Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) adalah pemberontakan yang hendak mendirikan negara dengan dasar syariat Islam di Indonesia, yang disebut dengan Negara Islam Indonesia. Pemberontakan ini kemudian diikuti oleh pemberontakan serupa di Aceh, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah. Pemberontakan dikalahkan dengan kombinasi diplomasi di Aceh dan di padamkan oleh TNI.
Pada dasarnya pemberontakan ini memiliki alasan pemberontakan ini memiliki alasan-alasan yang berbeda untuk tiap daerahnya. Ide mendirikan negara Islam berasal dari Kartosuwirjo yang menyatakan perang melawan Belanda pada Agresi Militer I pada tahun 1947. Dia mendirikan basis-basis pertahanan di Jawa Barat yang mayoritas beragama Islam. Berikut adalah bebrapa pemberontakan Darul Islam di Indonesia.
1.
Pemberontakan
DI/TII Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, di Jawa Barat
Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo lahir di Cepu, Blora, Jawa Tengah, 7 Januari 1905 . Kartosoewirjo memilih
pulang ke kampung mertuanya di Malangbong. Salah satu kecamatan di Garut itu
pun jadi basis penting Kartosoewirjo. Pada 1940, ia mendirikan Institut Suffah
di Malangbong. Menurut Cornelis van Dijk dalam Darul Islam: Suatu Pemberontakan (1995),
“Institut Suffah mulanya dimaksudkan untuk memberikan pendidikan umum dan
agama, [….] akhirnya ia berubah menjadi suatu lembaga yang memberikan latihan
kemiliteran selama pendudukan Jepang” (hlm. 29). Pemerintah pendudukan Jepang juga memberi
latihan kemiliteran secara resmi bagi pemuda Islam. Dari situ, kemudian
terbentuk lah milisi bernama Hizbullah.
Menurut van Dijk, Komandan Sabilillah
Tasikmalaya yang bernama Oni bertemu Kartosoewirjo. Mereka berdua sepakat agar
anggota Sabilillah dan Hizbullah harus tetap di Jawa Barat. Mereka yang ikut
pergi dari Jawa Barat harus dilucuti senjatanya (hlm. 76-77). Pada Februari
1948, di desa Pangwedusan, distrik Cisayong, daerah segitiga Garut,
Tasikmalaya, dan Malangbong, diadakan suatu pertemuan, yang belakangan disebut
Konferensi Cisayong. Tak hanya Hizbullah dan Sabilillah yang hadir, tapi juga
Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Disepakati dalam pertemuan itu soal
pembentukan Tentara Islam Indonesia (TII) dan pengangkatan Oni sebagai Panglima
TII daerah Priangan.Pengaruh Kartosuwirjo semakin besar terutama setelah
mendirikan angkatan bersenjata untuk NII bernama Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia (DI/TII).
Meski ada tentara bernama TII, menurut
van Dijk (1995:78-79), “negara Islam sendiri belumlah terbentuk. Hanya ditekankan
pada suatu hari, bila pemerintah Republik umpamanya digulingkan Belanda.”
Setidaknya, lanjut van Dijk, “Kartosoewirjo menahan diri selama lebih dari
setahun untuk terang-terangan menolak menentang kekuasaan Republik” (hlm.
78-79).
Agresi Militer Belanda II berupa
serangan dadakan atas ibu kota Republik Indonesia pada 19 Desember 1948 yang
disertai penawanan para pejabat tingginya kemudian dijadikan dalih oleh
Kartosoewirjo untuk memulai suatu negara baru. Ide Kartosuwirjo banyak didukung
oleh daerah-daerah lain yang merasa kecewa terhadap Indonesia sehingga
berkeinginan untuk melepaskan diri. Hal ini menjadi titik mula pemberontakan
DI/TII yang berkembang tidak hanya di Jawa Barat namun menjalar hingga ke Jawa
Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan.
