Setelah
Indonesia merdeka, pergolakan di dalam negara belum selesai. Beberapa ideologi
pernah memberontak kepada negara. Contoh konflik ideologi yang pernah terjadi
di Indonesia, yaitu peristiwa pemberontakkan PKI Madiun, pemberontakkan DI/TII,
dan Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI). Dalam konflik dan pergolakan yang
berkaitan dengan ideologi tersebut, ada pula ideologi yang dipegang oleh
kelompok tertentu. Hal inilah yang menjadi latar belakang terjadinya konflik
dan pergolakan yang berkaitan dengan ideologi.
Pergolakan ini lebih
tepat disebut sebagai pemberontakan terhadap pemerintahan Indonesia. Hal
tersebut terjadi karena kelompok yang melakukan aksinya menginginkan Indonesia
menjadi negara yang sejalan dengan menggunakan ideologi yang dipercayai
kelompok tersebut. Ideologi sendiri menurut KBBI bermakna kumpulan konsep
bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan
tujuan untuk kelangsungan hidup; cara berpikir seseorang atau suatu golongan;
serta paham, teori, dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik.
Pada hasil
Pemilu pada tahun 1955, adalah perang ideologi yang berada dalam kekuatan
puncaknya, raihan suara yang merepresentasikan kedua pihak yakni Masyumi dan
PKI cukup berimbang di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Di Jawa Barat, Masyumi
meraih 13 kursi dan PKI 5 kursi. Sementara di Jawa Tengah, PKI meraih 15 kursi,
dan Masyumi hanya 6 kursi. Jika raihan suara di kedua provinsi itu dijumlahkan,
maka Masyumi meraih 19 kursi dan PKI 20 kursi. Hasil Pemilu 1955 di kedua
provinsi itu setidaknya memberikan gambaran tentang bagaimana dua ideologi
tersebut mewarnai pilihan masyarakat, dan memetakan kekuatan dua kubu dalam
konteks pemberontakan DI/TII.
Jika ditarik
lebih jauh ke belakang, sejumlah catatan sejarah juga menerangkan jejak tentang
konflik golongan Islam dan kiri, terutama yang melibatkan Kartosoewirjo dan
para pejuang yang kelak menjadi pasukan DI/TII. Sebuah insiden di sekitar
Perjanjian Linggarjati dicatat Holk H. Dengel dalam Darul Islam dan
Kartosuwirjo: “Angan-angan yang Gagal” (1995). Menurutnya, pada Maret 1947 saat
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) melakukan sidang untuk membahas
Perjanjian Linggarjati di Malang, Kartosoewijo beserta laskarnya bergerak dari
Jawa Barat menuju Malang.
Mereka dengan
tegas dan tanpa kompromi menolak perjanjian tersebut. Langkah ini ia lakukan
untuk mencegah laskar sayap kiri yang setuju terhadap perjanjian itu melakukan
teror terhadap para politikus yang menolak Perjanjian Linggarjati. “Ketika
anggota-anggota Pesindo dalam sidang KNIP mencoba untuk menakuti wakil-wakil
rakyat yang menolak persetujuan Linggardjati, dan ketika pertentangan tersebut
semakin meruncing. Kartosuwirjo menyuruh pasukannya untuk menempatkan sebuah
senapan mesin di atas sebuah rumah yang terletak di seberang gedung tempat KNIP
bersidang.
Bung Tomo yang
namanya populer dalam pertempuran Surabaya meminta Kartosoewirjo menahan diri.
Namun, Kartosoewirjo yang kelak menjadi imam NII itu hanya menatapnya tanpa
berbicara sepatah kata pun. Kartosoewirjo baru melunak setelah Bung Tomo
mengatakan tentang kemungkinan Belanda melakukan serangan terhadap sidang tersebut.
Dengel menambahkan, dalam dokumentasi yang disusun Majelis Penerangan Negara
Islam, terdapat catatan bahwa perjuangan politik umat Islam pada 1947
benar-benar ditekan kekuatan militer yang hampir seluruhnya berada di tangan
kelompok sayap kiri, yaitu PKI dan kaum sosialisme.
Pertentangan
semakin meruncing ketika Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin membentuk
Inspektorat Perdjuangan sebagai badan yang mewadahi laskar-laskar perjuangan
rakyat. Raden Oni sebagai ketua laskar Sabilillah daerah Priangan menolak badan
tersebut. Menurutnya, badan itu mempunyai tujuan untuk membuat umat Islam
menjadi sosialis. Dalam dokumen tersebut, tampak pula ketakutan laskar-laskar
Islam terhadap integrasi PKI ke dalam tubuh TNI.
