Indonesia dalam pelajaran sejarah di sekolah, dijajah
oleh belanda selama 350 tahun. Walaupun pernyataan tersebut belum dapat
dipastikan kebenarannya. Karena tidak ada satupun wilayah di Indonesia yang
benar-benar dijajah selama 350 tahun. Ada yang mengatakan bahwa penjajahan di
nusantara dimulai ketika VOC berdiri pada tahun 1602. Sedangkan yang lain
mengatakan, penjajahan dimulai pada tahun 1596 ketika De Houtman bersaudara
tiba di Banten. Pendapat kedua sulit disebut sebagai penjajahan, karena pada saat
itu Cornelis De Houtman datang hanya untuk melakukan perdagangan. Dari awal
kedatangan Belanda hingga merdekanya bangsa Indonesia, terdapat salah satu daerah
yang sangat sulit ditaklukkan oleh Belanda yaitu Aceh. Karena hebatnya
perlawanan masyarakat Aceh melawan Belanda, perang antara Aceh melawan Belanda
dikatakan sebagai salah satu perang terlama di dunia. Awal perselisihan antara
Aceh dan Belanda adalah ketika datangnya Cornelis de Houtman dan armadanya.
Awalnya Cornelis de Houtman bersama armadanya tiba pada
27 Juni 1596 di perairan Banten. Penerimaan penduduk disana awalnya bersahabat,
tetapi setelah beberapa perilaku kasar yang ditunjukkan awak kapal Belanda,
Sultan Banten bersama dengan Portugis mengusir kapal Belanda tersebut.
Ekspedisi de Houtman berlanjut ke utara pantai Jawa namun kapalnya ditaklukkan
oleh pembajak. Beberapa perilaku buruk juga berujung ke salah pengertian dan
kekerasan di Madura. Seorang pangeran di Madura terbunuh, sehingga beberapa
awak kapal Belanda ditangkap dan ditahan. De Houtman diharuskan membayar denda
untuk melepaskannya. Kapal-kapal yang tersisa lalu berlayar ke Bali, dan
bertemu dengan raja Bali. Mereka akhirnya berhasil memperoleh beberapa pot
merica pada 26 Februari 1597.
Pada perjalanan yang kedua ke Indonesia, Cornelis de
Houtman berlabuh di Aceh. Seperti pada daerah lain, awalnya hubungan para
pendatang dari Belanda itu dengan rakyat dan Kesultanan Aceh Darussalam
terjalin dengan baik. Sampai kemudian, akibat tingkah laku orang-orang Belanda
serta provokasi dari orang Portugis yang dipercaya oleh Sultan Alauddin, membuat
munculnya benih-benih pertikaian. Pemimpin mereka, Cornelis de Houtman, juga
bertingkah laku buruk sehingga rakyat Aceh pun akhirnya melakukan perlawanan.
pemimpin pasukan yang melakukan perlawanan terhadap Belanda adalah Laksamana
Malahayati dikenal juga dengan nama Keumalahayati. Ayah dan kakeknya berbakti
di Kesultanan Aceh sebagai Panglima Angkatan Laut. Ia kemudian mengikuti jejak
ayah dan kakeknya dengan masuk akademi angkatan
bersenjata milik kesultanan bernama Mahad Baitul Maqdis.
Laksamana Malahayati dan pasukannya bertugas melindungi
pelabuhan-pelabuhan dagang di Aceh. Pada tanggal 21 Juni 1599, Laksamana
Malahayati berhadapan dengan kapal Belanda yang mencoba memaksakan kehendaknya
untuk melakukan monopoli. Ibrahim Alfian dalam buku Wajah Aceh dalam Lintasan
Sejarah (1999:67) menyebutkan bahwa dua kapal besar yang datang itu bernama de
Leeuw dan de Leeuwin. Frederick dan Cornelis de Houtman bertindak sebagai
kapten masing-masing kapal tersebut.
Menyadari situasi yang mulai panas, Frederick dan
Cornelis berkoordinasi di atas kapal mereka, mempersiapkan diri untuk
menghadapi serangan yang akan datang. Sultan Alauddin lalu memerintahkan
Laksamana Malahayati untuk menyerang dua kapal Belanda yang masih bertahan di
Selat Malaka itu. Malahayati tidak hanya memimpin pasukan yang didominasi
golongan pria, ia juga menggalang kekuatan kaum wanita, terutama para janda
yang ditinggal mati suaminya dalam perang di Teluk Haru, sama seperti dirinya.
