Konflik Rusia dan Ukraina masih terus terjadi hingga
saat ini. Bahkan resolusi PBB telah dilakukan atas konflik tersebut dengan
melalukan pemungutan suara pada negara-negara anggota PBB. Hasil Resolusi
tersebut adalah sebanyak 141 negara sepakat agar Rusia menghentikan operasi
militernya, 35 negara abstain, dan 5 negara menolak resolusi tersebut. Posisi
Indonesia saat melakukan voting memilih untuk setuju dengan resolusi tersebut
untuk meminta Rusia menghentikan operasi militernya. Dari pilihan tersebut
apakah akan merusak hubungan baik Indonesia dengan Rusia yang telah lama terjalin.
Pasalnya Indonesia telah berhubungan baik sejak Rusia masih menjadi bagian dari
Uni Soviet. Rusia juga pernah membantu Indonesia dalam bidang perekonomian,
pembangunan, dan militer. Rusia saat masih menjadi bagian dari Uni Soviet, dan
Uni Soviet adalah Negara yang menyambut baik lahirnya bangsa Indonesia.
Periode 1945-1950 merupakan periode perjuangan
diplomasi bangsa Indonesia untuk mencari pengakuan dunia internasional atas
kemerdekaan dan kedaulatan bangsa setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus
1945. Peranan Uni Soviet dalam perjuangan bangsa Indonesia ini besar. Uni
Soviet merupakan salah satu negara yang menyambut baik lahirnya Indonesia
sebagai negara merdeka dan Uni Soviet mengecam segala bentuk kolonialisme.
Tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan RI mengharapkan dukungan dan bantuan dari Uni
Soviet. Di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Uni Soviet berkali-kali mengangkat
masalah Indonesia dan menuntut PBB untuk menghentikan agresi militer Belanda,
serta menghimbau dunia internasional untuk mengakui Indonesia sebagai negara
yang merdeka.
Uni Soviet membela Indonesia dalam
pertemuan-pertemuan di organisasi PBB serta organisasi internasional lainnya.
Misalnya, pada tahun 1947-1948 dalam sidang ECOSOC diajukan sejumlah usulan
untuk diakuinya kedaulatan Indonesia dan dalam konferensi Delhi, Januari 1949
Uni Soviet mengecam Agresi Militer terhadap Indonesia dan menghimbau dunia
internasional untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. Pada bulan Mei 1948
dilakukan perundingan antara Duta Besar Uni Soviet untuk Czechoslovakia, M.
Silin dengan Suripno dan disepakati untuk menjalin hubungan kedua negara pada
tingkat konsul. Persetujuan Konsuler ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri
Republik Indonesia Haji Agus Salim. Ini menunjukan adanya hubungan antara
Indonesia dengan Uni Soviet pada masa revolusi di Indonesia
Hubungan harmonis kedua negara mulai
berkembang ketika usai Perang Dunia II. Pada tanggal 25 Januari 1950, Menteri
Luar Negeri Uni Soviet, A. Vyshinsky menyampaikan secara tertulis kepada
Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Moch. Hatta bahwa Uni Soviet
mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Indonesia dan Uni Soviet
mulai menjalin hubungan diplomatik pada tahun ini. Alasannya adalah karena Uni
Soviet membutuhkan sekutu setelah perang, sedangkan Indonesia berupaya mencari
dukungan untuk menghilangkan bekas-bekas penjajahan Belanda. Pada bulan Mei
1950 Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh N. Palar berkunjung ke Moskow untuk melakukan perundingan dan hasil dari
perundingan tersebut disampaikan pada Sidang Kabinet yang
dihadiri Presiden Soekarno, 16 Mei 1950, yaitu kesepakatan untuk saling
membuka Kedutaan Besar dan tanggapan positif Uni Soviet mengenai masuknya
Indonesia menjadi anggota PBB.
Pemerintah Soviet mulai membicarakan
Indonesia di tingkat Komite Pusat (Partai Komunis Uni Soviet) pada tahun 1955,
ketika penandatanganan Dasasila Bandung (sepuluh poin hasil pertemuan
Konferensi Asia-Afrika), peristiwa itu menarik seluruh perhatian dunia. Sejak
itu, nama presiden Indonesia, Soekarno, mulai sering muncul di surat-surat
kabar Uni Soviet. Secara perlahan, Indonesia mulai menarik perhatian Uni Soviet.