“Menurut tulisan
DI, sejak Amir Sjarifuddin menjadi Menteri Pertahanan, semua perwira tentara
Republik adalah anggota sayap kiri, dengan demikian, kemungkinan Sabilillah dan
Hizbullah diterima untuk masuk TNI sangat tipis karena kurangnya pendidikan
para laskar tersebut. Laskar-laskar Islam juga mengkhawatirkan TNI hanya akan mengambil
senjata mereka, dan kemudian mereka segera dipulangkan ke tempatnya
masing-masing.
Kekhawatiran
laskar-laskar Islam terhadap keberadaan kelompok kiri dalam tubuh TNI secara
tersirat juga dicatat Cornelis van Dijk dalam Darul Islam Sebuah Pemberontakan
(1995). Menurutnya, meski tidak mungkin merinci semua konflik bersenjata
antarlaskar maupun merinci semua satuan gerilya dalam pusaran tersebut. Yang
jelas pada waktu itu banyak satuan gerilya liar terutama yang jumlahnya kecil
dan perlengkapan senjatanya terbatas yang diserap oleh tentara Republik.
Artinya, tidak
menutup kemungkinan banyak satuan-satuan gerilya kelompok kiri yang bergabung
dengan TNI dan hal tersebut yang dihindari oleh laskar Islam seperti Hizabullah
dan Sabilillah. Kemarahan laskar-laskar Islam di Jawa Barat kepada Amir
Sjarifuddin memuncak setelah Perjanjian Renville yang mengharuskan TNI untuk
mengosongkan wilayah Jawa Barat berdasarkan garis van Mook. Menurut Dengel
berdasarkan dokumen Majelis Penerangan Negara Islam, mereka mengungkapkan
kemarahannya dengan kalimat “Amir Sjarifuddin la’natoellah” karena dianggap
telah berkhianat dengan menjual Jawa Barat kepada Belanda.
Saat Divisi
Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah, Kartosoewirjo beserta laskar-laskar Islam
terutama Hizbullah dan Sabilillah justru memilih bertahan di Jawa Barat.
Kartosoewijo merasakan simpati yang besar dari para ulama dan rakyat Priangan
terhadap kekuatannya ketika terjadi pertempuran antara pasukannya melawan
Belanda di Gunung Cupu. Selain meminta perlindungan, para ulama dan rakyat
Priangan pun tahu bahwa dirinya adalah satu-satunya politikus yang tidak hijrah
ke Jawa Tengah dan selalu menolak setiap perundingan yang dilakukan antara
Republik dengan Belanda.
“Banyak
pemimpin-pemimpin umat Islam [di Priangan] kini berbondong-bondong ke
tempat-tempat yang dipertahankan Kartosuwirjo dan TII di lereng Gunung Cupu
untuk mencari perlindungan dan pertolongan, karena mereka bukan saja dikejar
oleh tentara Belanda melainkan juga oleh ‘komunis serta sosialis’,”. Catatan
Dengel yang menyebutkan "komunis serta sosialis" yang mengejar para
ulama dan rakyat Priangan kembali menguatkan situasi permusuhan antara kelompok
Islam dan PKI.
Dalam Lingkar
Tanah Lingkar Air, Ahmad Tohari tidak sepenuhnya menolak anggapan bahwa
aksi-aksi penggarongan terhadap warga sipil dilakukan pasukan DI/TII. Lewat
percakapan tokoh-tokoh yang ia bangun, Ahmad Tohari mengakuinya. Namun, ia juga
tak sepenuhnya menerima dengan menyertakan narasi tentang kelompok kiri yang
ikut melakukan penggarongan dengan mengatasnamakan DI/TII. Sementara pada
catatan sejarah yang ditulis Cornelis van Dijk dalam Darul Islam Sebuah
Pemberontakan (1995), ia juga menulis bahwa memang aksi-aksi itu tak sepenuhnya
dilakukan DI/TII meski tak menyebutnya sebagai kelakuan kelompok kiri. Van Dijk
hanya menyebutnya “gerombolan garong”.
“Sebenarnya,
beberapa di antaranya tidak lebih dari gerombolan garong yang melanjutkan
operasinya dalam situasi revolusioner yang baru. Dalam pengertian kebiasaan
Jawa lama, adanya kelompok pemuda gelandangan yang bertualang di daerah
pedalaman. Catatan lain disampaikan Holk H. Dengel, Kartosoewirjo menyebut
permusuhan pertama antara DI/TII dengan tentara Republik terjadi pada
Pertempuran Antralina di Ciawi, Tasikmalaya pada 25 Januari 1949.
