Begitu banyak
kisah tragis yang terjadi ketika masa-masa awal kemerdekaan republik Indonesia. Salah
satu pahlawan nasional yang menjadi korban dari pulau Sumatra adalah Tengku
Amir Hamzah, seorang bangsawan dan penyair yang luar biasa pada masanya. Kejadian tragis itu bemula ketika mulai terbentuknya republik Indonesia
sebagai upaya penyatuan pulau-pulau di nusantara dalam satu negara. Pada tanggal 3 Februari 1946 dalam rapat Komite
Nasional Indonesia (KNI) di Medan para raja dan sultan di seluruh Sumatera
Timur, termasuk Sultan Siak dari Riau sudah menyatakan tekad mendukung dan
berdiri di belakang pemerintah Republik Indonesia di hadapan wakil pemerintah
yaitu Gubernur Sumatera Mr. Teuku Muhammad Hasan disaksikan oleh Wakil Gubernur
dr. Muhammad Amir, Residen Sumatera Timur Tengku Hafaz, Ketua KNI Sumatera
Timur Mr. Luat Siregar, Abdul Xarim MS, Muhammad Yusuf, dr. Tengku Mansyur,
Tengku Damrah, dan Tengku Bahriun.
Mr. Teuku Muhammad Hasan dalam pidato pembukaan menyampaikan bahwa
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia mengakui secara resmi pemerintahan
raja-raja di Sumatera Timur dan mendesak mereka agar memutuskan hubungan dengan
pemerintah Belanda, melakukan proses demokratisasi, dan mendukung pemerintahan
Republik Indonesia. Sultan Langkat Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat
Shah mewakili seluruh pemerintah swapraja Sumatera Timur menyampaikan pidato
yang berbunyi: “Kami para sultan dan raja-raja di Sumatera Timur telah
mengambil keputusan bersama untuk melahirkan sekali lagi itikad kami bersama
untuk berdiri teguh di belakang presiden dan pemerintah Republik Indonesia
serta turut menegakkan dan memperkokoh Republik Indonesia”.
Musyawarah itu akhirnya melahirkan kesepakatan membentuk panitia bersama
untuk mempersiapkan proses demokratisasi di wilayah pemerintahan swapraja
Sumatera Timur. Mr. Mahadi dan Muhammad Yunus Nasution dipilih sebagai sebagai
ketua dan koordinator, mereka ditugaskan untuk mengawasi jalannya proses
pemerintahan di wilayah itu sambil menantikan penggabungan dengan pemerintah
republik. Hal ini menunjukkan bahwa kerajaan dan kesultanan yang ada di
Sumatera Timur telah bersedia mendukung pemerintahan Republik Indonesia. Mereka menargetkan bahwa pada Mei 1946
pemerintahan yang baru di Sumatera Timur sudah bisa berjalan. Akan tetapi
sangat disesalkan kubu radikal mengambil jalan pintas dengan menggerakkan
Revolusi Sosial.
Meski kaum
aristokrat Sumatera Timur sudah berjanji akan bergabung dengan pemerintah
Republik Indonesia, namun rakyat sudah terlanjur menaruh dendam dan kebencian
melihat sikap dan gaya hidup mereka selama ini, yang hidup serba kemewahan dan
dituduh telah melakukan penindasan terhadap rakyat. Penguasa Sumatera Timur
yang terkenal kaya raya saat itu adalah dari kalangan Melayu yaitu Sultan
Langkat dan Sultan Deli.
Sultan Langkat
memperoleh kekayaan dari keuntungan usaha perminyakan dan penyewaan tanah
perkebunan. Demikian juga Sultan Deli banyak menuai kekayaan dari hasil
penyewaan tanah perkebunan tembakau. Slogan-slogan bernada revolusioner
kemudian membahana di seantero Sumatera Timur, antara lain berbunyi “Raja-raja
penghisap darah rakyat”, “Kaum feodal yang harus dibunuh” dan lagu “Darah
Rakyat”. Situasi ini kemudian dimanfaatkan oleh kaum berhaluan kiri, khususnya
kelompok komunis.
