Dari
Indonesia merdeka hingga saat ini Indonesia telah memiliki tujuh orang
presiden. Mulai dari Presiden Soekarno sebagai presiden pertama dengan dijuluki
Bapak Proklamator. Soeharto dengan julukan 'Bapak
Pembangunan', B.J Habibie dijuluki 'Bapak Teknologi', Abdurrahman
Wahid/Gus Dur dijuluki 'Bapak Pluralisme', Megawati, dijuluki 'Ibu Wong
Cilik' sekaligus adalah presiden wanita pertama Indonesia. Susilo Bambang
Yudhoyono dijuluki 'Bapak Pertahanan', Dan Joko Widodo, ada yang menyebutnya dengan
julukan Bapak Infrastruktur. Dari presiden yang pernah menjabat di Indonesia
dengan kelebihan masing-masing. Presiden terbaik dari presiden-presiden hebat
tersebut, versi Pegawai Jalanan adalah presiden Soeharto sebagai Bapak
Pembangunan. Kita boleh setuju ataupun berbeda pendapat dalam keyakinan
tersebut. Karena setiap orang pasti akan memiliki perbedaan pendapat dan sudut
pandang. Janganlah perbedaan pendapat membuat kita berseteru, karena perbedaan
dapat membuat kita Bersatu seperti berbagai macam suku yang Bersatu dalam
semboyan Bhineka Tunggal Ika. Berikut ini adalah alasan mengapa Soeharto
menjadi presiden terbaik versi Pegawai Jalanan.
Sebelum naiknya Soeharto, Soekarno yang sempat berseteru
dengan Malaysia memutuskan untuk keluar dari anggota PBB sejak tanggal 1
Januari 1965. Akibatnya Indonesia pada masa ini menjadi terisolasi dari dunia Internasional atau
terkucil secara diplomatik. Presiden
Soekarno menetapkan sebagai negara Berdikari atau Berdiri di Bawah Kaki
Sendiri. Berdikari menegaskan pendirian Indonesia untuk tidak bergantung pada
negara lain. Namun Berdikari terlalu berat untuk diwujudkan. akibatnya, harga
bahan pangan naik dan nilai rupiah merosot.
Biaya pemerintah untuk proyek politik mercusuar seperti Games
of the New Emerging Forces (Ganefo) pada 1963 dan Conference of the Emerging
Forces (Conefo) pada 1965 membengkak. Besarnya defisit anggaran belanja
pemerintah pada 1961-1965 meningkat. Dari 29,7 persen pada 1961 menjadi 63,4
persen pada 1965. Sejak 1961, situasi moneter yang makin parah ditandai dengan
laju inflasi yang tinggi (hiperinflasi). Pendapatan per kapita Indonesia turun
secara signifikan antara 1962-1963. Pada 1965, tingkat peredaran uang naik
hingga 161 persen. Sementara inflasi mencapai 592 persen. Bantuan asing
berhenti karena Soekarno menolak bantuan dana dari International Monetary Fund
(IMF). Investasi juga merosot tajam dan indonesia kehilangan media untuk
memperjuangkan kepentingannya di forum internasional.
Soeharto ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 12 Maret
1967 setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS.
Kemudian, Soeharto menjadi presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No
XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968. Selain sebagai presiden, ia juga merangkap
jabatan sebagai Menteri Pertahanan/Keamanan.
Pada 1 Juni 1968 orde Lama Mulai dikenal istilah Orde
Baru. Susunan kabinet yang diumumkan pada 10 Juni 1968 diberi nama Kabinet
Pembangunan "Rencana Pembangunan Lima Tahun". Kabinet pembangunan
merupakan kombinasi antara tenaga-tenaga ahli dari lingkungan universitas dan
ABRI. Tugas pokok dari kabinet ini
adalah melakukan stabilitas politik, pemilihan umum, pengembalian ketertiban
dan keamanan, penyempurnaan dan pembersihan aparatur negara dan stabilitas
ekonomi.
