Mohammad Misbach atau Haji Misbach adalah tokoh unik dalam sejarah Indonesia. Di samping menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, ia juga dikenal sebagai penganut setia komunisme. Misbach sangat mengagumi kepribadian Nabi Muhammad sekaligus mengidolakan Karl Marx. Soe Hok Gie dalam Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan (2005: 6) menjuluki Misbach sebagai Haji Revolusioner. Sebagai seorang yang berpikir radikal, Misbach memperjuangkan antikolonialisme. Herman Hidayat melalui makalah “Perjuangan dan Pemikiran H.M. Misbach” yang dimuat dalam antologi Jejak Kebangsaan: Kaum Nasionalis di Manokwari dan Boven Digoel (2013) menyatakan pemikiran Misbach tentang aktualisasi dan kontekstualisasi nilai-nilai Islam dan marxisme ditujukan untuk menentang penindasan kolonial Belanda (hlm. 44).
Jauh sebelum orasi dan perjuangannya menggema di beberapa surat kabar sepanjang dekade 1910-an dan 1920-an, masa kecil Misbach tergolong biasa saja. Ia lahir di Kampung Kauman Surakarta pada 1876 dari keluarga pedagang batik yang cukup berada. Orang tuanya memberikan nama kecil Ahmad. Pendidikan Ahmad diawali dengan ngelmu di pesantren. Kemudian ia menuntut ilmu pengetahuan dasar di sekolah bumiputra Ongko Loro selama delapan bulan. Menurut Hidayat, perpaduan belajar di sekolah agama dan sekolah umum memberikan Ahmad perspektif yang luas terhadap lingkungan sosialnya. Meski datang dari keluarga saudagar sekaligus pejabat Muslim di Keraton Solo, tak lantas membuat Ahmad berperilaku layaknya ningrat. Ia justru digambarkan sebagai pribadi yang ramah kepada siapa saja termasuk rakyat miskin dan sangat alim. Lulus dari sekolah bumiputra, Ahmad langsung meneruskan usaha dagang ayahnya. Di bawah pengawasannya, bisnis batik keluarga Ahmad menjadi sangat maju. Kebetulan bisnis batik di awal abad ke-20 memang tengah melejit. Tak lagi menjadi pengepul, Ahmad berhasil membuka rumah pembatikan sendiri di kampungnya.
Hidup Demi Kaum yang Tertindas
Rupanya, berdagang tak membuat Ahmad berpuas hati. Ia justru tertarik pada gejolak sosial-politik yang mewarnai tanah Jawa di permulaan abad ke-20. Menurut Mu’arif dalam artikelnya di alif.id, ketertarikan Ahmad bermula dari kesukaannya membaca surat kabar Doenia Bergerak. Surat kabar berhaluan kiri itu diterbitkan oleh Indische Journaist Bond (IJB), sebuah organisasi pers pribumi bentukan Sarekat Islam (SI).
Memasuki usia dewasa, Ahmad—kala itu telah menikah dan beralih nama menjadi Darmodiprono—memutuskan pergi berhaji. Sepulang dari ibadah haji ia mengambil nama Islam: Mohammad Misbach. Di saat bersamaan keinginan untuk terjun ke dunia pergerakan semakin bulat. Haji Misbach pun bergabung ke IJB pada 1914. Perjuangan Haji Misbach melawan penindasan pemerintah kolonial dimulai dari balik meja redaksi. Sepanjang 1915 hingga 1919 ia berkenalan dengan haji-haji tokoh pergerakan dari Surakarta dan Yogyakarta, termasuk di antaranya Kiai Haji Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Sepanjang tahun-tahun itu pula Misbach giat menulis untuk surat kabar Medan Moeslimin (1915) dan Islam Bergerak (1917).
Kembali merujuk pada penelitian Herman Hidayat, sekitar April 1919 Misbach membuat karikatur di surat kabar Islam Bergerak yang menyebut kapitalis Belanda suka menindas petani dengan membebani mereka dengan kerja paksa, upah yang kecil, dan pajak yang tinggi. Tak hanya pemerintah kolonial, penguasa-penguasa feodal, termasuk Pakubuwana X yang terkenal lengket kepada Belanda, pun dicerca. Retorika khas Haji Misbach, menurut Hidayat, berhasil menggerakkan aksi mogok petani di beberapa perkebunan Belanda di tahun 1919. Sikapnya yang terlampau vokal perihal ketimpangan hubungan antara penguasa dengan kaum pekerja membuat Misbach dikejar-kejar pemerintah kolonial. Ia akhirnya dibui pada 1920 atas tuduhan penistaan.