Pemberontakan ini dilancarkan mulai
tahun 1948. Penyebab pemicu pemberontakan Kartosuwiryo adalah penolakan Perjanjian
Renville, yang menempatkan daerah Jawa Barat di wilayah
kekuasaan Belanda. Penolakannya terhadap Perjanjian Renville diwujudkan dengan
menolak pergi dari Jawa Barat yang saat itu dikuasai Belanda. Kartosuwirjo
mengubah gerakannya menjadi pembentukan negara bernafaskan Islam. Pembentukan
Negara Islam Indonesia (NII) menjadi bentuk protes terhadap Belanda sekaligus
Indonesia yang dinilai terlalu lunak. Kartosuwirjo kemudian diangkat menjadi
imam dari NII.
Pada 25 Januari 1949, ada bentrokan
antara TNI dari Divisi Siliwangi yang sudah kembali dari Jawa Tengah dengan
satuan TII. Gambaran atas kondisi masa ini tergambar dalam film Mereka Kembali
(1972). Dalam film itu digambarkan ada tiga pihak yang saling berseteru di Jawa
Barat: Belanda, Republik Indonesia, dan pengikut Kartosoewirjo.
Kartosoewirjo bersama pengikutnya harus
bergerilya belasan tahun menjaga keutuhan NII, yang dalam buku sejarah
Indonesia dianggap DI/TII saja. Dia tidak kalah keras dengan pamannya, pembela
rakyat yang dicap komunis dan pernah dibuang ke Boven Digoel oleh pemerintah kolonial.
Kartosuwiryo bahkan memerintahkan percobaan pembunuhan atas Presiden Soekarno
pada 30 November 1957 di Peristiwa Cikini. Pemberontakan ini baru berakhir
setelah Kartosuwiryo tertangkap pada tanggal 4 Juni 1962 di Gunung Rakutak
di Jawa Barat. Pemerintah Indonesia kemudian menghukum mati
Kartosoewirjo pada 5 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu,
Jakarta.
2.
Pemberontakan
DI/TII Amir Fatah, di Jawa Tengah
Penyebab pemberontakan ini adalah kekecewaan Amir Fatah
akan dominasi “kaum kiri” (sosialis dan komunis) di Tegal dan sekitarnya,
wilayah basis kekuatan Amir Fatah. Amir Fatah
merupakan tokoh yang membuat lahirnya DI/TII Jawa Tengah.
Semula ia bersikap setia pada RI, namun kemudian sikapnya berubah dengan
mendukung Gerakan DI/TII. Perubahan sikap tersebut disebabkan oleh beberapa
alasan. Pertama, terdapat persamaan ideologi antara Amir Fatah dengan S.M.
Kartosuwirjo, yaitu keduanya menjadi pendukung setia ideologi Islam. Kedua,
Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap bahwa aparatur Pemerintah RI dan
TNI yang bertugas di daerah Tegal-Brebes telah terpengaruh oleh
"orang-orang Kiri", dan mengganggu perjuangan umat Islam. Ketiga,
adanya pengaruh "orang-orang Kiri" tersebut, Pemerintah RI dan TNI
dianggap tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama
itu di daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan yang telah dibinanya sebelum
Agresi Militer II, harus diserahkan kepada TNI di bawah Wongsoatmojo. Keempat,
adanya perintah penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmojo.
Akibatnya, Amir Fatah memberontak pada
tahun 1950. Pemberontakan dipatahkan setelah operasi militer di wilayah
Banyumas mengalahkan pasukan Amir Fatah. Komandan DI/TII daerah Bumiayu, Jawa Tengah, Wachid bersama 120
orang anak buahnya menyerah. Sedangkan Amir Fatah, pimpinan DI/TII Jawa Tengah,
menyerah setelah melakukan pertemuan dengan perwakilan Kabinet Natsir. Hingga kini Amir Fatah dinilai sebagai
pembelot baik oleh negara RI maupun umat muslim Indonesia. Pemerintah
lalu menumpas gerakan Angkatan Oemat Islam yang dipimpin Kyai Somalangu yang
ingin membentuk NII di Jawa Tengah. Operasi ini berhasil setelah Kyai Somalangu
beserta anak buahnya ditembak mati di daerah Kroya, Jawa Tengah.
3.