Pada bulan Maret minggu pertama 1946 semangat revolusioner ini
berkecamuk di Sumatera Timur. Siapa saja yang menjadi penghambat dan
menghalangi jalannya revolusi akan ditangkap. Seluruh elemen organisasi larut
dalam suasana revolusi, termasuk organisasi-organisasi Islam. Gerakan revolusi
memberikan keleluasaan kepada para aktivis muda dan buruh-buruh pendatang untuk
melakukan aksi pergerakan.
Kekerasan pertama terjadi di Sunggal pada tanggal 3 Maret 1946,
unit-unit laskar rakyat menyerang markas organisasi PADI (Persatuan Anak Deli
Islam) dan Pasukan Ke-V pimpinan dr. F.J. Nainggolan yang berada dekat rumah
Datuk Hitam. Di Tanjung Pura tempat kedudukan Sultan Langkat, istana
Darul Aman berhasil dikuasai oleh kaum republiken dan menjarah harta berharga
yang ada di dalamnya. Mereka juga melampiaskan nafsu bejat mereka kepada dua
orang puteri Sultan Langkat.
Putri Sultan
Langkat dipaksa melayani nafsu birahi Marwan dan Usman Parinduri. Kebiadaban
mereka ini dituliskan oleh Tengku Luckman Sinar, “.....kedua puteri itu meraung
kesakitan dan setiap rintihan merupakan pisau sembilu menusuk jantung Sultan
yang mendengarnya dari kamar sebelah.” (Kedua pelaku pemerkosa ini kemudian
dijatuhi hukuman mati). Istana Darul Aman dibakar, namun Sultan Langkat tidak
dibunuh, ia ditangkap lalu diasingkan ke Batang Serangan hingga kemudian
Belanda membebaskannya pada bulan Juli 1947.
Amir Hamzah
yang saat itu menjabat sebagai pangeran Sultan
Langkat pun dibawa secara paksa oleh para aktivis revolusi. Amir Hamzah adalah
nama pena dari Tengku Amir Hamzah Pangeran Indra Putra. Sastrawan yang digelari
Raja Penyair ini termasuk Angkatan Poedjangga Baroe. Buah Rindu, Nyanyi Sunyi,
dan Setanggi Timur adalah sedikit contoh dari banyak karyanya yang begitu
terkenal. Amir lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, 28 Februari
1911, dari keluarga bangsawan Melayu Kesultanan Langkat. Amir menikah dengan
Tengku Puteri Kamiliah, putri tertua Sultan Langkat, Sultan Machmud.
Selain Pangeran Langkat Hilir,
kemudian ia menjadi Bendahara Paduka Raja, lalu Pangeran Langkat Hulu, lantas
menjabat Ketua Pengadilan Kerapatan Kesultanan Langkat. Pada saat yang sama dan
di tanah yang sama, Amir Hamzah juga menjadi Asisten Residen Langkat dalam
pemerintahan Republik Indonesia. Meski bergelar bangsawan, Amir jarang sekali
memakai gelar Tengku-nya. Ia seringkali hanya menuliskan namanya hanya dengan
Amir Hamzah, termasuk ketika menulis puisi-puisi.
Pada 7 Maret 1946 dengan
kendaraan terbuka, Tengku Amir Hamzah dan lainnya dijemput paksa. Saat itu ia
berbaju putih lengan panjang, ia sempatkan melambaikan tangannya pada
orang-orang yang ingin menyalaminya di jalan. Bersama tahanan lain, Amir
dikumpulkan di Jalan Imam Bonjol, Binjai, lalu dikirim ke perladangan Kuala
Begumit untuk disiksa dan dibunuh. Amir Hamzah awalnya ditahan di sebuah rumah
bekas tahanan Kempeitai di tepi Sungai Mencirim, Binjai. Tiga belas hari
kemudian, barulah ia dieksekusi.
Anehnya, beberapa orang pemuda
ternyata sempat mendatangi Tengku Kamaliah, istri Amir Hamzah, untuk memintakan
apa-apa yang kiranya perlu dikirimkan kepada Tengku Amir Hamzah di camp
penyiksaan. “Ini lah daku titipkan teruntuk suamiku, juadah satu siya
(rantang), masakan Melayu. Dan ini sehelai kain sembahyang, dan sepasang baju
teluk belanga putih, kerana Ku Busu tak lepas dari menderas Al qur’an saban
hari, bawakan lah ini Al qur’an untuk beliau”, ujar Tengku Kamaliah.
