Pemerintahan belanda tidak hanya kejam terhadap
pribumi, tetapi juga kepada siapa saja yang berusaha melakukan pemberontakan
terhadap kekuasaannya. Kejadian tragis yang dialami oleh orang kulit putih
pernah terjadi di Jakarta yang dulu disebut Batavia. Bahkan, mereka membangun monumennya
untuk mengatakan bahwa Belanda tidak segan-segan menghukum siapapun yang
memberontak.
Salah satu orang kulit yang menjadi korban kekejaman belanda adalah
Pieter Erberveld. Pieter Erberveld ditangkap bersama 17 orang pribumi lainnya
termasuk Raden Kartadriya. Pieter dikatakan memimpin
konspirasi dan sejumlah kekacauan yang bertujuan menentang kekuasaaan VOC. Maka tidak heran jika orang jepang mengatakannya sebagai simbol
perlawanan terhadap kolonial, sedangkan orang Batavia menganggapnya sebagai seorang
pahlawan. Walaupun ia dianggap sebagai pengkhianat bagi orang belanda seperti
yang tertulis dalam monumennya.
Pieter Erberveld adalah seorang keturunan Jerman-Siam yang bekerja di Batavia. Ayah Pieter adalah
seorang pengusaha kulit dari kota Elberfeld, Jerman. Sedangkan ibunya konon
dari Siam (Thailand). Namun sejarawan Betawi, Alwi Shihab berpendapat bahwa ibu
Pieter adalah seorang Jawa. Ayahnya saat
itu datang ke Batavia sebagai penyamak kulit. Setelah ayahnya diangkat sebagai
anggota Heemraad untuk mengurusi kepemilikan tanah di daerah Ancol, ayahnya
kemudian menjadi tuan tanah. Kekayaan ini kemudian diwariskan kepada Pieter.
Pieter Erberveld adalah pemuda
yang gigih dan rajin membantu usaha-usaha orang tuanya dalam bidang penyamakan
kulit dan pabrik sepatu. Pada tahun 1708, pemerintah VOC menyita ratusan hektare tanah milik
keluarga Pieter. Pihak VOC beralasan, tanah Pieter tersebut tidak memiliki akta
yang disahkan oleh pejabat VOC. Dikatakan, ketika penyitaan berlangsung banyak
kaum pribumi yang memihak kepada Pieter. Tetapi bukan melemah, pemerintah VOC
malah lebih garang. Gubernur Joan van Hoorn menambah hukuman Pieter dengan
menyuruhnya menyerahkan 3.300 ikat padi.
Bersamaan dengan itu, Pieter semakin mendekat dengan kaum pribumi.
Konon, dirinya kemudian menjadi seorang Muslim yang taat. Bahkan masyarakat
Betawi memiliki panggilan hormat kepadanya, yaitu Tuan Gusti. Pieter cukup berjasa terhadap penduduk Batavia, yakni memberikan
bantuan untuk pembelian senjata, mengkoordinasi serta memberi semangat kepada
orang-orang pribumi dalam menentang dan melawan penindasan Belanda dan VOC-nya.
Pada awalnya, gerakan Pieter yang berkulit putih tidak pernah dicurigai meski
dia sering keluar-masuk benteng VOC. Kesempatan ini dimanfaatkannya
sebaik-baiknya untuk memperkuat gerakannya.
Pieter bersahabat dengan Raden Kartadriya, seorang keturunan ningrat
dari Banten. Bersama Raden Kartadriya serta beberapa tokoh
lainnya seperta Karta Singa, Karta Naya, Sara Pada, Singa Ita, Tumbar, dan
lainnya, Pieter mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia untuk membicarakan
gerakan mereka melawan kompeni Belanda. Gerakan ini kemudian mendapat dukungan
penuh dari rakyat.
Gerakan yang mereka lakukan
secara diam-diam hampir mencapai tujuan. Senjata-senjata mereka mulai terkumpul
di suatu tempat di luar benteng Belanda. Kartadriya yang datang ke rumah Pieter bersama belasan
pengikutnya melaporkan bahwa dia sudah menyiapkan kekuatan 17 ribu orang.
Mereka dilengkapi senjata, dan di hari penyerangan pasukan ini akan datang ke
Batavia.
Namun seorang mata-mata Belanda
melihatnya dan melaporkan gerakan rahasia ini. Adapula yang mengatakan bahwa
seorang budaklah yang melaporkannya. sedangkan Versi lain mengatakan, jika Sultan Banten-lah yang
membocorkan karena ia khawatir akan pengaruh Pieter dan Kartadriya yang akan
merongrong kekuasaannya. Orang itu melaporkan bahwa Pieter
Erberveld dan teman-temannya telah mengorganisasi suatu gerakan untuk menentang
Belanda dengan merencanakan pemberontakan bersenjata terhadap VOC. Akibat
laporan ini, Pieter dituding telah berkhianat, Dia bersama Raden Kartadriya
serta beberapa rekan-rekannya ditangkap.
