Mungkin banyak dari kita yang tidak mengetahui bahwa ada seorang perwira pasukan Jepang yang membantu kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan ia sampai rela menjadikan rumahnya sebagai tempat untuk merumuskan proklamasi kemerdekaan bagi Republik Indonesia. Dia bahkan tidak menghiraukan resiko yang mungkin akan dia terima di kemudian hari dari tindakannya tersebut. Dia tidak lain dan tidak bukan adalah Laksamana Maeda. karena jasanya tersebut, Laksamana Maeda mendapatkan bintang Jasa Naraya dari pemerintah Republik Indonesia, akan tetapi berkebalikan dengan yang ia terima dari Indonesia, ia malah bernasib
tragis di negara asalnya sendiri. Walaupun ia adalah mantan dari perwira tinggi
Angkatan laut Jepang yang menguasai Indonesia, namun setelah Kembali ke
negaranya ia hidup dalam keadaan miskin dan melarat.
Laksamana Muda Tadashi Maeda adalah
seorang perwira tinggi Angkatan Laut Kekaisaran
Jepang di Hindia
Belanda pada masa Perang
Pasifik. Selama pendudukan Indonesia di bawah Jepang, ia menjabat
sebagai Kepala Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Tentara Kekaisaran
Jepang. Ia juga pernah menjadi atase militer Jepang di Den Haag,
Belanda, dan Jerman pada masa sebelum perang atau sekitar 1930-an.
Laksamana Muda Maeda memiliki peran yang cukup
penting dalam kemerdekaan Indonesia dengan
mempersilakan kediamannya yang berada di Jl. Imam Bonjol, No.1, Jakarta Pusat sebagai
tempat penyusunan naskah proklamasi oleh Soekarno, Mohammad
Hatta dan Achmad
Soebardjo, ditambah sang juru ketik Sayuti Melik.
Dalam diri Maeda muncul simpati terhadap
gerakan kemerdekaan Indonesia sejak dia bertugas di Belanda. Saat itu, Maeda
kerap berhubungan dengan sejumlah tokoh pelajar dan mahasiswa Indonesia, seperti
Nazir Pamuntjak, Ahmad Subardjo, Mohammad Hatta, dan AA Maramis. Setelah
bertugas di Den Haag dan Berlin, Maeda dipanggil pulang ke Jepang dan menerima
tugas baru di Indonesia pada 1942. Saat berdinas di Jakarta inilah Maeda
mendirikan sekolah atau institut politik yang diberi nama Asrama Indonesia
Merdeka pada Oktober 1944 bagi para pemuda terpilih.
Ahmad Subardjo bersama Wikana menjadi penggerak
Asrama Indonesia Merdeka, sedangkan Maeda menjadi sponsor sekolah itu. Maeda
juga yang kemudian meresmikan asrama tersebut di kawasan Gunung Sahari, Jakarta
Pusat dan dipindahkan ke Jalan Kebon Sirih 80 pada Oktober 1944. Hampir semua
figur nasionalis menjadi pengajar di sekolah ini. Seperti Soekarno yang
mengajarkan politik, Hatta mengajarkan ekonomi, Sanoesi Pane mengajarkan
Sejarah Indonesia, Sjahrir mengajarkan sosialisme, Iwa Kusuma Sumantri
mengajarkan hukum pidana, dan Ahmad Subardjo mengajarkan hukum internasional.
Mohammad Hatta dalam Memoir (2002)
sempat menceritakan jasa Maeda, khususnya pada waktu sebelum Proklamasi. Hatta
bercerita saat itu pertengahan Agustus 1945, santer berita bahwa Jepang telah
menyerah pada Sekutu, tetapi masih simpang siur. Akhirnya Hatta dan Sukarno
bersama Soebardjo pada 15 Agustus 1945 mendatangi Maeda untuk mengonfirmasi berita
itu.