Hubungan diplomatik kedua negara semakin kuat. Di tengah gencarnya Perang
Dingin, Indonesia tetap bersikukuh tak memihak dan mempertahankan sikap
nonbloknya. Bahkan, Indonesia mempelopori Gerakan Non Blok (GNB) di Beograd,
Yugoslavia. Inilah yang membuat PM Nikita Khrushchev membawa Uni Soviet semakin
dekat dengan Indonesia.
Pada tanggal 28 Agustus-12 September
1956 Presiden Soekarno berkunjung ke Moskow. Dalam kunjungan
tersebut, pada tanggal 11 September 1956 dihadapan Presiden Soekarno dan
petinggi-petinggi Uni Soviet seperti Mikoyan, Voroshilov, Kaganovich dan
Malenkov, Menteri Luar Negeri Indonesia Ruslan Abdulgani dan Wakil Menteri
Luar Negeri Uni Soviet Gromyko menandatangani Kesepakatan Bersama (Joint Statement).
Pada Februari 1960, Perdana Menteri Nikita Khuschev berkunjung ke
Indonesia dan mencapai kesepakatan dari hasil kunjungan ini. Kesepakatan-kesepakatan
yang dicapai adalah peningkatan hubungan dan kerjasama di berbagai bidang, baik
politik, ekonomi, sosial budaya, kemanusiaan, maupun militer. Dalam bidang
militer, Pengucuran bantuan dana digunakan untuk pembangunan berbagai proyek dan pemasokan
peralatan militer dari Uni Soviet untuk Indonesia. Proyek-proyek pembangunan dari
Uni Soviet juga diberikan untuk Indonesia seperti pembangunan Rumah Sakit
“Persahabatan”, Stadion Gelora Bung Karno, Hotel Indonesia, pembangunan jalan,
jembatan dan lapangan terbang di sejumlah daerah di Indonesia, pembangunan
pabrik baja dan fasilitas-fasiltas lainnya.
Masalah Irian Barat juga menjadi salah satu dasar kedekatan hubungan
Indonesia dengan Uni Soviet. Pemerintahan Presiden Soekarno berupaya untuk
mengakhiri secara tuntas sisa-sisa kolonialisme Belanda di bumi Pertiwi,
terutama di Irian Barat. Pada tahun 1952 Belanda secara sepihak memasukan Irian
Barat ke dalam wilayah kekuasaannya, sedangkan Indonesia menganggap bahwa Irian
Barat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Untuk menjaga terjadinya perang terbuka dengan Belanda,
Indonesia memerlukan Angkatan Bersenjata dengan peralatan militer yang kuat.
Indonesia dihadapkan pada dua pilihan, yaitu melakukan pendekatan kepada
Amerika Serikat atau Uni Soviet untuk pengadaan peralatan militer. Di antara
kedua negara tersebut sedang terjadi Perang Dingin dan saling berebut pengaruh
terhadap negara-negara lain yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Indonesia
dengan prinsip politik luar negeri “bebas aktif” tidak memihak pada salah satu
blok. Sebelumnya Indonesia melakukan penjajakan pengadaan peralatan militer
dari Amerika Serikat. Namun, tidak berhasil mengingat Belanda adalah sekutu
Amerika Serikat. Kemudian Indonesia mencoba melakukan penjajakan ke Uni Soviet
dan mendapat sambutan yang baik dari Pemerintah Uni Soviet.
Dalam pertemuan dengan Jenderal TNI
A.H. Nasution di Moskow, Perdana Menteri Nikita Khruschev menyampaikan
bahwa Indonesia dapat memperoleh semua peralatan militer di Uni Soviet. Pada
tanggal 28 Desember 1960, Indonesia menandatangani kontrak pengadaan peralatan
militer dan pada awal tahun 1962 peralatan militer mulai dikirim secara
berkesinambungan ke Indonesia. Dalam kurun waktu yang singkat Angkatan
Bersenjata Indonesia menjadi kuat yang dilengkapi dengan sejumlah kapal selam,
pesawat tempur dan peralatan militer lainnya.
Uni Soviet memberikan sebuah bantuan berupa bidang
teknologi kapal perang yaitu kapal dengan proyek 68 bis Ordzhonikidze yang
disebut dengan KRI Irian 201. Pada kapal perang ini memiliki kemampuan
mengangkut sebuah Meriam dengan kaliber kecil yakni Meriam kaliber engan 150mm
dengan sebuah performa yang baik. Pada April 1962 Kapal Ordzhonikidze ini
berangkat ke Negara Indonesia, Uni Soviet juga membantu Indonesia dalam
menyiapkan militer untuk menghadapi Belanda yang masih menguasai Irian Barat.
