Delapan
belas tahun hampir berlalu, namun hingga saat ini kematiannya masih menjadi
misteri. Hingga kasusnya hampir kadaluarsa, namun dalang sesungguhnya dari
pembunuhan berencana tersebut masih belum ditemukan. Menurut Pasal 78 Ayat (1) angka 4 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), hak penuntutan perkara dengan ancaman hukuman mati atau
penjara seumur hidup akan kedaluwarsa setelah 18 tahun. Jika kasus tersebut ditutup karena
kadaluarsa, maka dalang di balik meninggalnya Munir akan bebas tanpa terjerat hukum.
Munir Said Thalib adalah Pria keturunan
Arab yang menjadi pejuang HAM tanpa kenal lelah melawan praktek-praktek penyalahangunaan
kekuasaan. Pada tahun 1998, Munir ikut serta mendirikan Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Kontras adalah sebuah
lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang hak asasi manusia,
terutama penghilangan paksa dan pelanggaran hak asasi manusia
lainnya.
Munir pula yang memainkan peran penting
dalam membongkar keterlibatan aparat keamanan dalam pelanggaran HAM di Aceh,
Papua dan Timor Leste (dulu Timor Timur). Munir juga ikut merumuskan
rekomendasi kepada pemerintah untuk membawa para pejabat tinggi yang terlibat
dalam pelanggaran HAM di tiga daerah itu ke pengadilan. Selain itu, ia juga
menjadi pengacara kasus Marsinah, penasihat hukum kasus hilangnya 24 aktivis di
Jakarta pada tahun 1997-1998 dan banyak kasus-kasus lainnya.
Sosok Munir yang pemberani dan tangguh
dalam meneriakan kebenaran, membuatnya mendapat berbagai penghargaan baik dalam
maupun luar negeri. Kiprahnya sebagai aktivis HAM membuatnya ia cukup akrab
dengan bahaya dan kerap mendapatkan banyak ancaman. Munir pernah mendapat teror
bom yang meledak di pekarangan rumahnya. Selain itu, kantor tempatnya bekerja juga
pernah diserang oleh beberapa orang tidak dikenal. Setelah menghancurkan
perlengkapan kantor, segerombolan orang itu merampas dokumen secara paksa.
Dokumen itu terkait dengan pelanggaran HAM yang sedang dikerjakannya. Namun
perjuangannya harus terhenti, Munir dinyatakan meninggal pada 7 September 2004
di Pesawat Garuda GA-974 kursi 40-G. Ia tewas dalam penerbangannya menuju
Amsterdam untuk melanjutkan studi di Universitas Ultrecht.
Dua
hari sebelum keberangkatan, Munir mendapat telepon dari pilot Garuda,
Pollycarpus yang menanyakan jadwal keberangkatan Munir ke Amsterdam.
Telepon itu tidak diangkat oleh Munir langsung, melainkan istrinya
bernama Suciwati. Pollycarpus saat itu menanyakan jadwal
keberangkatan Munir, dan ia mengatakan akan pergi bersama. Diketahui
bahwa saat Pollycarpus membuat dokumen palsu tentang penugasannya, agar dapat
berangkat satu pesawat dengan Munir.
Pada saat hari keberangkatan, Sekitar jam
9 malam Munir bersiap untuk terbang ke Amsterdam. Tetapi
sebelum itu, Pollycarpus sempat mendatangi Munir dan bertukar tiket
pesawat. Munir dan Pollycarpus bertukar tiket yang artinya mereka bertukar
tempat duduk di pesawat. Pesawat
Garuda GA-794 kemudian transit di Bandara Changi Singapura. Disana,
Munir masuk kedalam sebuah kafe bersama Pollycarpus dan satu temannya. Di
dalam kafe, Pollycarpus memberikan segelas kopi kepada Munir dan
diminumnya. Beberapa menit sebelum kembali ke pesawat, Munir sempat mengirim
pesan singkat kepada Suciwati bahwa perutnya terasa sakit.