Pertempuran di tengah laut akhirnya terjadi. Armada
Belanda kewalahan menahan ketangguhan pasukan Malahayati yang jumlahnya ribuan,
termasuk barisan janda berani mati. Hingga akhirnya, Laksamana Malahayati
berhasil mencapai kapal Cornelis de Houtman dan saling berhadapan. Malahayati
menggenggam erat rencong di tangannya, sementara Cornelis de Houtman menggunakan
pedang sebagai senjatanya. Duel satu lawan satu pun terjadi. Pada satu
kesempatan di tengah pertarungan, Malahayati berhasil menikam leher Cornelis yang
menyebabkan dia tewas pada 11 September 1599.
Armada Belanda akhirnya kalah dengan kehilangan banyak
orang. Kemudian mereka yang tersisa ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara,
termasuk saudara Cornelis, Frederick de Houtman. Malahayati kemudian melakukan
perundingan damai mewakili Sultan Aceh dengan pihak Belanda. Perundingan itu
adalah upaya Belanda untuk melepaskan Frederick de Houtman yang ditangkap oleh
Laksamana Malahayati. Perdamaian itu terwujud dengan dilepaskannya Frederick de
Houtman. Namun sebagai gantinya, Belanda harus membayar ganti rugi kepada
Kesultanan Aceh.
Karena perjanjian traktat london antara Inggris dan
Belanda. Indonesia, yang kala itu sedang dikuasai Inggris, harus dikembalikan
kepada Belanda. Konvensi itu menyebutkan bahwa Inggris harus mengembalikan
sebagian wilayah Indonesia kepada Belanda, sementara Afrika Selatan, Sri Lanka,
dan India tetap dikuasai Inggris. Dalam salah satu perjanjian tersebut, Kedaulatan Aceh tidak
boleh diganggu Belanda, tetapi Aceh juga tidak boleh mengganggu keamanan di
lautan.
Belanda sangat sering melakukan interupsi kepada pihak Aceh
karena mereka sangat ingin untuk menguasai wilayah Aceh. Namun, gerakannya
terbatas karena dibatasi oleh traktat London. Belanda mulai melakukan
rencana-rencana mereka seperti politik adu domba. Belanda juga mulai bergerak
di wilayah perairan Aceh dan juga selat Malaka. Gerakan untuk bisa merebut
wilayah Aceh terus dilakukan oleh Belanda. Di tanggal 1 Februari 1858, Belanda
membuat perjanjian dengan Sultan Siak dan Sultan Ismail. dari Perjanjian Siak
tahun 1858, Sultan Ismail menyerahkan wilayah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang
kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di
bawah kekuasaan Aceh.
Dengan dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps
menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan.
Kemudian Ditandatanganilah Perjanjian London pada tahun 1871 antara Inggris dan
Belanda. Isi perjanjian tersebut adalah Inggris memberikan keleluasaan kepada
Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan
lalulintas di Selat Malaka. Belanda juga mengizinkan Inggris bebas berdagang di
Siak dan menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Inggris.
Pada 2 November 1871,
Traktat Sumatera secara resmi ditandatangani oleh Belanda dan Inggris. Dalam
perjanjian tersebut, Kerajaan Inggris menyatakan jika Belanda memiliki
kebebasan untuk memperluas daerah jajahannya di Sumatera. Perjanjian Sumatera
1871 ini dibuat oleh pihak Belanda dan Inggris untuk mengganti Traktat London tahun
1824, yang isinya kedua negara telah mengakui kedaulatan Aceh.
Akibat perjanjian Sumatra 1871, Aceh mengadakan hubungan
diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia dan Kesultanan
Usmaniyah di Singapura. Aceh juga mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun
1871. Akibat upaya diplomatik Aceh tersebut, Belanda menjadikannya sebagai
alasan untuk menyerang Aceh. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya,
sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh
pasukan Aceh.