Pembangunan ekonomi
Indonesia selama pemerintahan Orde Baru Suharto bisa dibagi dalam
tiga periode, setiap periode dikenali dengan kebijakan-kebijakan spesifiknya
yang ditujukan untuk konteks ekonomi spesifik. Pertama, Pemulihan ekonomi
(1966-1973). Kedua, Pertumbuhan ekonomi secara cepat dan intervensi Pemerintah
yang semakin kuat (1974-1982). Ketiga, Pertumbuhan didorong oleh ekspor dan
deregulasi (1983-1996).
Langkah pertama pemulihan
ekonomi adalah reintegrasi Indonesia ke dalam ekonomi dunia dengan cara
bergabung kembali dengan International Monetary Fund (IMF), Persatuan
Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia dalam pertengahan akhir tahun 1960an. Ini
memulai aliran bantuan keuangan dan bantuan asing dari negara-negara Barat dan
Jepang masuk ke Indonesia. Permusuhan dengan Malaysia (politik konfrontansi
Soekarno) juga dihentikan. Langkah kedua adalah memerangi hiperinflasi. Suharto
mengandalkan sekelompok teknokrat ekonomi (sebagian besar dididik di Amerika
Serikat) untuk membuat sebuah rencana pemulihan ekonomi.
Rencana pemulihan ekonomi
dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu stabilisasi, rehabilitasi, dan pembangunan.
Ketiga tahapan tersebut diwujudkan dalam beberapa langkah, seperti penghentian
hiperinflasi, penjadwalan utang luar negeri, dan membuka penanaman modal asing.
Setelah investasi asing dibuka, langkah selanjutnya adalah mencari bantuan luar
negeri. Namun, karena beban neraca pembayaran utang luar negeri yang diwariskan
dari Orde Lama membuat Indonesia sulit mendapat kreditur. Indonesia tidak mampu
membayar cicilan ataupun bunga utang luar negeri. Bank Indonesia saat itu juga
terang-terangan tidak mampu membayar letters of credit serta terpaksa menunda
pembayaran kredit perdagangan luar negeri. Dalam kondisi seperti ini, Indonesia
tidak berkualifikasi cukup untuk mendapat bantuan kredit luar negeri.
Solusinya, Soeharto mengirimkan delegasi ke berbagai negara kreditor untuk
membahas moratorium utang luar negeri. Negara tujuannya adalah London dan Paris
Club, kelompok informal kreditur di pentas internasional.
Setelah berdiskusi panjang,
akhirnya mereka menyetujui adanya moratorium bagi Indonesia. Forum juga sepakat
membentuk Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) tahun 1967 dengan
anggota: Australia, Belgia, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Inggris, Amerika,
Austria, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Bank Dunia, IMF, Bank
Pembangunan Asia, UNDP, dan OECD. Tujuan pembentukan IGGI adalah untuk
memberikan pinjaman ke Indonesia. Sejak IGGI dibentuk, Indonesia mendapat
pinjaman sebesar 200 juta dollar Amerika Serikat. Uang tersebut
kemudian digunakan untuk memperbaiki perekonomian dan melakukan pembangunan.
Soeharto juga mulai melakukan
program keluarga berencana agar membatasi jumlah penduduk pada tahun 1969. Soeharto melakukannya dengan
hati-hati karena masalah ini tidaklah mudah. Semua dilakukan untuk
mengendalikan angka kelahiran dan mengurangi angka kematian pada bayi dan anak sehingga
meningkatnya taraf kesejahteraan sebagai hasil kemajuan pembangunan dan pelayanan Kesehatan. Motto yang sebelumnya
“banyak anak banyak rezeki” mulai berganti dengan motto “keluarga kecil
Bahagia” dengan cukup dua anak.
Dalam Pemilu 1971 ada 360
kursi yang diperebutkan sembilan parpol dan Sekber Golongan Karya. Jumlah ini
ditambah 100 kursi dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau TNI. Setelah Pemilu 1971, Soeharto berpendapat tak perlu
terlalu banyak partai di Indonesia. Dia berkaca pada kegagalan konstituante
tahun 1955-1959, dimana seluruh parpol cuma berdebat dan ngotot sehingga tak
ada keputusan yang bisa diambil. Soeharto memanggil para ketua parpol dan
menjelaskan pemikirannya. Menurutnya Parpol harus menyeimbangkan antara material
dan spiritual. Soeharto lalu mengatakan agar partai dikelompokkan menjadi dua
partai dan ditambah satu partai dari Golongan karya. Partai Katolik, PNI dan
IPKI mengerucut menjadi satu di PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Sementara
parpol Islam yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII dan Perti mengelompok jadi
satu dengan nama Partai Persatuan Pembangunan dan tidak menggunakan kata islam
dengan alasan agar tidak menonjolkan agama dalam politiknya. Sedangkan Golongan
karya tetap tumbuh dengan kekuatan sendiri. Maka di DPR kemudian terbentuklah
tiga fraksi. Yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia dan
Golongan Karya. Dan semua partai itu dikelompokkan tanpa paksaan dari Soeharto.