Usaha yang dilakukan Uni Soviet yaitu berupa pengiriman pesawat tempur dan
peralatan lain yang dibutuhkan dalam militer. Tidak hanya itu, para perwira
dari Uni Soviet juga melibatkan diri untuk menghadapi Belanda. Bahkan mereka berani berhadapan dengan sekutu
dari Belanda, yaitu Inggris dan Amerika Serikat. Kedua Negara itu memberikan
kesepakatan kepada Rusia memilih kemerdekaan Indonesia atau perang dingin.
Namun pada akhirnya, Inggris dan Amerika memilih tidak memberikan bantuan
kepada Belanda, sehingga Irian Barat bisa lepas dari Belanda. Dengan melihat keadaan demikian, masalah Irian Barat
dapat diselesaikan melalui jalan damai dan Irian Barat kembali ke
pangkuan Ibu Pertiwi.
Pada tahun 1965 Indonesia dihadapkan pada gejolak
sosial dan politik dalam negeri dan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September
1965 Partai Komunis Indonesia. Setelah berhasil mengatasi hal tersebut, secara
nasional ditandai dengan komitmen pembangunan ekonomi yang sangat membutuhkan
investasi, perdagangan luar negeri dan bantuan negara industri maju, khususnya
dari Barat yang mendorong berdirinya era Orde Baru. Pada awal Orde Baru
hubungan dan kerjasama antara Indonesia dengan Uni Soviet tidak begitu dekat
seperti terjadi pada awal tahun 1960-an. Oleh karena itu, Uni Soviet seolah-olah
jauh dari “radar” Indonesia. Pada masa saat inilah akhir masa kerja kapal
perang Ordzhinikidze ini juga menjadi saksi bisu hancurnya hubungan Indonesia
dan Uni Soviet. Soeharto tidak memperbolehkan serikat buruh dan Partai Komunis
setelah adanya sebuah upaya kudeta yang dilakukan. Bentuk hubungan persahabatan
Indonesia dan Soviet berubah menjadi sebuah penjara untuk orang yang melawan.
Pada akhirnya kapal tersebut dilucuti dan tidak jadi dijualkan pada Indonsia
pada tahun 1972.
Upaya-upaya untuk mengatasi masalah hubungan
bilateral terus dilakukan. Terobosan untuk memajukan kembali hubungan kedua
negara dimulai dengan kunjungan Presiden Soeharto ke Uni Soviet pada tanggal
7-12 September 1989, di mana ditandatangani Pernyataan mengenai Dasar-dasar Hubungan
Persahabatan dan Kerjasama antara Indonesia dengan Uni Republik-republik Soviet
Sosialis pada tanggal 11 September 1989. Dokumen tersebut mempunyai arti
penting yang menggariskan dasar-dasar hubungan persahabatan dan kerjasama guna
mengembangkan lagi kerjasama di berbagai bidang.
Pada tahun 1990-an terjadi perubahan geopolitik di
fora internasional yang ditandai antara lain dengan runtuhnya tembok Berlin dan
bubarnya Uni Soviet sebagai tanda berakhirnya “Perang Dingin”. Hal ini
berdampak pula pada hubungan Indonesia dan Rusia. Uni Soviet yang dibentuk pada
tanggal 30 Desember 1922, dinyatakan bubar pada tanggal 25 Desember 1991. Pada
tanggal 28 Desember 1991 melalui surat Menteri Luar Negeri Republik Indonesia
Ali Alatas yang ditujukan kepada Menteri Luar Negeri Andrei Vladimirovich
Kozyrev, Pemerintah Indonesia mengakui secara resmi Federasi Rusia sebagai
“pengganti sah” (legal successor) Uni Soviet. Hubungan kedua negara
mulai menunjukan peningkatan baik di bidang pendidikan, sosial, budaya, ekonomi
dan perdagangan.
Pada tahun 1997 Menteri Koordinator Bidang Keuangan,
Ekonomi dan Industri Ginanjar Kartasasmita dan Menteri Negara Riset dan
Teknologi B.J. Habibie berkunjung ke Rusia. Sementara itu, kerjasama antara
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dan Kementerian Luar Negeri Federasi
Rusia semakin erat yang didasarkan pada Protokol Konsultasi Bersama yang
ditandatangani pada tahun 1988. Keinginan kedua negara untuk lebih
meningkatkan hubungan dan persahabatan tercermin dengan adanya keinginan untuk
memperbaharui Pernyataan mengenai Dasar-dasar Hubungan Persahabatan dan
Kerjasama antara Indonesia dengan Uni Republik-republik Soviet Sosialis yang
ditandatangani Presiden Soeharto dan Presiden Mikhail Gorbachev pada tanggal 11
September 1989.
