Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 tidak hanya melibatkan
para pejabat pemerintah, tapi juga penduduk biasa yang memiliki rasa dendam
terutama ulama-ulama dan para santri. Perkataan Karl Marx yang
menyatakan bahwa agama adalah candu, dicerna mentah-mentah oleh Muso dan
anggotanya. Tidak mengherankan, jika mereka tidak
segan-segan membantai para kiai dan para santri. Pada dasarnya, pembantaian itu
merupakan bagian dari aksi PKI untuk memberangus pengaruh agama Islam di tengah
masyarakat. Para kiai, ulama dan santri dikunci di dalam masjid yang kemudian
dibakar hanya karena mereka benci dengan agama Islam.
Dengan alasan kaum
FDR-PKI merasa tidak suka pada orang-orang Masyumi, Semua pimpinan Masyumi dan
PNI dibunuh dengan cara yang tidak manusiawi. Tubuh mereka dipisahkan dengan
kepalanya dan pembunuhan keji lainnya. Orang-orang yang terbunuh dibiarkan
tergeletak di sepanjang jalanan di kota Madiun. Sehingga hanya dalam beberapa
hari saja darah manusia telah membanjiri kota Madiun. Banyaknya mayat membuat
beberapa daerah berbau anyir darah. Tidak sedikit pula para korban pembantain
yang dimasukin ke dalam sumur-sumur yang telah disiapkan.
Setelah berhasil menguasai
Madiun, PKI kemudian bergerak ke pesantren Sabilul Muttaqin atau yang
lebih dikenal dengan pesantren Takeran. Bersamaan dengan kudeta terhadap
pemerintah, pendukung PKI mengincar tokoh-tokoh dari pesantren Takeran. Karena
pesantren Takeran pada masa pimpinan kiai Imam Mursyid Muttaqien, merupakan
pesantren yang paling berwibawa di kawasan Magetan. Jumlah korban pembantaian di
Magetan tidak dapat diketahui secara pasti. Namun sumur-sumur tua dan
lubang-lubang pembantaian yang dipakai anggota Komunis untuk menghabisi lawan,
yang tersebar di berbagai tempat di Magetan, sekaligus menjadi saksi sejarah
kebiadaban PKI kala itu.
Pada Ba'da shalat
Jumat, pimpinan pesantren Takeran, yaitu Kiai Imam Mursyid, didatangi oleh tokoh-tokoh
PKI. Diantara rombongan tersebut, ada salah satu mantan santri pondok pesantren
Takeran. Saat didatangi tokoh PKI, pimpinan Takeran dibawa keluar dari mushola
kecil untuk berunding mengenai Republik Soviet Indonesia versi PKI. Pada saat
itu pesantren sudah dikepung ratusan orang PKI dengan berpakaian hitam serta
memakai ikat kepala berwarna merah dan dilengkapi dengan senapan. Satu-persatu tokoh-tokoh pesantren Takeran ditarik oleh PKI.
Diawali dengan penangkapan sepupu Kiai Imam Mursyid, yaitu Kiai Muhammad Nur dengan
alasan perundingan membutuhkan kehadiran Kiai Muhammad Nur.
Selanjutnya, PKI
mengatakan dua tokoh pimpinan pesantren Takeran bisa pulang setelah ustadz
Muhammad Tarmuji datang menjemput mereka langsung ke Gorang Gareng, yaitu
markas PKI yang terletak 6 KM sebelah barat Takeran. PKI terus menangkap tokoh-tokoh penting pesantren Takeran dan
berakhir dengan penangkapan ustadz yang berasal dari Al Azhar, Mesir, yang
bernama Hadi Adaba'.
Namun semua hanyalah
strategi licik PKI yang tidak suka dengan tokoh-tokoh agama Islam. Tokoh yang
ditangkap tidak pernah kembali dan sebagian besar sudah ditemukan menjadi mayat
di lubang-lubang pembantaian PKI yang tersebar di daerah Magetan. Namun
anehnya, tokoh penting pesantren Takeran yaitu Kiai Imam Mursyid, tidak ditemukan
mayatnya. Bahkan hingga tahun 1990 mayat beliau tidak kunjung ditemukan.
Pada Hari Sabtu pagi
tanggal 18 September 1948, ulama dan kiai pesantren Burikin ikut di serbu dan
diseret sejauh 500 meter dari pesantren Burikin ke desa Batokan. Kemudian mereka beralih ke sumur tua Cigrok, salah satu tempat
pembantaian kebiadaban PKI. Sumur tua Cigrok terletak di desa Cigrok bagian
selatan Takeran. lebih spesifiknya terletak di belakang rumah seorang orang
warga yang non PKI. Cigrok hanyalah salah satu dari banyaknya tempat yang
menjadi sumur pembantaian kiai dan santri di daerah Magetan.
