Banyak
dari kita yang pasti mengetahui tentang Eddy Tansil, seorang koruptor nomor
satu pada masanya. Namun setelah kabur dari LP Cipinang pada tahun 1996, Eddy
Tansil hingga saat ini tidak berhasil ditangkap kembali. Eddy Tansil sudah terbukti merugikan negara sebesar 565
juta dolar Amerika atau sekirtar 1,5 triliun rupiah saat itu. Mantan Juragan becak ini
bahkan disemati dengan gelar sensasional tapi memalukan yakni Koruptor
Legendaris Indonesia. Dia kabur bukan ketika hendak diperiksa atau diadili, melainkan
setelah berada di dalam tahanan.
Ia bukanlah seorang pejabat negara seperti koruptor pada
umumnya. Namun dia telah merugikan negara, sehingga pemerintah menangkapnya
karena terbukti bersalah. Dia adalah koruptor Indonesia yang
berhasil melarikan diri dari penjara Lembaga Pemasyarakatan
Cipinang, Jakarta. Dia kabur saat tengah menjalani hukuman 20 tahun
penjara karena terbukti menggelapkan uang sebesar 565 juta dolar Amerika (sekitar
1,5 triliun rupiah dengan kurs saat itu) yang didapatnya melalui
kredit Bank Bapindo melalui grup perusahaan Golden Key Group.
Tidak banyak catatan soal masa-lalu Eddy Tansil. Menurut Sam
Setya Utama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008:400), Eddy
Tansil lahir pada 1948 di Makassar. Pada paspornya tertulis nama Tan Eddy
Tansil alias Tan Tju Fuan, kelahiran Ujungpandang, 2 Februari 1934. Tapi semua
koran mengutip: Eddy Tansil, terlahir Tan Tjoe Hong, 2 Februari 1953
Pada tahun 1970 ia mempunyai perusahaan becak, lalu sesudah
becak dilarang, ia menjadi agen motor Kawasaki namun tidak bisa bersaing dengan
Yamaha dan Honda. Kemudian pada tahun 1980an,
Eddy terlibat usaha perakitan sepeda motor di Tambun, Bekasi. Nama usahanya
adalah Tunas Bekasi Motor Company (TBMC). Perusahaan itu bergerak di bidang
perakitan sepeda motor Binter dan Bajaj. Belakangan pabrik yang di Tambun dimiliki
Salim Group yang saat itu memiliki BCA. Binter sendiri adalah singkatan dari
Bintang Terang. (Soebronto Laras, Meretas Dunia Automotif Indonesia (2005:152)
Selain bisnis motor, Eddy Tansil juga memiliki bisnis bir.
Pada Tahun 1983, dia mendirikan PT Rimba Subur Sejahtera yang memproduksi Becks
Beer yang disebut Bir Kunci di Indonesia. Partnernya adalah pensiunan jenderal
bernama Koesno Achzan Jein. Bir itu tidak dijual di Indonesia, produksi birnya itu
dikirimkan ke Fujian, Tiongkok. Bisnis bir itu berhasil menambah pundi-pundi uang Edy
Tansil. Saking kuatnya pengaruh bir miliknya itu, ia bahkan sampai disebut
Bapak Bir Fujian.
Eddy Tansil kemudian membangun PT Golden Key Group (GKG),
perusahaan yang bergerak di bidang petrokimia. Perusahaan itu pun mengajukan
kredit ke Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). Karena bisnisnya terlihat
menjanjikan, akhirnya kredit itu disetujui. Kredit yang mulai diberikan pada tahun
1991 dengan cara ilegal itu, telah membengkak sampai Rp 1,5 triliun pada tahun
1994. Dalam memperoleh kredit ini, Eddy Tansil sempat memanfaatkan katebeletje
atau surat sakti yang ditulis Sudomo. (Kees Bertens dalam buku Pengantar Etika
Bisnis (2000:220).
Kasus Eddy Tansil kemudian mulai bergulir sejak awal Februari
1994. Ahmad Arnold Baramuli, anggota Komisi VII DPR-RI, mempertanyakan soal
pinjaman Eddy Tansil di bank pemerintah yang macet. Baramuli menyatakan ada
yang salah dalam prosedur penyaluran kredit itu. Eddy Tansil saat itu berhasil
memperoleh kredit ratusan juta dolar Amerika dari Bapindo. (Benny Setiono, Tionghoa
Dalam Pusaran Politik (2008:1063).