Hubungan bilateral Indonesia-Federasi Rusia mengalami
perkembangan yang sangat signifikan setelah ditandatanganinya Deklarasi
Kerangka Kerjasama Hubungan Persahabatan dan Kemitraan antara Republik
Indonesia dan Federasi Rusia dalam Abad ke-21. Persetujuan-persetujuan yang ditandatangani adalah
Persetujuan kerjasama di bidang Teknologi Antariksa dan Pemanfaatannya antara
LAPAN dan Badan Penerbangan dan Antariksa Rusia, Persetujuan kerjasama
Teknik-Militer antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Rusia, Persetujuan
kerjasama dan Pertukaran Informasi antara Bank Indonesia dan Bank Sentral
Federasi Rusia, Persetujuan kerjasama antara Vnesheconombank (the Bank for
Foreign Economic Affairs of the USSR) dan PT. Bank Mandiri, dan Persetujuan
kerjasama antara Vneshtorgbank (Bank of Foreign Trade) dan Bank Mandiri.
Pada saat kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
ke Rusia, 1 Desember 2006, telah ditandatangani 10 Persetujuan, antara lain
Persetujuan kerjasama di bidang nuklir untuk maksud-Maksud damai, Persetujuan
bebas visa bagi pemegang paspor diplomatik dan dinas, Persetujuan kerjasama di
bidang kedirgantaraan, Persetujuan kerjsama sister city Jakarta-Moskow,
Persetujuan kerjasama Kejaksaan Agung, Persetujuan kerjasama di bidang
pariwisata dan kerjasama antar KADIN. Bagi Indonesia, kunjungan Presiden
Federasi Rusia, 6 September 2007 memiliki arti strategis dan bersejarah karena
merupakan kunjungan Presiden Federasi Rusia pertama ke Indonesia. Dalam
kunjungan tersebut, ditandatangani sejumlah Persetujuan bilateral kedua negara
di bidang lingkungan hidup, pendidikan, kebudayaan, olahaga dan kepemudaan,
investasi, pariwisata, perbankan dan state loan dari pemerintah Rusia kepada
pemerintah Indonesia senilai US$1miliar untuk pengadaan alat utama sistem
persenjataan produk Rusia. Peningkatan
kerjasama kedua negara tidak hanya terjadi pada bidang politik, ekonomi,
perdangan dan investasi, sosial dan budaya, pendidikan, tetapi juga pada bidang
lainnya, seperti militer, pariwisata, perhubungan, penanggulangan bencana, pemberantasan
terorisme, olahraga, keagamaan hingga masalah pemilihan umum.
Itulah Jasa negara
Rusia kepada negara Indonesia, disaat negara-negara lain belum sepenuhnya
setuju dengan merdekanya bangsa indonesia, Rusia telah memasang badan
melindungi kemerdekaan republik Indonesia. Sangat disayangkan pada saat
pemungutan suara yang dilakukan, indonesia memilih agar Rusia menghentikan
operasi militernya dengan mengikuti mayoritas yang mengecam tindakan Rusia. saat
ini seolah Indonesia berada dalam posisi sebagai hakim terkait
serangan Rusia dan menentukan tindakan tersebut sebagai salah.
Indonesia yang selalu berada ditengah antara Amerika dan Rusia saat ini mulai mengekor dibelakang Amerika dan sekutunya. Padahal Indonesia yang sejak perang dingin selalu berada diposisi non blok. Sebagai negara yang menjalankan kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif seharusnya Indonesia menjaga jarak yang sama dalam perseteruan antara Rusia dan Ukraina. Oleh sebab itu, Indonesia tidak perlu melibatkan diri dalam pertikaian dua negara layaknya AS dan sekutu yang cenderung berpihak pada Ukraina dan mengecam Rusia. Indonesia juga seakan melupakan sejarah yang pernah dialami di masa lalu tentang hubungan baik antara Indonesia dan Rusia. Di masa lalu Indonesia pernah pada posisi seperti Rusia terkait status Timor Timur (Timtim). Ketika itu narasi yang digunakan oleh Indonesia adalah rakyat Timor Timur berkeinginan untuk bergabung ke Indonesia (integrasi). Namun oleh AS dan kawan-kawan, dihakimi sebagai tindakan aneksasi. Padahal Amerikalah yang awalnya mendukung integrasi tersebut, tetapi di akhir-akhir perjuangan, mereka malah menentang dan menjilat air ludahnya sendiri.
Referensi : id.wikipedia.org
kemlu.go.id
nasional.kompas.com
yoursay.suara.com
0 komentar:
Posting Komentar