Perang Aceh melawan Belanda kemudian pecah yang dimulai
pada tahun 1873 hingga 1904. Walaupun perang tersebut masih berlangsung hingga
1910, namun setelah tahun 1904 adalah perang kelompok dan perorangan tanpa
perintah dari pusat pemerintahan Kesultanan. Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda
menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan
Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada 5 April 1873, Belanda
mendarat di Pante Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Kohler, dan langsung
bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Kohler saat itu membawa 3000 tentara
dan Sebanyak 168 di antaranya adalah perwira. Perang Aceh Pertama yang terjadi pada
tahun 1873-1874, dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan
Belanda yang dipimpin Kohler. Kohler dengan 3000 tentaranya dapat dikalahkan,
Kohler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang
berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar adalah perang saat merebut kembali
Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan.
Perang Aceh Kedua kemudian pecah pada tahun 1874-1880,
Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten. Belanda berhasil
menduduki Keraton Sultan pada 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat
pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa
seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah
wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan
sebagai Sultan di masjid Indrapuri. Perang Aceh pertama dan kedua ini adalah
perang total dan frontal, di mana pemerintah masih berjalan normal, meskipun
ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat
lain.
Perang ketiga kembali terjadi pada tahun 1881-1896,
perang ini dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah. Di
mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. Dalam perang
gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan.
Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di
Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian menggantikannya
menjadi komandan perang gerilya. Perang keempat terjadi pada tahun 1896-1910.
perang ini adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan,
penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan
Kesultanan.
Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda
memakai tenaga ahli Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yang menyamar pada tahun 1891 di pedalaman Aceh. Hal ini karena Belanda kewalahan dengan
taktik dan semangat perang dari rakyat Aceh. Christiaan Snouck Hurgronje yang
merupakan ahli bahasa Arab dan Islam datang ke Aceh. Sebagai orang yang paham
tentang Islam, ia mendekati para ulama. Bertepatan dengan
kedatangan Snouck Hurgronje, rakyat Aceh sedang merasakan duka yang mendalam
karena kematian Teuku Cik Ditiro. Hasil
kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Acehers). Dalam buku itu
disebutkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Setelah melakukan penyamaran selama 2 tahun, Snouck
Hourgronje mengusulkan strategi untuk mengalahkan perlawanan rakyat Aceh. Usulan
strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus
van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di
Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu. Mereka harus menyerang dan
menghantam terus kaum ulama. Belanda juga diusulkan untuk menunjukkan niat baik
Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki
jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh. Siasat Dr Snouck
Hurgronje diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan sipil
di Aceh (1898-1904).
Taktik perang gerilya Aceh juga ditiru oleh Van Heutz, di
mana dibentuk pasukan marechaussee yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan
pasukan Colone Macan. Belanda juga melakukan penculikan anggota keluarga
gerilyawan Aceh. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902.
Panglima Polim juga meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe pada
Desember 1903 setelah keluarganya diculik. Setelah Panglima Polim menyerah,
banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.
Tidak hanya penculikkan, Belanda juga melakukan
pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di bawah pimpinan
Gotfried Coenraad Ernst van Daalen. Pembunuhan ini menewaskan sekitar 75.000
rakyat Aceh atau 15 persen penduduk wilayah itu. Belanda kemudian menangkap Cut
Nyak Dhien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, Cut
Nya Dien akhirnya dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang. Selama perang
aceh yang terjadi dari tahun 1871 hingga 1910, diperkirakan sekitar 125.000
orang telah terbunuh.
Walaupun Aceh saat itu telah terpecah belah, mereka masih
melakukan perlawanan secara gerilya dalam kelompok. Karena dalam dada mereka
tetap mengobar semangat jihad fii sabilillah. Bahkan ketika jepang datang,
masyarakat Aceh tetap berperang melawan jepang. Kejadian ini berawal dari
kesewenang-wenangan Jepang yang memaksa untuk melakukan Seikerei dan ditolak
oleh rakyat setempat karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. setelah
indoneisa merdeka, Belanda berupaya untuk menjajah indonesia kembali. Tetapi
Aceh menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang tidak berani dijamah oleh
Belanda ketika kedatangannya yang kedua pada agresi militer I dan II. Bahkan
Aceh sempat mambantu Sumatra Utara (Medan) untuk berperang melawan Belanda
dalam kedatangannya yang kedua. Hingga saat ini, Aceh adalah daerah yang selalu
menegakkan ajaran agama Islam. Aceh juga daerah Istimewa dengan kebijakan
otonomi khusus.
Sumber Referensi : id.wikipedia.org
kompas.com
regional.kompas.com
tirto.id
zenius.net
0 komentar:
Posting Komentar