Dalam diskusi tersebut
sempat menjadi pertanyaan tentang peran ABRI dalam politik dan pemilu. Karena
ABRI memang memiliki kursi tersendiri di dalam DPR, dalam hal ini ABRI
diposisikan sebagai Polisi Militer yang bertugas mengawasi kendaraan politik
yang salah jalur. Artinya ABRI tetap menjadi fraksi sendiri dalam DPR. Konsep
Pemilu dengan Tiga Partai dan Fraksi ABRI ini bertahan selama lima kali Pemilu
selama Orde Baru.
Pada waktu pemerintahan
Soeharto sempat terjadi kerusuhan besar saat kunjungan Perdana Menteri Jepang
di tahun 1974. mereka memiliki anggapan bahwa ada terlalu banyak proyek-proyek
investasi asing di negara ini. Masyarakat Indonesia merasa frustasi karena
orang-orang pribumi tampaknya diabaikan dari menikmati buah-buah perekonomian.
Pemerintah merasa terguncang karena kerusuhan ini (yang dikenal sebagai
Peristiwa Malari) dan memperkenalkan aturan-aturan yang lebih ketat mengenai
investasi asing dan menggantinya dengan kebijakan-kebijakan yang memberikan
perlakukan khusus yang menguntungkan penduduk pribumi.
Tidak hanya menggarap
program Dari Desa ke Desa dan Klompencapir, Soeharto yang waktu itu menjadi
panglima tertinggi ABRI juga mencanangkan program ABRI Masuk Desa (AMD) pada
tahun 1978. Artinya saat itu ABRI harus menyatu dengan masyarakat
untuk bersama-sama membangun di pedesaan dan membantu meningkatkan
kesejahteraannya.
Personel ABRI diberdayakan
untuk melakukan pembangunan di desa-desa, mulai dari irigasi, jembatan dan
lain-lain, yang intinya untuk mendukung peningkatan sarana dan prasarana yang
betul-betul menyentuh langsung kepentingan dan perbaikan kehidupan masyarakat
di pedesaan. Program ini dirasakan penting untuk membuka isolasi
daerah terpencil, meningkatkan roda perekonomian masyarakat di daerah yang
dapat membuka akses yang lebih luas untuk pemasaran hasil bumi dan produk
produk yang ada di desa. Selain sasaran
fisik, ada juga sasaran non fisik yang diarahkan pada peningkatan wawasan dan
semangat kebangsaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta kesadaran
bela negara yang mampu menggugah semangat persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada tahun 1984, Indonesia
berhasil swasembada beras dengan angka produksi sebanyak 25,8 ton. Kesuksesan
ini mendapatkan penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia)
pada 1985. Indonesia juga masih bisa menyumbang 100.000 ton untuk
korban kelaparan di sejumlah negara di Eropa. Salah satu strategi yang digagas Pak Soeharto untuk
memajukan sektor pertanian kala itu adalah Revolusi Hijau. Revolusi Hijau
adalah cara bercocok tanam dari tradisional berubah ke cara modern untuk meningkatkan
produktivitas pertanian. Revolusi Hijau muncul karena adanya masalah kemiskinan
yang disebabkan karena pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat pesat tidak
sebanding dengan peningkatan produksi pangan.
Negara Indonesia telah mampu membuat pesawat
sendiri, Pesawat N250 mulai dirancang pada tahun
1986. Pada tahun 1995 pesawat tersebut berhasil mengudara di langit Indonesia. IMF
mulai berusaha menghancurkan perekonomian Indonesia, hal ini terbukti dengan
keadaan Indonesia yang mengalami krisis ekonomi tahun 1990an. Krisis itu
sengaja diciptakan oleh Amerika Serikat dan International Monetary Fund (IMF).
