Gerakan pembantaian yang
direncanakan oleh kelompok masyarakat yang menamakan dirinya pro-Repulik
berjalan sesuai dengan Grand Design PKI yakni menghancurkan kekuasaan Raja-Raja
dan Kesultanan Sumatera Timur. Kota Binjai adalah ibukota administrasi asisten
residen (kabupaten) Langkat sedangkan Tanjung Pura, dimana Sultan angkat juga
ada istana adalah ibukota kesultanan yang disebut “Darul Aman”. Para pelaku dan
antek-antek pembantaian akhirnya harus mengakhiri hidupnya dengan tragis.
Berikut ini adalah beberapa nama-nama pemimpin pemberontakan yang diketahui
terlibat dalam pembantaian yang berdalih revolusi sosial.
1.
Usman Parinduri dan Marwan
Di Kesultanan Langkat Aksi
pembantaian dilakukan di Binjai dan Tg. Pura yang dipimpin oleh oknum dari
Pesindo dan PKI dimana terjadi serangkaian pembunuhan, pemerkosaan dan
perampokan, terutama dalangnya pimpinan komunis Marwan dan Usman Parinduri. Pada tanggal 7 Maret tepat jam 12.00 tengah malam, opas istana
memukul loncen didepan, tiba-tiba seluruhnya lampu-lampu listrik di kota
Tanjung Pura serentak gelap. Disaat pukulan yang ke 12 kalinya, berdentumlah
tembakan serentak dan kedua opas itupun rubuh terkapar. Kemudian
tembakan-tembakan gencar ditujukan ke arah dalam istana tiada terkira bahananya
lagi. Berbarengan dengan itu terdengar suara riuh rendah, gegap gempita
gerombolan laskar buka baju dengan senjata api dan bambu runcing melewati pintu
pagar istana dan menghancurkan segala pintu, memasuki istana.
Semua
penghuni istana dikumpulkan dan segala senjata tajam sampai pisau-pisau
dapurpun harus diserahkan. Menjelang subuh hari semua isi istana, keluarga
sultan dan orang-orang besar yang ada dibariskan dan dengan sehelai sepinggang
dipaksa berjalan kaki menuju perkebunan Sawit Seberang. Rombongan ini
selanjutnya dipecah-pecah menjadi beberapa kelompok. Kelompok pertama di bawa
ke dekat sungai disekitar Sawit seberang dan langsung dipenggal kepalanya satu
persatu. Sementara kelompok Sultan dengan anak istrinya tiba diperkebunan Sawit
Seberang.
Disini,
kepala gerombolan komunis : Marwan dan Usman Parinduri menanya 3 orang putri
Sultan yang masih remaja, apakah mereka bersedia menebus nyawa ayah mereka?
Bersedia. Jawab mereka serentak. Bagaimana? Jika kalian mau bersetubuh dengan
kami, maka nyawa ayah kalian akan diselamatkan. Dua orang putri Sultan
dengan lemah lunglai maju kedepan dan bermohon kepada kedua orang sadis itu
agar adik mereka yang masih dibawah umur janganlah turut diperkosa. Mereka
mengabulkan, Kemudian kedua orang putri itu digiringlah ke kamar sebelah dan
digolekkan diatas 2 buah meja. Kemudian Marwan dan usman parinduri dengan nafsu
sadis kebinatangannya yang tak terkendalikan lagi mulailah mengoyak-ngoyak baju
dan celana-celana kedua puteri itu dan menerkam lalu memperkosa mereka. Demi menyelamatkan nyawa ayah mereka, Sang Sultan Langkat, kedua
putri Sultan Langkat terpaksa bersedia melayani nafsu berahi “binatang” yang
bernama Marwan dan Usman Parinduri. Kebiadaban dituliskan oleh Tengku Luckman
Sinar, “… kedua puteri itu meraung kesakitan dan setiap rintihan merupakan
pisau sembilu menusuk jantung Sultan yang mendengar ….”
Para tawanan kesultanan Langkat sebagian ditawan di kamp umum di kampung Merdeka (Berastagi), kamp yang terkenal ganas. Sebagian diantaranya, termasuk puteri Sultan diselamatkan pasukan TKR dan dibawa ke Medan. Belakangan, setelah ditangkap laskar rakyat Hizbullah (kelompok yang bersimpati terhadap kesultanan langkat), dua pimpinan lascar yaitu Marwan dan Usman Parinduri yang juga pemerkosa puteri Sultan itu mengakui perbuatannya dan ada 13 orang yang dibunuh disekitar Sawit Seberang. berita pemerkosaan itu tersebar luas setelah beberapa bulan peristiwa itu terjadi sehingga muncul protes keras dari organisasi-organisasi Islam. Kejadian-kejadian di Langkat itu membuat rakyat ragu terhadap revolusi sosial yang dianggap telah melenceng jauh. Marwan dan Usman Parinduri yang jelas bersalah ditangkap dan dihukum mati oleh organisasi pemuda Islam.
2.
Ijang Widjaja
Ijang
Widjaja adalah algojo yang menebas tengkuk Amir Hamzah dengan parang hingga
memutuskan lehernya. Ijang Widjaja
dulunya adalah ayah angkat Tengku Amir Hamzah dan pernah bekerja sebagai guru
silat di istana Langkat. Menurut Pemangku
Kerapatan Adat Kesultanan Langkat, Tengku Azwar Aziz, ia hanya tahu Ijang
berasal dari Rambung, Binjai. Ijang diketahui bekerja sebagai pelatih silat dan
mandor kebun. Mellihat dari namanya, Azwar yakin Ijang bukan orang Sumatera Utara.
