Partai Komunis Indonesia (PKI) dan DI/TII
adalah dua kelompok besar yang pernah ada di Indonesia. Kedua kelompok ini
kemudian melakukan pemberontakkan terhadap bangsa Indonesia. Terdapat karya
sastra yang mengatakan bahwa pemberontakkan DI/TII disebabkan oleh orang-orang
PKI. Banyak orang-orang PKI yang menyatakan mereka adalah anggota DI/TII
kemudian melakukan kekacauan. Selain itu dikatakan pula, PKI juga menyusup ke
tentara republik kemudian menyerang laskar Hizbullah untuk menimbulkan
kebingungan.
Kisah itu terdapat Dalam karya sastra karangan
Ahmad Tohari berjudul Lingkar Tanah Lingkar Air (2015). Terdapat pertempuran
antara Hizbullah dan golongan komunis. Kisah yang terjadi di Kebumen ini, hanyalah
salah satu dari beberapa fragmen tentang narasi permusuhan antara kedua
golongan besar tersebut.
Setelah perang kemerdekaan berakhir, sejumlah
laskar berusaha untuk disatukan ke dalam tentara Republik. Sebagai anggota
laskar Hizbullah, pagi itu Amid, Kiram, dan Jun bergerak menuju Kebumen, mereka
bergabung dengan pasukan Hizbullah dari beberapa daerah lain. Terdengar kabar,
mereka akan diangkut ke Purworejo untuk dilantik sebagai tentara Republik.
Mereka kemudian menunggu di tepi rel kereta api. Pada pukul sembilan pagi,
sebuah lokomotif beserta rangkaiannya bergerak mendekati Stasiun Kebumen.
Dalam angan mereka, selangkah lagi akan sah
sebagai tentara Republik dengan usia muda. Mereka juga memiliki harapan untuk
mendapat pangkat dan gaji. Saat kereta api benar-benar telah begitu dekat,
berondongan peluru merajalela dari dalam gerbong. Peluru-peluru tersebut
mengarah ke pasukan Hizbullah yang tengah menunggu di samping rel kereta.
Karena diserang tibaba-tiba, pasukan Hizbullah banyak yang berjatuhan. Amid,
Kiram, dan Jun dengan sigap menjatuhkan diri ke dalam parit. Sebagian laskar
Hizbullah berhasil menyelamatkan diri, tapi tak sedikit yang bertumbangan dihantam
timah panas. Tiga sekawan dan pasukan yang selamat kemudian melakukan serangan
balik. Baku tembak pun terjadi antara kedua kubu itu, sebelum akhirnya sebuah granat meluncur deras masuk ke dalam
gerbong lewat celah jendela dan menghancurkannya.
Pertempuran itu berlangsung selama dua jam,
pertempuran akhirnya berakhir setelah granat meluluhlantakkan gerbong beserta
isinya. Para penyerang telah kalah melawan laskar Hizbullah. Sebagian pasukan
Hizbullah yang selamat menuduh pasukan Republik telah berkhianat. Sebagian lagi
tak menganggap tentara Republik sekotor itu, mereka justru menuding orang-orang
komunis sisa-sisa peristiwa Madiun 1948 di balik penyerangan tersebut. Kereta
yang rencananya akan mengangkut mereka ke Purworejo justru menjadi ular besi
pencabut nyawa. Kekecewaan ini membuat sebagian laskar Hizbullah akhirnya
bergabung dengan DI/TII pimpinan Kartosoewirjo.
Ahmad Tohari juga menceritakan permusuhan ini
ketika pemberontakan DI/TII yang pasukan intinya berasal dari Hizbullah.
Pasukan itu terus eksis sampai menjelang keruntuhannya lewat operasi Pagar
Betis. Lewat karya fiksi, Ahmad Tohari seolah-olah hendak membuat terang
wilayah yang kerap dianggap abu-abu tentang infiltrasi dan penghancuran nama
DI/TII oleh kelompok kiri.