Pemberontakan
DI/TII Ibnu Hadjar, di Kalimantan Selatan
Pemicu pemberontakan ini adalah
kegagalan para mantan pejuang kemerdekaan asal Kalimantan Selatan untuk
diterima di tentara Indonesia saat itu, APRIS (Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat). Kebanyakan bekas pejuang ini tidak bisa masuk tentara karena tidak
bisa baca tulis, termasuk Ibnu Hadjar sendiri. Mereka
juga kecewa
dengan adanya bekas tentara KNIL (Tentara Hindia Belanda) di APRIS.
Nama Ibnu Hadjar tak bisa dilepaskan dari organisasi bernama Kesatuan Rakjat
jang Tertindas (KRjT) yang eksis sejak awal 1950. Organisasi ini menghimpun
bekas gerilyawan alias pejuang kemerdekaan Republik yang melawan tentara
Belanda di sekitar kabupaten Hulu Sungai.
Ibnu Hadjar membentuk “Kesatuan Rakjat
Jang Tertindas” (KRjT), dan menyerbu pos tentara di Kalimantan Selatan pada
bulan Oktober 1950. Koran Indonesia
Berdjuang (20/03/1954) dan Kes van Dijk mencatat semula Ibnu Hadjar
hanya memimpin 60 orang saja ketika masih berdiam diri di awal tahun. Setelah
serangan ke pos TNI pada bulan Maret 1950, pengikutnya bertambah sekitar 250
orang, dengan senjata hanya 50 pucuk bedil. Letnan Dua TNI yang memimpin sebuah
peleton biasanya hanya punya anak buah tak lebih dari 50 orang. Namun, itu tak
berlaku untuk seseorang yang menjadi pemimpin gerombolan.
Bulan Oktober 1950, pemerintah masih
menyambut damai para gerombolan yang ingin menyerah. Setelah dia dibebaskan dan
diminta membujuk kawan-kawan gerombolannya untuk menyerah. Namun Ibnu Hadjar
yang sempat tertangkap dan dilepaskan untuk membujuk pemberontak lain menyerah
malah kabur ke dalam hutan dan meneruskan pemberontakannya. Pemerintah akhirnya
terpaksa menugaskan pasukan ABRI (TNI-POLRI) untuk menangkap Ibnu Hadjar. Pada
akhir tahun 1959 Ibnu Hadjar beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap
dan dihukum mati.
4.
Pemberontakan
DI/TII Daud Beureueh, di Aceh
Pemberontakan
DI/TII di Aceh dimulai pada tanggal 20 September 1953. Pemicu pemberontakan ini adalah penolakan dihapusnya
provinsi Aceh dan digabungkannya wilayah Aceh dengan Sumatera Utara.
Peleburan tersebut dianggap sebagai bentuk abai atas perjuangan masyarakat Aceh
di masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia mulai dari tahun 1945 sampai 1950.
Selain itu, muncul rumor adanya sebuah
dokumen rahasia yang diyakini masyarakat Aceh merupakan dokumen rahasia
pemerintah yang saat itu dipimpin oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo
berisikan perintah pembunuhan atas 300 tokoh sentral masyarakat Aceh yang pro
terhadap Negara Islam Indonesia (NII) dibawah kepemimpinan Imam Besar NII
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Masyarakat Aceh juga mengharapkan Aceh dapat
diberikan otonomi khusus dalam menerapkan hukum Islam. Dengan masuknya Aceh
menjadi bagian Sumatera Utara tentunya sekaligus merupakan penolakan pemerintah
atas keinginan tersebut. hal inilah yang memicu pecahnya pemberontakan DI/TII
yang dimulai di Aceh pada tanggal 20 September 1953.
Pemimpin pemberontakan Darul Islam di
Aceh adalah Tengku Moh. Daud Beureueh. Daud Beureueh adalah seorang pemimpin sipil,
agama, dan militer di Aceh pada masa perang mempertahankan kemerdekaan
Indonesia ketika agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947.
