Setelah
pembantaian yang terjadi pada pemberontakkan PKI Madiun, Pemberontakkan oleh
PKI kembali terjadi pada tahun 1965. Pemberontakan tahun 1965 adalah pemberontakkan
yang lebih terorganisir daripada pemberontakkan yang terjadi di Madiun. Banyak
para militer, tokoh masyarakat, dan ulama yang pernah menjadi korban
kebiadabannya. Sebagai balasan, saat pembersihan terhadap orang-orang yang
dianggap komunis juga memakan banyak korban jiwa.
Sesudah
Letnan Kolonel Untung mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi melalui RRI
Jakarta pada 1 Oktober 1965. Para petinggi ABRI dan beberapa tokoh sudah
mengendus telah terjadi kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia
(PKI). Amarah rakyat mulai berkecamuk ketika kemudian diketahui enam orang
jenderal telah diculik dan kemudian dibunuh di Lubang Buaya. Oleh pelaku kudeta,
gerakan ini diberi nama Gerakan September tiga puluh (Gestapu)/G30S.
Kemarahan
massa mulai mengumandangkan tuntutan agar PKI , penggerak dan dalang
Gestapu dibubarkan. Dendam sebagian masyarakat terhadap PKI seperti menemukan
momentumnya dengan cara menuntut pembubaran PKI. Dendam terhadap partai
pimpinan DN Aidit itu sudah lama tersimpan bahkan ada yang telah menyimpannya
didalam hati sejak pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 yang dipimpin oleh
Muso.
Kanto-
kantor PKI dan organisasi underbownya seperti SOBSI ( buruh),BTI ( tani) dan
CGMI ( mahasiswa) mulai diserbu bahkan dibakar oleh massa. Unjuk rasa massa ini
tidak hanya di Jakarta saja tetapi juga terjadi hampir di seluruh daerah di
negeri ini. Demonstrasi mahasiswa untuk membubarkan PKI juga mendapat dukungan
dari pihak tentara. Hal ini diakui oleh Kemal Idris, saat itu pasukan Kostrad
yang dia pimpin, bergabung dengan mahasiswa.”
Mahasiswa
lalu mengepung Istana Kepresidenan dan menyuarakan Tritura atau Tri Tuntutan
Rakyat. Salah satunya dengan menuntut pembubaran PKI. Pada saat itu, para
tentara beranggapan bahwa PKI-lah yang menjadi dalang di balik G30S. Walaupun
tuntutan pembubaran PKI telah dikumandangkan dan korban di pihak PKI juga mulai
berjatuhan. Bung Karno sebagai Presiden RI dan juga Pemimpin Besar Revolusi
belum juga bersedia bertindak untuk membubarkan PKI. Karena Bung Karno belum
menyahuti tuntutan rakyat untuk membubarkan PKI, maka tuntutan massa aksi unjuk
rasa tidak hanya lagi tentang pembubaran PKI, tetapi sudah mengarah kepada
tuntutan agar Sukarno turun dari jabatannya sebagai Presiden RI.
Secara
politis sesudah Oktober 1965, posisi Sukarno sebenarnya masih cukup kuat. Wibawanya
sebagai Presiden dan sebagai Pemimipin Besar Revolusi, masih diakui oleh
rakyat. Pada masa itu kekuatan militer juga belum sepenuhnya berada pada
kontrol Suharto. Masih banyak satuan satuan militer yang masih menjadi loyalis Sukarno.
Tetapi lama kelamaan wibawa Bung Karno mulai memudar, hal ini disebabkan karena
Sukarno tidak mau membubarkan PKI.
Selama
periode 1965-1967, para jenderalnya yang dulu sangat patuh pada Soekarno,
kini tak mau lagi mendengar ucapan atau perintahnya. Bahkan Sukarno pernah
menerima pamflet yang menuduhnya sebagai dalang utama G30S. Padahal dengan
kewenangan dan wibawa yang dimilikinya, sesungguhnya Sukarno dapat membubarkan
PKI, tetapi hal itu tidak dilakukannya. Jika saja Sukarno mau membubarkan PKI
pada akhir tahun 1965, kemungkinan besar Pemimpin Besar Revolusi itu tidak akan
menjadi sasaran para pengunjuk rasa.
Puncak
jatuhnya pemerintahan Presiden Sokearno terjadi setelah keluarnya
Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar. Lewat Supersemar, Suharto lalu
mengambil alih kekuasaan. Tidak hanya itu, Suharto juga membubarkan PKI
dan menangkap 15 menteri Sukarno yang dituduh terlibat G30S/PKI. Sukarno
bukannya tak melawan, Sukarno sempat berpidato. Namun pidato Sukarno yang
dulunya selalu dielu-elukan, seolah tidak ada artinya karena situasi politik
sudah dikuasi oleh Suharto. Walau demikian, hingga detik-detik terakhir masa
pemerintahannya, Soekarno tetapi bersikeras tidak mau membubarkan PKI.
Alasan mengapa Presiden
Sukarno tidak mau membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) akhirnya
terungkap. Alasan utamanya adalah konsep politik Nasakom yang Sukarno gaungkan
pada dunia. Sukarno tidak mau membubarkan PKI karena sejak awal, Sukarno
melihat bahwa komunis adalah sebuah kekuatan yang diperlukan untuk menggerakkan
dan memelihara Revolusi Indonesia. Pandangan yang demikian sudah lama dianut
oleh Sukarno.