DI/TII yang
dengan cepat menghimpun kekuatan di Jawa Barat ketika Divisi Siliwangi hijrah
ke Jawa Tengah, menganggap semua pasukan yang masuk ke Jawa Barat adalah
pasukan liar yang harus taat kepada gerakannya. “Waktu mereka (ja’ni R.I.
dlorurot dan komunis gadungan) itu masuk ke daerah de facto Madjlis Islam, maka
dengan sombong dan tjongkaknja mereka mengindjak-ngindjak hak dan memperkosa
keadilan ‘tuan-rumah’, sehingga terjadilah insiden pertama dengan menggunakan
sendjata, jang terkenal dengan nama ‘Pertempuran Antralina’ dan terjadi pada
tanggal 25.1.1949,”.
Ia secara jelas
menulis “komunis gadungan” terlibat dalam pertempuran tersebut. Artinya bisa
jadi kelompok komunis memang banyak berkeliaran di Jawa Barat ketika
pemberontakan DI/TII mulai menguat di Jawa Barat. Di penghujung tahun 1949,
setelah Negara Islam Indonesia (NII) diproklamasikan, digelar Kongres Muslimin
Indonesia di Yogyakarta pada tanggal 20-25 Desember. Pada kongres tersebut
dibahas pula soal gerakan DI/TII yang dipimpin Kartosoewirjo.
Seorang anggota
kongres mengungkapkan, sengketa antara laskar Islam dengan TNI berakar pada
peristiwa perlucutan senjata laskar Jawa Barat di awal perjuangan kemerdekaan.
“Pada saat itu perasaan umat Islam sangat terluka. Karena itu kerjasama dengan
TNI tidak dapat dipertahankan lagi,”. Selain itu ia juga mengungkapkan bahwa
Front Demokrasi Rakjat (FDR) yang ia sebut sebagai “kaum merah”, mencoba
mematahkan tenaga umat Islam dengan mempergunakan TNI.
Uraian-uraian
dalam sejumlah buku sejarah tentang Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, juga
lewat beberapa teks sastra tentang gerakan tersebut, tak menutup kemungkinan
bahwa memang kelompok kiri terlibat dalam memperkeruh suasana keamanan warga
sipil. Situasi ini dengan tepat diungkapkan dengan kata "pabaliut” yang
berarti kacau balau. Permusuhan tersebut berlanjut ketika situasi berbalik,
yaitu ketika pemberontakkan PKI tahun 1965.
Menurut Dengel,
para mantan kombatan DI/TII ikut dilibatkan dalam penumpasan G30S tahun 1965.
"Sebagian besar anggota gerakan DI/TII pada tahun 1963 oleh pemerintah
diberikan amnesti dan setelah terjadi peristiwa G 30 S, banyak dari antara
mereka ditarik sebagai penasihat oleh Kodam Siliwangi pada waktu menumpas
Gerakan 30 September/PKI,".
Itulah perseteruan
antara komunis dan DI/TII yang kemudian berlanjut hingga ke pemberontakan PKI
tahun 1965. Kekhawatiran anggota DI/TII terhadap kaum PKI, membuat mereka
berpikir bahwa anggota TNI telah banyak disusupi oleh kaum kiri. Karena
kekhawatiran itulah mereka tidak percaya kepada TNI dan akhirnya memberontak.
Selain itu, banyaknya orang-orang PKI yang menyusup ke dalam anggota DI/TII dan melakukan fitnah disana-sini sehingga rakyat menjadi tidak simpatik dengan perjuangan DI/TII,
akhirnya DI/TII berhasil dilumpuhkan oleh gabungan TNI dan Rakyat. Pembersihan tersebut dikenal dengan operasi pagar betis yang merupakan singkatan dari Pasukan Garnisun Berantas Tentara Islam. Walaupun pada akhirnya setelah peristiwa G30S,
anggota TNI bersatu dengan mantan anggota DI/TII untuk menumpas anggota PKI
pada akhir tahun 1965 sampai tahun-tahun sesudahnya. Pada saat ini kedua kelompok besar tersebut mungkin tidak terlihat
lagi, namun keturunan dari kelompok tersebut mungkin masih ada diantara kita dan semoga mereka dapat hidup bedampingan serta saling memaafkan untuk menjaga negeri ini tetap stabil tanpa pertumpahan darah seperti masa-masa kelam dahulu.
Sumber Referensi : tirto.id
0 komentar:
Posting Komentar