Tujuannya untuk membuat Indonesia bergolak dan membuat Soeharto jatuh.
Pendapat ini antara lain
dikemukakan Prof. Steve
Hanke, penasehat ekonomi Soeharto dan ahli
masalah Dewan Mata Uang atau Currency Board System (CBS) dari Amerika Serikat.
Menurut ahli ekonomi dari John Hopkins University itu, Amerika Serikat dan
IMF-lah yang menciptakan krisis untuk mendorong kejatuhan Soeharto. IMF
memanipulasi rekam jejak krisis Indonesia melalui penulisan ulang sejarah
moneter demi menutupi kesalahannya. Krisis ekonomi yang disusul krisis politik
mengakibatkan pelarian modal ke luar Indonesia secara masif, hingga menyebabkan
anjloknya nilai rupiah Akhirnya Proyek pesawat N250 dihentikan oleh negara akibat
krisis ekonomi tersebut. Penutupan proyek IPTN juga dilakukan pemerintah atas
saran IMF saat itu.
Presiden Soeharto putus asa karena kondisi
ekonomi yang tenggelam seketika, mata uang dan pasar saham anjlok, belum lagi
kelangkaan bahan pangan. Saat itu, Soeharto ditekan, baik oleh Presiden AS saat
itu Bill Clinton (disebut-sebut tak lagi
menyukai kepemimpinan Orde Baru), maupun Managing Director IMF Michel Camdessus. Ia dipaksa memilih antara
menggugurkan ide CBS (Currency Board System) atau mengorbankan bantuan asing. Di tengah krisis ekonomi yang memburuk, Soeharto
terpaksa menandatangani 'letter of intent' dengan IMF di kediaman Cendana, pada
15 Januari 1998. Sepintas IMF seperti membantu, tapi kenyataannya sebaliknya.
Bantuan dengan sejumlah syarat itu malah sangat merugikan perekonomian
Indonesia.
Mantan Perdana Menteri Australia Paul Keating
berpendapat, Departemen Keuangan AS dengan sengaja menggunakan keruntuhan
ekonomi sebagai sarana untuk menjatuhkan Presiden Soeharto. Mantan Menteri Luar
Negeri AS Lawrence Eagleberger membenarkan diagnosis bahwa pemerintah AS memang
mendukung IMF untuk sengaja menggulingkan Soeharto. Bahkan, Direktur Eksekutif
IMF Michel Camdessus tak membantah pernyataan tersebut. Saat ia pensiun, dengan
bangga dia berkata "Kami menciptakan kondisi krisis yang mengharuskan
Presiden Soeharto untuk meninggalkan kekuasaannya." Terlepas dari isu intervensi IMF dan pemerintah AS dalam
pergolakan ekonomi Indonesia, rezim yang berjalan lebih dari tiga dekade itu
pun akhirnya tumbang.
Itulah alasan Soeharto menjadi presiden
terbaik versi jalanan. Jika saja Amerika dan juga IMF tidak menekan Indonesia
mungkin saat ini Indonesia telah menjadi negara maju yang mampu memproduksi
kebutuhan untuk negara sendiri dan tidak lagi bergantung pada impor. Memang
benar Soeharto juga memiliki banyak dosa karena menjabat secara otoriter. Namun
Indonesia pernah sejahtera Ketika dipimpin oleh Soeharto dengan pembangunan
yang merata hampir di semua daerah. Semoga kita bisa memiliki lagi presiden
yang dapat menjadikan negara kita menjadi lebih baik. Janganlah kita menghujat
hanya dengan melihat dari satu sisi. Karena tidaklah ada manusia yang sempurna,
karena akan tetap ada sisi lain yang tidak disukai oleh orang lain, sebaik
apapun kita.
Sumber Referensi : cnnindonesia.com
ekonomi.bisnis.com
id.wikipedia.org
indonesia-investments.com
jakbarnews.pikiran-rakyat.com
kompas.com
merdeka.com
news.detik.com
0 komentar:
Posting Komentar