Walaupun sakit, Munir terus
melanjutkan perjalanan sedangkan Pollycarpus tetap di Singapura. Sebelum pesawat mengudara, Munir
meminta obat maag kepada pramugari. Munir diminta menunggu karena pesawat akan
tinggal landas. Kira-kira 15 menit kemudian, pramugari membangunkan Munir yang
saat itu tidur. Saat itu, Munir yang ditanya soal obat maag yang diminta
menjawab belum menerima. Pramugari tersebut kemudian menawari makanan dan
ditolak Munir meminta teh hangat. Di dalam pesawat, sakit perutnya
semakin terasa. Munir bolak-balik ke toilet yang membuat Kondisinya
semakin memburuk, Munir beberapa kali
mengalami muntaber. Denyut nadi Munir juga melemah,
bahkan Munir sulit untuk berbicara saat itu. Munir kemudian sempat
mendapatkan sejumlah obat untuk meredakan sakit perutnya.
Munir
lalu kembali ke toilet, setelah 10 menit berlalu namun Munir belum juga keluar. Temannya lantas datang
menghampiri dan menemukan Munir di dalam toilet tidak bisa berdiri.
Munir Kembali ke tempat duduk, dia kemudian diberikan obat penenang yang
membuatnya bisa beristirahat. saat itu Munir masih sadar, dan sempat
mengacungkan jempol kepada pramugari pesawat yang minta izin untuk sholat dan
menyiapkan sarapan. Ketika
pramugari pesawat kembali untuk mengecek, Munir tidak lagi bernyawa dengan air
liur yang keluar dari mulutnya dan Telapak tangan Munir pun membiru.
Sesampainya di Amsterdam, jasad Munir kemudian diperiksa oleh
Netherlands Forensik Institute (NFI).
Berdasarkan otopsi yang dilakukan
otoritas Belanda, Munir dinyatakan meninggal karena diracun. Hal tersebut
diketahui setelah senyawa arsenik ditemukan di dalam tubuhnya usai autopsi
dilakukan, dilansir dari etan.org. Senyawa itu diketahui terdapat
di dalam air seni, darah, dan jantung yang jumlahnya melebihi kandungan normal.
Kematian
Munir kemudian menyeret berbagai pihak dari maskapai Garuda Indonesia. Dalam kasus ini, tiga orang sudah
diadili terkait dengan pembunuhan Munir. Tetapi orang-orang yang diduga kuat
sebagai pihak-pihak yang sesungguhnya bertanggung jawab atas pembunuhan Munir
masih belum diproses secara hukum. Tiga orang yang diadili adalah pegawai
Garuda Indonesia. Pollycarpus
kemudian dinyatakan sebagai pelaku pembunuhan dengan memasukkan racun arsenik
pada tubuh Munir. pada
dakwaan jaksa, Pollycarpus disebut melakukan pembunuhan berencana bersama
mantan dua kru Garuda Indonesia, Yeti Susmiarti dan Oedi Irianto. Sementara
itu, Indra Setiawan diduga turut membantu Pollycarpus menjalankan aksinya. Meski demikian, banyak pihak masih
meragukan bahwa Pollycarpus adalah aktor utamanya. Sejumlah fakta persidangan
juga menyebut ada dugaan keterlibatan petinggi Badan Intelijen Negara (BIN)
dalam kasus pembunuhan ini.
Pollycarpus dijatuhi hukuman penjara
selama 14 tahun, namun dinyatakan tidak terbukti telah menghilangkan nyawa
Munir di tingkat Mahkamah Agung. Majelis hakim tetap menyatakan Pollycarpus bersalah
karena menggunakan surat dokumen palsu untuk mengklaim dirinya adalah kru
tambahan Garuda Indonesia. Ia kemudian menumpang pesawat yang ditumpangi Munir
ketika transit di Singapura. Ia sempat dijatuhi hukuman 20 tahun
penjara. Namun dalam prosesnya, keputusan hakim selalu berubah-ubah. Setelah
memohon peninjauan kembali, hukumannya menjadi 14 tahun penjara. Pada November
2014, Pollycarpus telah bebas bersyarat
dan dinyatakan bebas murni pada Agustus 2018. Pada tahun 2020, Pollycarpus dinyatakan
meninggal dunia karena
terpapar Covid-19.