Sukarno menanyakan kebenaran tentang berita yang terdengar bahwa Jepang
sudah menyerah kepada Sekutu. Maeda tidak langsung menjawab pertanyaan dari
Sukarno. Setelah begitu lama berdiam diri dan wajah muka yang kelihatan sedih,
Admiral Mayeda menjawab, bahwa berita itu memang disiarkan oleh Sekutu. Tetapi
dia belum memperoleh berita dari Tokyo. Sukarno, Hatta dan Soebardjo lalu
meninggalkan kantor Rear-Admiral Mayeda dengan keyakinan, bahwa Jepang
sungguh-sungguh menyerah.
Jawaban Maeda itulah yang kemudian memicu munculnya gerakan dan desakan
agar Indonesia segera mendeklarasikan kemerdekaan. Jawaban implisit Maeda
seolah menjadi sebuah isyarat bagi pemimpin pergerakan bahwa sudah saatnya
untuk memerdekakan Indonesia. Keinginan yang kemudian juga difasilitasi oleh
Maeda dengan mempersilakan kediamannya dipakai tempat merumuskan naskah
Proklamasi. Kesediaan Maeda menyediakan rumahnya sebagai tempat rapat yang juga
tempat merumuskan naskah proklamasi kemerdekaan merupakan salah satu bukti simpati
pribadi terhadap kemerdekaan Indonesia.
Sukarno mengucapkan terima kasih banyak-banyak
atas kesediaan Maeda meminjamkan rumahnya untuk rapat PPKI malam itu. Maeda
sontak menjawab, "Itu kewajiban saya yang mencintai Indonesia
merdeka."
Padahal seharusnya, tugas Maeda
berdasarkan perintah yang diberikan kepadanya harus menjaga status quo di Indonesia.
Memasuki 17 Agustus 1945 tengah malam,
puluhan tokoh pemuda serta anggota PPKI telah berkumpul di rumah Laksamana
Maeda. Proses perumusan naskah proklamasi dilakukan oleh Sukarno, Hatta, dan
Achmad Soebardjo di ruang makan, sedangkan yang lainnya menanti di ruang besar.
Seusai merumuskan naskah proklamasi, Sukarno melangkah ke ruang besar di rumah
Laksamana Maeda, tempat berkumpul 40 sampai 50-an orang.
Hatta mengusulkan agar mengikuti
deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang founding fathers-nya
meneken semua. Setelah disepakati siapa yang harus menandatangani apa saja yang
harus diubah dan sudah sepakat, Sukarno meminta kepada Sayuti Melik untuk
mengetik naskah proklamasi dengan didampingi wartawan BM Diah.
Namun, masalah baru pun muncul. Laksamana
Maeda tidak memiliki mesin ketik dengan huruf Latin, tapi huruf kanji. atas
perintah Maeda, Satsuki Mishima berusaha
untuk mencari dan meminjam sebuah mesin ketik dari Konsulat Jerman. Di kediaman
Mayor Kandelar terdapat mesin ketik Angkatan Laut Jerman yang menggunakan huruf
latin. Mesin ketik inilah yang digunakan untuk mengetik naskah Proklamasi
Saat mengetik, Sayuti Melik mengubah tiga
kata dari tulisan tangan Sukarno, seperti kata 'tempoh' menjadi hanya 'tempo'.
Kemudian 'wakil-wakil bangsa Indonesia' menjadi 'atas nama bangsa Indonesia.' Lalu
penulisan tahun. Pada naskah tulisan bung Karno tertulis: 'Jakarta, 17-8-05',
oleh Sayuti Melik ditambah menjadi 'hari 17 bulan 8 dan tahun 05'. "Tahun
05 merupakan penanggalan kalender Jepang 2605 itu setara dengan 1945, karena di
jaman Jepang, mereka tidak menggunakan tahun Masehi di semua terbitan harus
menggunakan tahun Jepang.
Berbekal naskah yang telah ditandanganinya,
Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia beberapa jam kemudian di
kediamannya yang terpaut hampir dua kilometer dari rumah Laksamana Maeda.
Secara keseluruhan rumah Maeda hanya digunakan selama empat jam. Namun, empat
jam itu lah yang turut menentukan nasib Indonesia sebagai sebuah negara.