Saat aksi-aksi garong, penganiayaan, dan pembunuhan
terhadap rakyat sipil yang dilakukan kelompok bersenjata semakin menjadi-jadi,
Ahmad Tohari menyebut kelompok kiri kerap memakai nama DI/TII untuk melakukan
aksinya. “Yang lebih menyulitkan kami, orang-orang Gerakan Siluman (komunis)
ibarat tombak bermata dua. Ke arah DI/TII, mereka membuka garis permusuhan,
sementara ke arah lain mereka menggunakan nama DI/TII untuk melakukan
perampokan-perampokan terhadap orang-orang dusun”. Saat itu milisi yang dilatih
tentara Republik yang mula-mula bernama Pemuda Desa (PD), kemudian berganti
nama menjadi Organisasi Keamanan Desa (OKD), lalu menjadi Organisasi Pertahanan
Rakyat (OPR), yang dikerahkan untuk membantu TNI memburu anggota DI/TII,
mayoritas dari mereka berasal dari kelompok kiri.”
Dengan situasi kekuatan DI/TII yang kian
melemah, membuat Amid, Kiram, dan Jun enggan menyerahkan diri kepada TNI. Mereka
yakin sebelum sampai ke pos militer, mereka akan dihabisi para milisi yang
telah disusupi oleh orang-orang komunis. Kiram yang paling keras di antara ketiganya
mengatakan “Sebelum orang seperti kita sampai ke kampung, kita sudah habis di
tangan OPR. Organisasi Perlawanan Rakyat itu banyak disusupi orang-orang
Gerakan Siluman yang komunis. Jadi percuma bila kita berniat turun gunung.
Bagiku, daripada mati karena menyerahkan diri, lebih baik aku mati bertempur,”.
Kisah tentang milisi desa yang memburu anggota
DI/TII yang dihuni orang-orang komunis terdapat juga dalam cerpen berbahasa
Sunda karya Ahmad Bakri yang berjudul Dukun Lepus (2002). Jika Ahmad Tohari
yang kelahiran Banyumas dan kisahnya berlatar di Jawa Tengah, maka Ahmad Bakri
kelahiran Ciamis dan latar ceritanya terjadi di Jawa Barat. Kedua provinsi ini
adalah pusat gerakan DI/TII pimpinan Kartosoewirjo dan Amir Fatah. Dalam cerpen
tersebut dikisahkan, suatu waktu seluruh warga Kampung Karangsari dikumpulkan
oleh OKD (Organisasi Keamanan Desa).
Ahmad Bakri menulis bahwa “rata-rata bareureum
(rata-rata merah/komunis) di balai desa. Saat itu OKD menemukan sebuah dokumen
tertulis yang dicurigai berisi daftar warga yang memberikan sumbangan untuk
DI/TII, juga karena kampung tersebut dianggap sebagai daerah santri yang banyak
bergabung dengan gerakan Kartosoewirjo. Kisah ini diakhiri dengan pemukulan
anggota OKD oleh seorang perangkat desa yang kesal karena sikapnya jemawa dalam
memperlakukan warga kampung.
Itulah konflik antara PKI dan DII/TII, dua buah
ideologi yang berusaha menjadi ideologi negara. Dalam Karangan Sastra yang
ditulis oleh Ahmad Tohari seolah mengatakan bahwa DI/TII dirusak oleh
orang-orang PKI yang memnyebabkan DI/TII memberontak. Sedangkan pada keterangan
lain saat pemberontakan DI/TII di Kabupaten Bandung, dikatakan bahwa gerombolan
yang sering menyatroni kampung adalah orang-orang DI/TII, bukan komunis.
mungkin memang benar orang-orang Kartosoewirjo yang melakukannya, atau mungkin
orang-orang komunis yang mengatasnamakan DI/TII seperti dalam cerita Ahmad
Tohari. Namun yang jelas setelah Kartosoewirjo tertangkap pada tahun1962, aksi
gerombolan berangsur berkurang dan hilang, mereka tak menyimpan ingatan tentang
gangguan keamanan yang dilakukan orang-orang komunis.
kisah yang ditulis oleh Ahmad Tohari dan Ahmad
Bakri mungkin tidak sepenuhnya salah, karena mereka pasti tidak menulis
ceritanya dari ruang hampa atau tanpa rujukan. Mereka pasti terlebih dahulu
melakukan riset pustaka atau mungkin menuliskan pengalamannya sendiri saat
masa-masa konflik itu berlangsung.
Sumber Referensi : tirto.id
0 komentar:
Posting Komentar