Beredar
dugaan bahwa pemerintah, melalui Badan Intelijen Negara (BIN) adalah mastermind di
balik pembunuhan Munir. Komnas HAM menyebut adanya cacat-cacat dari investigasi
kepolisian, penuntutan, dan persidangan Muchdi Purwoprandjono. Muchdi adalah
mantan deputi kepala BIN yang bebas dari dakwaan membantu pembunuhan Munir pada
2008. Jika ditelusuri ke belakang, Muchdi pernah dicopot dari jabatannya di
Kopassus atas dugaan terlibat penghilangan mahasiswa pada tahun 1996, kasus
yang disuarakan dengan sangat lantang oleh Munir semasa hidup. Namun mantan Deputi V BIN Mayjen
Purn Muchdi Purwoprandjono yang juga menjadi terdakwa dalam kasus ini divonis
bebas dari segala dakwaan.
Pemerintah selalu berjanji akan
menyelesaikan kasus Munir. Tetapi sampai saat ini, pemerintah belum
mempublikasikan laporan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir (TPF) sejak
2005 lalu. Hasil laporan Tim Pencari Fakta (TPF) saat ini tidak diketahui di mana dokumen terkait
kasus kematian Munir berada. Hal
ini terbongkar dalam sidang sengketa informasi publik yang digugat Kontras
ke Komisi Informasi Pusat (KIP).
Kontras
menggugat pemerintah agar membuka dokumen hasil pemeriksaan TPF kasus
pembunuhan Munir. Saat itu, KIP memutuskan agar Kementerian Sekretariat Negara membuka
dokumen itu. Namun, Kementerian Sekretariat Negara bersikukuh tidak memiliki
dokumen tersebut. Asisten Deputi Hubungan Masyarakat Kementerian
Sekretariat Negara memastikan Kemensetneg tidak memiliki dokumen yang diminta.
Hal itu juga sudah disampaikan pada persidangan di KIP, bahwa Kemensetneg tidak memiliki, menguasai, dan
mengetahui keberadaan dokumen Laporan Akhir Tim Pencari Fakta Kasus
Meninggalnya Munir (Laporan TPF).
Kejaksaan
Agung (Kejagung) juga turut mencari keberadaan dokumen hasil investigasi TPF
pembunuhan Munir. Namun Sampai saat ini, dokumen belum ditemukan dan pencarian
masih terus dilakukan. Ombudsman
menduga, hilangnya dokumen tersebut hingga hari ini adalah faktor kelalaian
pemerintah sehingga penyelidikan dan penuntasan kasus terhambat dan tidak
transparan terhadap masyarakat.
Itulah kisah kematian Munir, seorang
aktivis yang selalu melawan ketidakadilan. Sejumlah misteri masih menyelimuti
kematiannya, terutama motif dan dalang pembunuhan tersebut. Terlebih
lagi saat dikatakan bahwa dokumen laporan TPF juga dikatakan menghilang. Hal ini membuat upaya pencarian
dalang sesungguhnya menjadi semakin sulit. Jika tahun ini kasus tersebut belum
terungkap, maka kasus pembunuhan Munir akan ditutup karena telah mencapai 18
tahun. Hingga saat ini kejadian seperti kasus Munir masih sering terjadi dengan
penyalahgunaan kekuasaan. Jika kasus Munir dapat terungkap, maka kasus ini
tidak lagi menjadi misteri. Seakan kasus ini selalu ditutupi sehingga tidak kunjung
menemukan titik terang.
Karena kehidupan dan kegigihannya
memperjuangkan HAM, Munir pernah mendapat penghargaan “The Rights Livelihood
Award”, dari pemerintah Swedia pada tahun 2000. Semasa hidupnya, ia sering
melakukan advokasi korban kekerasan dan pelanggaran HAM lewat berbagai program
pencerahan. Berkat keberanian atas kerja-kerja kemanusiaanya pula, nama Munir
diabadikan menjadi sebuah museum di Malang, Jawa Timur. Museum Hak Asasi
Manusia Omah Munir ini memiliki misi untuk memberikan pendidikan tentang HAM
bagi masyarakat, terutama generasi muda. Ini merupakan museum HAM pertama kali
di Asia Tenggara.
Sumber Referensi : bekasi.pikiran-rakyat.com
idntimes.com
liputan6.com
nasional.kompas.com
nasional.tempo.co
tirto.id
0 komentar:
Posting Komentar