Pada malam terjadinya kejadian
menyedihkan itu, terdengar suara bentakan yang diiringi jeritan histeris.
Muslim, seorang santri yang tinggal dekat sumur tua itu menyaksikan kekejaman
PKI. Saat malam semakin larut, Para anggota PKI berkumpul di dekat sumur Cigrok.
Suara lantang pasukan PKI membentak para tawanan. Muslim yang terbangun karena
kegaduhan tersebut, mengintip dari bilik bambu rumahnya.
Berbeda dengan biasanya,
pembantaian di sumur Cigrok tidak menggunakan, arit ataupun senjata api (klewang).
Saat itu para anggota PKI menggunakan pentungan sebagai senjata untuk menyiksa
para tawanan. Kiai Imam Sofyan berulang kali dipukul oleh
anggota PKI, ia dijebloskan ke sumur dan dilempari dengan benda keras dari atas
sumur. Sambil menahan rasa sakit, Kiai Imam Sofyan mengumandangkan azan dari
dalam sumur Cigrok. Pada saat itulah Muslim mendengar suara Adzan yang menurutnya
adalah suara Kiai Imam Sofyan dari pesantren Kebonsari. Rasa sakit begitu menyiksanya, namun nyawa seakan belum ingin
berpisah dari raga. Setelah selesai mengumandangkan azan, Kiai Imam Sofyan
akhirnya terjatuh di atas tumpukan mayat lain di sumur itu.
Kekejaman PKI yang seakan
tak bertuhan, mereka kemudian menimbun dengan jerami, tanah dan bebatuan.
Mereka dikubur hidup-hidup di sumur itu, korban di sumur Cigrok sedikitnya berjumlah
22 orang. Di tempat yang berbeda dari sumur Cigrok, kedua putra Imam Sofyan
ternyata juga ikut ditangkap. Mereka adalah kiai Zubair dan Kiai Bawani, mereka
juga menjadi korban pembantaian anggota PKI.
Korban selain Kiai
Imam Sofyan di sumur cigrok adalah Hadi Addaba’ dan Imam Faham dari PSM Takeran. Imam
Faham adalah santri Kiai Imam Mursyid-Takeran yang ikut mengiringi gurunya
ketika dibawa mobil PKI. Rupanya di tengah jalan Kiai dan santrinya itu
dipisah. Imam diturunkan di tengah jalan dan akhirnya ditemukan di dalam lubang
pembantaian Cigrok.
Kejadian itu juga
disaksikan Ahmad Idris, tokoh Masyumi di desa Cigrok yang menyaksikan
penjagalan PKI dari kejauhan. Idris mengatakan, “tawanan saat itu dengan
kondisi tangan terikat dihadapkan ke arah timur sumur dan kemudian dihantamkan
dengan pentungan di bagian belakang kepala yang kemudian dimasukkan ke lubang
Cigrok.”
Para tawanan menjerit kesakitan sebelum akhirnya jatuh ke dalam
sumur Cigrok karena dipukul dengan pentungan. Banyak dari mereka yang langsung
tewas setelah dipukul menggunakan pentungan, namun adapula yang masih hidup dan
berusaha keluar dari sumur itu. Dengan susah payah mereka merangkak, tangan
mereka berusaha menggapai sisi sumur, tetapi apalah daya ketika tenaga telah
habis. Walau mereka mengeluh kesakitan, rasa kemanusiaan anggota PKI telah
hilang. Mereka melakukan perbuatan keji layaknya mereka menyiksa binatang,
sebelum akhirnya mengubur para tahanan hidup-hidup.
Itulah kekejaman anggota PKI yang terjadi di Sumur Cigrok,
Takeran, Jawa Timur. Di desa Cigrok kemudian dibangun Monumen untuk mengabadikan
kejadian pilu yang terjadi pada kiai dan para santri. Tak hanya para kiai dan
santri, camat Takeran saat itu juga menjadi korban kekejaman PKI. Para Anggota
PKI membunuh siapa saja yang menentang ideologi mereka, karena mereka
menganggap kelompok lain sebagai musuh tegaknya ideologi komunis. Peristiwa
pembantaian oleh orang-orang PKI bahkan meninggalkan trauma bagi orang-orang
yang menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri.
Sumber referensi : datariau.com
hidayatullah.com
suaraislam.id
0 komentar:
Posting Komentar