Penjara tampaknya telah menempa Misbach menjadi pribadi yang baru. Selama dalam tahanan dia banyak bersosialisasi dengan para aktivis Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV), embrio Partai Komunis Indonesia (PKI). Dari dalam penjara Misbach mulai mengenal marxisme. Berdasarkan penelusuran Ruth T. McVey dalam The Rise of Indonesian Communism (1965), setelah terbebas dari penjara di tahun 1922, Misbach dan para pendukungnya berhasil mengambil alih Medan Moeslimin dan Islam Bergerak. Di sanalah ia dengan lantang menunjukan sikap menentang kapitalisme. Akibatnya, hubungan antara Misbach dengan Partai Sarekat Islam jadi tak harmonis. Misbach juga mulai menyerang organisasi-organisasi pembaruan Islam, seperti halnya Muhammadiyah. Ia menjuluki mereka sebagai kapitalis Muslim. Kritik tersebut dikeluarkannya dalam Medan Moeslimun edisi 20 November 1922 da
Propaganda Komunis Lewat Jalan Islam
Nor Hiqmah dalam H.M. Misbach: Sosok dan Kontroversi Pemikirannya (2000) mempertegas alasan Haji Misbach memerangi kapitalisme. Menurut pandangan sang haji, kapitalis merupakan kaum serakah yang menebar kezaliman dan kekejian. Sebagaimana keyakinannya, kaum-kaum tersebut harus diperangi. Saat tengah menyampaikan pemikirannya ini Misbach turut mengutip surat an-Nisa ayat 75 yang menyerukan anjuran berperang melawan kezaliman (hlm. 29). Sebelumnya, lanjut Hiqmah, Misbach juga pernah mengutarakan pemikiran serupa lewat surat kabar Islam Bergerak pada 1922.
Misbach menggambarkan tentang terbelenggunya rakyat Indonesia yang mayoritas Islam akibat ulah kapitalisme dan imperialisme yang ia sebut penuh tipu muslihat. Misbach kerap menyebut kecenderungan para penguasa feodal dan para polisi yang suka menindas rakyat kecil, sementara kelompok kapitalis menghisap tenaga para buruh tani. Hal ini menimbulkan kemiskinan terstruktur. Misbach percaya, seharusnya seorang Muslim dapat bersatu memerangi keburukan tersebut. Berbekal pandangan yang kemudian populer dengan sebutan Islam-Komunis, sejak 1923 Misbach muncul sebagai propagandis PKI dan SI merah yang efektif. Bahkan ia sempat naik podium untuk berorasi dalam kongres PKI/SI di Bandung dan Sukabumi pada Maret 1923.
Misbach berargumen, sudah kewajiban seorang Muslim untuk mengakui hak-hak manusia, sama halnya dengan program-program komunis. Misbach juga yakin, dengan memilih jalan komunis siapapun masih bisa menjadi seorang Muslim sejati. Fikrul Hanif Sufyan dalam Menuju Lentera Merah: Gerakan Propagandis Komunis Di Serambi Mekah 1923-1949 (2018) menuturkan orasi Misbach pada perhelatan kaum kiri tersebut menginspirasi para haji dari pulau seberang. Salah seorang haji yang terkagum-kagum mendengar pidato Misbach ialah Haji Datuk Batuah yang kemudian mendirikan Sarekat Rakyat di Padang pada November di tahun yang sama (hlm. 46).
Berjuang di Pengasingan
Pada Juni 1924 Haji Misbach kembali ditangkap pemerintah kolonial atas tuduhan agitasi di wilayah Surakarta. Ia lantas dibuang bersama keluarganya ke Penindi, Manokwari. Meskipun terasingkan, perjuangan Misbach belumlah berakhir. Herman Hidayat mencatat bahwa di Manokwari Misbach justru lebih banyak berinteraksi dengan suku-suku pendatang lain. Bersama-sama, mereka membentuk komunitas Islam dan mendirikan masjid untuk beribadah. Selain itu, Misbach juga masih berjuang mengemukakan pemikirannya melalui beberapa surat kabar di Jawa yang pernah diampunya. Menurut Mu’arif, selama dalam pembuangan Misbach berteman dengan Haji Muhammad Abu Kasim, pemilik perusahaan jasa pengiriman dari Ambon ke Manokwari. Melalui Abu Kasim, Misbach kerap memesan buku dan majalah yang diterbitkan organisasi-organisasi Islam modern di Jawa. Kuat dugaan, melalui Abu Salim pulalah Misbach mengirimkan tulisan-tulisannya.
Penelitian Nor Hiqmah menunjukan tulisan bersambung Misbach yang berjudul “Islam dan Komunis” ditulis ketika ia berada dalam pengasingan di Manokwari. Tulisan tersebut dimuat secara berkala di Medan Moeslimin yang terbit berurutan sebanyak enam kali sepanjang tahun 1925. Sebelum meninggal di tahun 1926, Misbach sempat mengeluarkan tulisan terakhir. Tulisan berjudul “Nasehat” terbit di Medan Moeslimin dan berisikan pesan kepada rekan seperjuangannya agar tetap melakukan pergerakan melawan kezaliman berlandaskan agama.
Sumber : tirto.id
0 komentar:
Posting Komentar