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun akhirnya menjatuhkan
vonis bersalah dan menghukum kepada Eddy Tansil dengan hukuman 20 tahun
penjara, denda Rp 30 juta serta membayar uang pengganti Rp 500 miliar. Ia juga
dihukum membayar kerugian negara sebesar 1,3 triliun rupiah. Eddy Tansil kemudian
ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang. Selama satu setengah tahun
berada dalam kurungan, Eddy Tansil beberapa kali keluar dari LP Cipinang.
Setelah empat kali keluar penjara, dalam izin keluar yang
kelima, pada 4 Mei 1996 Eddy Tansil berhasil kabur. Setelah beberapa waktu
lamanya mendekam di LP Cipinang, ia akhirnya melarikan diri bersama
keluarganya. Dikatakan, Eddy
menyiapkan sebuah mobil Suzuki Carry untuk menyelundupkannya keluar dari
penjara. Kaburnya Eddy Tansil juga diduga lantaran adanya kerja sama dengan
para penjaga pintu LP Cipinang yang tak memeriksa mobil Carry tersebut saat
keluar dari LP Cipinang.
Para
penjaga pintu tak memeriksa mobil tersebut karena memercayai komandan jaga
bahwa mobil tersebut aman dan tak perlu diperiksa. Dugaan ini membuat sekitar 20-an petugas penjara Cipinang
diperiksa atas dasar kecurigaan telah membantu Eddy Tansil melarikan diri. Setelah
kaburnya Eddy, Kepala LP Cipinang kemudian dibebastugaskan. Eddy Tansil Tansil dan keluarga kemudian berpindah-pindah
negara untuk menghindari kejaran aparat penengak hukum Indonesia yang semakin
kalap untuk menangkap.
Pada
1999, sebuah Lembaga swadaya masyarakat (LSM) pengawas anti-korupsi, Gempita,
memberitakan bahwa Eddy Tansil tengah menjalankan bisnis pabrik air di bawah
lisensi perusahaan bir Jerman, Becks Beer Company, di kota Pu Tian, China.
Keputusan untuk kembali melanjutkan pencariaan koruptor nomor satu di Indonesia
saat itu, didasari adanya bukti dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) yang menunjukkan bahwa Eddy Tansil telah melakukan transfer
sejumlah uang ke Indonesia satu tahun sebelumnya. Pada akhir 2013, Kejaksaan
Agung mengungkapkan bahwa keberadaan Eddy Tansil sudah terlacak di China sejak
2011 dan kemudian mengajukan permintaan ekstradisi kepada pemerintah China. Tim
Pemburu Koruptor (TPK), sebuah tim gabungan dari Kejaksaan Agung, Departemen
Hukum dan HAM, dan Polri telah menyatakan akan segera memburu Eddy Tansil. Namun
hingga saat ini, belum ada kejelasan mengenai ekstradisi dan penangkapan yang
dilakukan oleh TPK.
Itulah kisah
hilangnya koruptor nomor satu di Indonesia yang hilang sampai sekarang. Kasus pelarian Eddy turut mengungkap betapa
lemahnya integritas aparat pemerintah ketika berhadapan dengan koruptor. Walaupun telah 26 tahun berlalu, buronan nomor satu tersebut
masih dapat menghirup udara bebas. Padahal kerugian negara senilai 565 juta dolar Amerika,
jika dikonversikan saat ini bisa mencapai 8 triliun rupiah. Banyaknya aparat
yang masih bisa disuap, membuat negara kita seakan kebal hukum bagi orang-orang
kaya. Hukum layaknya pisau yang tajam ke bawah mencekik rakyat miskin,
sedangkan yang kaya dapat dengan mudahnya bermain dengan hukum. Dari kisah
kaburnya Eddy Tansil, juga menjadi citra buruk bagi aparat penegak hukum di Indonesia.
Selain itu, lemahnya pengawasan terhadap tersangka korupsi seakan
menjadi citra buruk bangsa ini.
Sumber Referensi : bogoronline.com
makassar.tribunnews.com
nasional.kompas.com
news.detik.com
tirto.id
0 komentar:
Posting Komentar