Kepala Polisi Binjai Tengku Anuah Husny memeriksa Ijang pada awal 1947.
"Pemeriksaan itu berdasarkan perintah atasannya," tulis Saidi Husny
dalam buku Kenangan Masa: Mengenang Pribadi Pudjangga Amir Hamzah. Upaya
mengusut Ijang tak berlangsung mulus. Rupanya, orang-orang "kiri"
berusaha menghentikan pemeriksaan itu. Caranya: melobi tokoh-tokoh sosialis di
Jakarta.
Menurut Saidi, upaya ini
berhasil. Tak berselang lama, muncul perintah baru dari pemerintah pusat.
Isinya meminta pemeriksaan terhadap Ijang Widjaja dihentikan. Dua tahun
kemudian, berdasarkan instruksi Pemerintah Negara Sumatera Timur, kasus Ijang
kembali diusut. Pemeriksanya adalah jaksa Lubis. Berbeda dengan sebelumnya,
kasus Ijang dilimpahkan ke Pengadilan Binjai. Dalam persidangan yang dipimpin
hakim W.C. Soatarduga, Ijang mengaku membunuh Philips di Kwala Begumit. Yang
membuat banyak orang terperenyak, ia juga mengaku mengeksekusi Amir Hamzah.
Berbekal informasi itu,
Soatarduga memerintahkan lokasi tempat eksekusi yang ditunjuk Ijang dibongkar.
Selama persidangan, Ijang mengaku bersimpati kepada Amir. Di matanya, Amir
tidak pernah berbuat sewenang-wenang dan bersedia mengulurkan tangan menolong
sesama. Sang algojo sebenarnya tak kuasa melakukan eksekusi. Namun ia tidak
berdaya menolak perintah. Ijang sempat dikabarkan ragu-ragu saat hendak
melakukan eksekusi. Orang-orang di belakangnya berteriak: "Cepat,
mandor!" Amir sempat meminta tak dieksekusi. "Mohon jangan bunuh
saya," katanya. "Nanti Republik yang dipersalahkan." Ijang tak
memenuhi permintaan itu. "Saya hanya menjalankan perintah."
Pengadilan Binjai menghukum
Ijang Widjaja 20 tahun penjara. Menurut keterangan petugas penjara, Ijang tiap
malam meraung-raung dihantui bayangan orang-orang yang dipenggalnya.
"Matanya liar seperti orang ketakutan," tulis Tengku M.H. Lah Husny dalam
Biografi Sejarah Pujangga dan Pahlawan Nasional Amir Hamzah. Jumlah orang yang
dieksekusi Ijang tak pernah jelas. Saat lahan yang menjadi tempat pembantaian
di Kwala Begumit dibongkar, setidaknya ditemukan 26 kerangka di sana. Dua di
antaranya Amir Hamzah dan Philips Simandjuntak.
Di dalam salah satu lubang
ditemukan sejumlah barang, termasuk cincin emas berbatu nilam dan jimat timah
yang terselip di celana. Barang itu milik Amir. Belum selesai menjalani masa
hukuman, Ijang mendapat amnesti dari pemerintah Republik Indonesia Serikat di
Jakarta pada 1950. Alasannya, menurut Lah Husny, "…perbuatan Ijang Widjaja
akibat dari perjuangan." Tengku Kamaliah sempat mempertanyakan bebasnya
Ijang kepada Saidi Husny, yang saat itu bertugas sebagai kepala polisi di
Langkat. Menurut Saidi, dalam buku Kenangan Masa, saat datang ke kantornya,
wajah Tengku Kamaliah terlihat tidak begitu gembira. "Apakah orang yang
telah dihukum pengadilan sampai 20 tahun penjara dapat dikeluarkan begitu
saja?" Saidi hanya mendengarkan keluhan Kamaliah dan berjanji menyampaikan
pesan itu kepada atasannya.
Meski telah bebas, Ijang tak
bisa menghirup udara segar. Di rumahnya di Kampung Rambung Binjai, ia dikurung
dalam kamar tertutup karena dianggap gila, terlihat ketakutan, dan seperti
berusaha selalu kabur. Menurut Nh. Dini, Tahura pernah bertemu dengan Ijang
Widjaja. "Tapi ngomong-nya sudah tidak keruan. Mungkin dia juga
stres." Sang mandor mati dalam keadaan gila empat tahun setelah keluar
dari penjara.
Itulah beberapa orang yang diketahui bertanggung jawab atas pembantaian di Kesultanan Langkat. Selain itu, Para pemberontak yang ditangkap dipenjarakan, tetapi setelah beberapa hari mereka dibebaskan dan dipulangkan oleh pemerintah dengan membawa uang dan pakaian. Para pemimpin kudeta diadili, dengan dua pemimpin utama masing-masing dijatuhi hukuman satu tahun penjara dan hukuman pembebasan bersyarat. Mungkin kita tidak akan setuju jika para pembantai hanya mendapat hukuman tersebut atas Tindakan mereka. Bagaimanapun juga nyawa 1 orang sangatlah berharga bagi keluarganya. Dan sebuah dendam hanya akan melahirkan dendam lain jika tidak dihentikan.
Sumber Referensi : dedipanigoro.blogspot.com
kumparan.com
liramedia.co.id
realitiykenyataan.blogspot.com
Tak kan Melayu hilang dibumi
BalasHapus