Di dalam tahanan, mereka disiksa
secara kejam oleh tentara Belanda. Kemudian mereka diadili di pengadilan buatan
kolonial dan akhirnya dijatuhkan vonis hukuman mati. Eksekusi Pieter membuat namanya dikenang sebagai "Pangeran
Pecah Kulit". Julukan itu menggambarkan betapa mengerikannya eksekusi yang
dilakukan. Kedua tangan dan kaki Pieter diikat dan ditarik oleh empat kuda yang
berlari berlawanan arah. Tubuh Pieter terbelah menjadi empat bagian. Tidak
hanya sampai disitu, Kepala Erberveld kemudian dipenggal dan ditancapkan ke
sebuah tombak. Hal ini
dilakukan VOC untuk memberikan efek jera kepada penduduk agar tidak lagi
mencoba-coba melakukan perlawanan pada mereka.
Tubuh Elberfeld
dimakamkan di suatu sudut di Jalan Pangeran Jayakarta,
kemudian didirikan suatu tugu peringatan. Di tugu itu dipajang tengkorak
Elberfeld yang ditusuk tombak dan di bawahnya terdapat prasasti. Pada batu itu juga tertulis sembilan baris
tulisan berbahasa Belanda. Lalu di bawah tulisan berbahasa Belanda ini,
terdapat pula terjemahannya dalam bahasa Jawa. Peringatan itu berbunyi:
“Sebagai kenang-kenangan yang menjijikan
atas dihukumnya sang pengkhianat: Pieter Erverbeld. Karena itu dipermaklumkan
kepada siapapun, mulai sekarang tidak diperkenankan untuk membangun dengan
kayu, meletakan batu bata dan menanam apapun di tempat ini dan sekitarnya:
Batavia, 14 April 1722.”
Dulu, monumen
ini dapat dikunjungi di kawasan Jacatraweg yang sekarang menjadi jalan pangeran
Jayakarta. saat itu, Monumen Kepala Erberveld masyhur lantaran dilalui jalur
trem listrik yang beroperasi pada tahun 1925. Saat kedatangan Jepang pada tahun 1942, tugu itu dihancurkan
namun prasastinya dapat diselamatkan. saat
itu, pembongkaran disertai dengan upacara penguburan tengkorak oleh pasukan
Jepang. Mereka menganggap Erberveld terlalu banyak menggambarkan sejarah kelam
masa kolonial maka dihapuslah sejarah itu. Tetapi surat kabar Pandji Poestaka sempat menyiarkan catatan
soal Pieter dengan nada hormat. Saat itu, Jepang memang membenci
Belanda, sehingga sosok Pieter bisa “terangkat” meskipun monumennya tetap
dihancurkan. Pada tulisan itu, pemerintah Jepang memberikan penghargaan atas
sikap Pieter itu.
Sejak tahun
1985, monumen itu dipindahkan ke Museum Prasasti Jakarta, karena tempat monumen
Pieter pertama berdiri kini menjadi showroom mobil. Wujud replika monumen ini sama dengan wujud
asli yang pernah dipotret pada zaman penjajahan Jepang, sebelum monumen itu
dihancurkan. Foto itu pernah ditampilkan dalam Pandji Poestaka tahun XXI, 9/10 Maret 2603
(tahun Showa Jepang atau 1943 Masehi). Terdapat juga tengkorak tiruan, sebagai
pengganti tengkorak asli Pieter yang dahulu dipancangkan usai dihukum mati.
Tengkorak itu terpajang di besi tajam, semacam mata tombak. Sementara itu masyarakat
Betawi pun masih mengenang sosok tersebut bahkan menamakan tempat eksekusi
Pieter sebagai nama kampung, yakni Pecah Kulit. Menggambarkan kondisi pecahnya
kulit sang pahlawan karena ditarik kuda.
Itulah kisah
tentang Pieter Erberveld yang dibunuh secara kejam oleh Belanda karena berusaha
melakukan pemberontakan bersama masyarakat pribumi. Walaupun pada akhirnya
dieksekusi sebelum berhasil melakukan pemberontakan. Namun Pieter tetap
dianggap pahlawan dari Batavia. meski
dianggap pahlawan, namun namanya seolah tenggelam di buku-buku sejarah
perjuangan bangsa ini. Dari kisah ini
kita bisa tahu bahwa Belanda benar-benar kejam terhadap siapa saja yang
memberontak. Tidak mengherankan jika banyak rakyat pribumi yang tewas secara
tragis. Sisa-sisa kisah tragis itupun masih bisa kita lihat dengan mengunjungi
replika monumen yang mirip dengan replika aslinya.
Sumber Referensi : betawipos.com
goodnewsfromindonesia.id
id.wikipedia.org
nationalgeographic.grid.id
news.detik.com
voi.id
0 komentar:
Posting Komentar