
teratur: 2 di belakang daun telinga kiri, 1 di kepala belakang, 1 di tungkai
kiri bawah bagian luar, 1 di tulang kering kiri. Kekerasan benda tumpul: tulang
rahang atas dan bawah.
6.
Letjen D.I Panjaitan
Luka
tembak masuk: 1 di alis kanan, 1 di kepala atas kanan, 1 di kepala kanan
belakang, 1 di kepala belakang kiri. Luka tembak keluar: 1 di pangkal telinga
kiri. Kondisi lain: punggung tangan kiri terdapat luka iris. Luka iris ini
tentu menyeramkan. Tetapi, tidak dijelaskan apa luka itu diiris menggunakan
silet atau senjata tajam lainnya.
7.
Kapten Anumerta Pierre Tendean
Luka tembak
masuk: 1 di leher belakang sebelah kiri, 2 di punggung kanan, 1 di pinggul
kanan. Luka tembak keluar: 2 di dada kanan. Luka tidak teratur: 1 di kepala
kanan, 1 di tulang ubun-ubun kiri, 1 di puncak kepala. Kondisi lain: lecet di
dahi dan pangkal dua jari tangan kiri.
Itulah
proses pengangkatan dan hasil autopsi para jendral yang menjadi korban
penculikan oleh anggota PKI. Pada zaman orde baru cerita penganiayaan yang
populer adalah pencungkilan mata dan
kemaluan para korban diiris-iris menggunakan silet, lalu dipermainkan oleh para
pelaku yang kebanyakan perempuan. Namun Berdasarkan hasil autopsi, tidak ditemukan pencungkilan mata
atau penyayatan alat kelamin yang kabarnya pernah beredar di Indonesia dan
semakin menyulut kemarahan orang-orang di daerah-daerah. Kerusakan pada tubuh
sejumlah jenderal terjadi karena jenazah mereka terbaring selama sekian lama di
dasar sumur yang lembab. Menurut dokter forensik, inilah yang menyebabkan
kondisi mata salah satu korban sangat buruk. Setelah diperiksa, para jenazah itu kemudian disemayamkan di
Markas Besar Angkatan Darat. Lalu diberangkatkan ke Taman Makam Pahlawan
Kalibata pada 5 Oktober 1965.
Sumber Referensi :
batam.tribunnews.com,
beritafakta.id,
intisari.grid.id,
kompas.com,
liputan6.com,
tirto.id
0 komentar:
Posting Komentar