Laksamana Maeda harus menanggung konsekuensi berat setelah mengizinkan
rumahnya sebagai tempat perumusan naskah proklamasi. Saat sekutu datang, Maeda
dan stafnya, Shigetada Nishijima, ditangkap dan dimasukkan ke penjara gang
tengah. Maeda ditangkap oleh
Sekutu dan dijebloskan ke penjara hingga tahun 1947.
Ia dianggap sebagai
pengkhianat karena membantu mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang
notabene pada saat itu adalah negara yang sedang dijajah oleh
Jepang dan merupakan incaran sekutu. Dia dipaksa mengaku oleh Belanda untuk mencap Republik
Indonesia merupakan bikinan Jepang. Sebab dalam tanggal naskah proklamasi
tertulis '05 berdasarkan tahun Jepang, bukan '45.
Nishijima dalam wawancara dengan Basyral Hamidy
Harahap pada 10 Oktober 2000 di Meguroku, Tokyo. menceritakan dengan gamblang
kejadian saat Maeda dan dirinya ditahan di Penjara Gang Tengah. Wawancara
tersebut termuat dalam buku Kisah
Istimewa Bung Karno (2010) dengan kutipan sebagai berikut:
"Laksamana Muda Maeda dan saya berusaha
sekeras-kerasnya untuk menjaga nama baik Republik Indonesia, agar jangan sampai
Belanda bisa mengatakan RI itu sebagai bikinan Jepang. Biarpun pemeriksa
berturut-turut 4 hari menekan saya sampai akhirnya mengeluarkan air kencing
berdarah, saya tetap tidak mengaku.
Selepas dari penjara dan
pulang ke Jepang, Maeda tidak disambut dengan baik oleh penduduk Jepang. Maeda sama sekali tak mendapat penghormatan layaknya pahlawan yang
pulang perang. Ia dikecam dan mendapat perlakuan hina di Jepang. Meskipun
secara hati nurani, orang-orang Jepang mendukung kemerdekaan Indonesia, namun
kepatuhan kepada negara bagi mereka adalah segalanya.
Bahkan Maeda masih harus
menerima hukuman. Ia diseret ke Mahkamah Militer oleh pemerintah setempat.
Namun ketika berada di persidangan Laksamana Maeda dinyatakan tidak
bersalah oleh Mahkamah Militer Jepang sehingga ia dibebaskan dari hukuman apapun.
Selepas dari itu, Laksamana Maeda memutuskan mundur dari dunia politik dan
militer dan memilih menjalani hidup sebagai warga negara biasa. Setelah Maeda mengundurkan
diri dari angkatan laut Jepang menjadi rakyat biasa, tidak memiliki tunjangan
pensiun. semua
akses ditutup untuk Maeda dan ia mendapat kesulitan luar biasa selepas dari
dinas militer hingga meninggal dunia dalam kondisi melarat.
Atas jasa Maeda tersebut, pada 1973 dia
diundang pemerintah Indonesia untuk menghadiri perayaan Proklamasi 17 Agustus.
Dalam kesempatan itu ia sempat bertemu dengan Mohammad Hatta. Maeda juga
merupakan penerima Bintang Jasa Nararya dari pemerintah Indonesia. Maeda
meninggal dunia pada 13 Desember 1977 pada umur 79 tahun. Mengenang kepergian
Maeda, Ahmad Subardjo menulis, "Pada detik-detik terpenting dalam
melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Laksamana menunjukkan sifat
Samurai Jepang, yang mengorbankan diri dengan rela demi tercapainya cita-cita
luhur dari rakyat Indonesia, yakni Indonesia Merdeka".
Itulah kisah tentang Laksamana Maeda
yang membantu kemerdekaan Indonesia. Walau ia harus dihina di negaranya, ia
rela melakukannya agar Indonesia dapat merdeka dari penjajahan. Maeda
dikucilkan oleh orang-orang dinegaranya karena menyangkut harga diri bangsa
mereka. Karena kepatuhan kepada negara bagi mereka adalah segalanya. Walaupun
secara hati Nurani orang-orang Jepang mendukung kemerdekaan Indonesia.
Sumber Refrensi :
bbc.com,
id.wikipedia.org, i
ntisari.grid.id,
liputan6.com,
tempo.co, 99.co
0 komentar:
Posting Komentar