Sebagai "Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh" ia berkuasa penuh
atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik
sipil maupun militer. Peranannya sebagai seorang tokoh ulama membuat Daud
Beureuh tidak sulit memperoleh pengikut. Dalam persiapan melancarkan gerakan
perlawanannya Daud Beureueh telah berhasil mempengaruhi banyak pejabat-pejabat Pemerintah Aceh,
khususnya di daerah Pidie. Pada masa-masa awal setelah proklamasi NII
Aceh dan pengikut-pengikutnya berhasil mengusai sebagian besar daerah Aceh
termasuk beberapa kota.
Pemberontakan DI/TII di asrama Brimob di
Langsa, Aceh, dapat digagalkan setelah mendapatkan bantuan pasukan dari Medan. Angkatan
Perang Republik Indonesia (APRI)/TNI mulai bergerak di bawah komando Kapten
N.H. Sitorus untuk menumpas gerombolan DI/TII di Blangrakal, Aceh. Kesatuan-kesatuan
APRI menuju Lapahan, Aceh untuk memerangi pemberontakan DI/TII. Operasi ini
mendorong pemberontak melarikan diri. Pemberontakan di Aceh berakhir setelah
APRI berhasil mengambil alih Kota Geumpang, Aceh. Kota ini merupakan kota
terakhir yang dikuasai kelompok DI/TII. Pangdam Iskandar Muda Kolonel M. Yasin
melakukan pendekatan terhadap Daud Beureuh, sehingga Aceh dapat kembali masuk
dalam Negara Indonesia. Pemberontakan ini berhasil diselesaikan dengan cara
damai setelah dilakukannya “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" pada bulan
Desember 1962, dan dibentuknya kembali Aceh, sebagai provinsi berstatus daerah
istimewa.
5.
Pemberontakan
DI/TII Kahar Muzakar, di Sulawesi Selatan
Penyebab pemberontakan ini adalah tuntutan agar para
milisi Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang dipimpin oleh Kahar
Muzakkar bisa diterima sebagai tentara. Namun mereka tidak
lolos syarat dinas militer, dan hanya ditempatkan sebagai Corps Tjadangan
Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara
dan Tetorium VII, Kahar Muzakkar beserta para pengikutnya melarikan diri ke
hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar
Muzakkar memberontak dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII
Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953. Pada masa awal pemberontakan pasukan
Abdul Kahar Muzakkar, Baraka, kini sebuah kecamatan di Enrekang, telah menjadi
markas bagi calon Brigade Hasanuddin. Setelah pemberontakan, Kahar Muzakkar
bergerak berpindah-pindah. Pemberontakan ini berakhir setelah pada 3 Februari
1965, Kahar Muzakkar tertembak mati oleh pasukan ABRI dalam sebuah baku tembak.
Dalam penjelasan tersebut dalam setiap
daerah yang menjadi tempat pemberontakan Darul Islam memiliki alasan yang
berbeda. Alasan-alasan tersebut antara lain berusaha membentuk Negara Islam di
Indonesia dengan bersumberkan Al-Quran dan Hadist, penyebab lain adalah
pemerintah sangat dekat dengan PKI yang kala itu dikatakan sebagai haluan kiri
yang bertentangan dengan syariat Islam, adapula alasan karena Aceh meminta
menjadi Daerah Istimewa yang ingin menerapkan Hukum Islam disana, dan
alasan-alasan lainnya yang menimbulkan pemberontakan. Dalam catatan lain,
pemberontakan ini sangat meresahkan karena gerombolan pemberontak dibeberapa
daerah dikatakan sangat bringas dan tidak segan-segan membunuh. Bahkan ada
rakyat yang tidak tidur dirumahnya ketika malam, mereka juga diminta menyiapkan
makanan ketika malam tiba untuk gerombolan pemberontak. Rata-rata pemimpin
pemberontakan ditembak mati karena dianggap mengganggu ketentraman Negara.
Namun ada juga pemberontakan yang berakhir damai karena pemerintah dapat
menyetujui permintaan yang diharapkan.
Referensi : brainly.co.id
kelaspintar.id
kompas.id
wikipedia.org
tirto.id
0 komentar:
Posting Komentar