Didalam
Buku Dibawah Bendera Revolusi Jilid I, ditemukan artikel yang ditulis Sukarno
pada tahun 1926. Pada artikel yang bertajuk "Nasionalisme, Islamisme dan
Marxisme", Soekarno mengatakan "Keinsjafan akan tragik inilah pula
yang sekarang menjadi nyawa pergerakan rakyat di Indonesia- kita, yang
walaupun dalam maksudnya sama. ada mempunyai tiga sifat : Nasionalistis, Islamistis
dan Marxistis -lah adanya.
Pandangan
Sukarno yang dikemukakannya pada tahun 1926 ini kemudian diwujudkannya sesudah
Indonesia Merdeka dalam bentuk NASAKOM yaitu : Nasionalis, Agama dan Komunis. Sukarno
melihat ketiga aliran ini dapat dan seharusnya dipersatukan menjadi sebuah
kekuatan untuk terus memutar roda Revolusi Indonesia.
Jika Sukarno
membubarkan PKI di tahun 1965, hal itu sama dengan menghilangkan atau membuang
sebuah komponen penting dalam revolusi yaitu Komunisme. Artinya Sukarno akan
mengingkari sendiri dalil revolusi yang telah lama ada dalam pikirannya. Perlu
diingat pada masa itu Sukarno mengatakan " Revolusi Belum selesai"
dan untuk menggerakkan revolusi itu kekuatan Nasakom harus bahu membahu.
Alasan
Soekarno tidak mau membubarkan PKI karena ideologi Nasakom juga dijelaskan oleh
Soeharto. Menurut Suharto, Sukarno akan menggunakan kekuatan PKI
untuk mempersatukan Indonesia. Karena itu, Sukarno tidak akan
menghapus PKI setelah G30S PKI, walaupun ada desakan dari rakyat.
Apalagi Soekarno telah
mengeluarkan konsep ideologi baru, yaitu Nasakom (Nasionalis Agama dan Komunis)
yang telah digaung-gaungkan Sukarno, tidak hanya di dalam negeri tetapi
juga di panggung internasional. Konsep Nasakom disampaikan dalam Konferensi
Asia-Afrika di Bandung, Jawa Barat, tahun 1955 dan juga di sidang umum
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
"Konsep
Nasakom tersebut tidak hanya ke dalam negeri, tapi juga sudah dijual ke luar
negeri melewati pidato beliau di Persatuan (Perserikatan) Bangsa Bangsa (PBB),"
cerita Suharto menirukan ucapan Sukarno. Ketika disampaikan
bahwa rakyat yang meghendaki pembubaran PKI, Soekarno mengatakan,
"Har (Soeharto--Red), kamu harus tahu, bahwa saya ini bukan hanya pemimpin
indonesia. Saya ini pemimpin dunia." Soekarno melanjutkan, "Saya
sudah terlanjur menjual konsep nasakom itu kepada dunia. Sekarang saya harus
bubarkan PKI, berarti saya kan harus cabut konsep saya itu. Jadi, mau
diletakkan di mana muka saya ini.
Alasan
lain mengapa Sukarno tidak mau membubarkan PKI adalah karena kedekatannya
dengan negara negara komunis terutama RRC dan Uni Sovyet. Pada masa menjelang
1965, Sukarno masih terus menghantam negara negara yang disebutnya Neo
Kolonialisme atau Nekolim. Negara-negara Nekolim yang dimaksudkannya ini adalah
juga negara negara yang sangat dekat hubungannya bahkan dilindungi oleh negara
negara Imperialis-Kapitalis.
Untuk
menghadapi negara-negara Nekolim ini maka dibutuhkan bantuan dari negara negara
komunis seperti UNI Sovyet dan RRC. Pada masa sebelum Oktober 1965 Sukarno
meningkatkan kerjasama dengan RRC dan Korea Utara. Dengan hubungan erat yang
demikian maka tidaklah mungkin Sukarno membubarkan PKI yang pada masa itu
merupakan partai Komunis terkuat di luar negara-negara komunis.
Itulah alasan mengapa Sukarno tidak membubarkan PKI walau telah melakukan pemberontakan. Dengan ideologi Nasakom, Sukarno berusaha membangun sebuah negara yang kuat dengan bersatunya ketiga ideologi tersebut. Walau mungkin masih ada alasan lain sehingga Sukarno tidak mau membubarkan PKI. Tetapi sejarah mencatat, karena PKI tidak dibubarkanlah maka berbagai unjuk rasa semakin marak. Prof Salim menceritakan pernah ada upaya dari Sukarno membubarkan PKI tetapi akan membuat partai baru yang juga berhaluan komunis. Cerita ini beredar tidak lama setelah peristiwa Gerakan September Tiga Puluh atau Gestapu. Pada 11 Maret 1966, Sukarno telah menyerahkan pimpinan negara kepada Suharto. Sejak saat itu pulalah Suharto secara de fakto telah menjadi pemimpin negeri dan menjadikan PKI sebagai partai terlarang. Setelah pembubaran tersebut, perlahan-lahan Nasakom tidak lagi terdengar di Indonesia.
Sumber Referensi :
akurat.co,
intisari.grid.id,
kompasiana.com,
rri.co.id,
wartakota.tribunnews.com
0 komentar:
Posting Komentar