Di tempat yang lain di Kuala
Begumit, nyatanya pakaian Tengku Amir Hamzah diambil, diganti dengan celana
goni. Para tahanan diperintahkan menggali lubang; untuk kuburan mereka sendiri.
Satu demi satu para tahanan ditutup rapat matanya. Tangan diikat kuat ke
belakang. Sang algojo ternyata tak lain adalah Mandor Iyang Wijaya. Sebelum
melakukan pembunuhan, ia mengabulkan permintaan terakhir Tengku Amir Hamzah
yang meminta dua hal.
Pertama, ia meminta tutup matanya
dibuka karena ingin menghadapi ajalnya dengan mata terbuka. Kedua, Tengku Amir
Hamzah meminta waktu untuk sholat sebelum hukuman dijatuhkan. Kedua permintaan
Tengku Amir ini entah kenapa dikabulkan mereka. Usai sholat, Sang Pujangga pun
menerima ajalnya. Parang Mandor Yang Wijaya kemudian berayun menebas tengkuk
hingga memutus lehernya. Amir tewas dengan 26 orang
tahanan lainnya dan dimakamkan di sebuah kuburan massal yang telah digali para
tahanan tersebut, beberapa saudara Amir juga tewas dalam revolusi tersebut.
Kabar kematian Amir Hamzah
tak lantas dipercayai istrinya, Tengku Kamaliah, putri Sultan Langkat saat itu.
Kamaliah percaya suaminya akan segera pulang. Bahkan ketika kuburan itu
dibongkar dan tengkoraknya dikenali, ia tetap tak percaya itu adalah tengkorak
suaminya. Kepada
Anaknya, Tengu Tahura yang akrab dipanggil Kuyong, Kamaliah selalu menanamkan
keyakinan bahwa ayahnya tidak mati.
Malam itu, pada 20 Maret 1946,
saat sang pujangga ternama meninggal. Ia seperti menggenapkan salah satu larik
dalam sajaknya, “Buah Rindu”: datanglah engkau wahai maut, lepaskan aku dari
nestapa. Catatan tentang kematian Amir Hamzah
itu dituliskan Tengku M. Lah Husny dalam bukunya berjudul Biografi-Sejarah
Pujangga dan Pahlawan Nasional Amir Hamzah (1978). Pada November 1949,sebuah
kuburan dangkal dibongkar yang di dalamnya terdapat delapan mayat. Salah
satunya memakai cincin kecubung dengan keadaan kedua giginya patah. inilah
kerangka Amir Hamzah, kerangka itu lalu dikuburkan dipemakaman keluarga
kerajaan di samping Masjid Azizi.
Amir telah menerima
pengakuan yang luas dari pemerintah Indonesia, dimulai dengan pengakuan dari
pemerintah Sumatra Utara segera setelah kematiannya. Dalam usia 16 tahun, Amir
Hamzah telah turut bersama-sama merumuskan konsep Sumpah Pemuda 1928 dan ikut
andil membidani kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesdia (NKRI). Pada
tahun 1969 ia secara anumerta dianugerahi Satya
Lencana Kebudayaan dan Piagam
Anugerah Seni. Pada tahun 1975 dengan keputusan Presiden nomor 106 tanggal 3 november
1975, Amir Hamzah ditetapkan sebagai pahlawan Nasional. Taman
Amir Hamzah, sebuah taman
yang berlokasi di Jakarta di dekat Monumen Nasional dinamakan untuk mengenang jasanya. Sebuah masjid
di Taman Ismail Marzuki yang dibuka untuk umum pada tahun 1977, juga
dinamakan untuknya. Dan beberapa jalan diberi nama untuk Amir, termasuk
di Medan, Mataram,
dan Surabaya. Tidak ada yang menyangka, pahlawan yang dikenal gigih
mempersatukan bangsa ini justru meninggal dalam keadaan disiksa dan dipancung.
Itulah kisah tentang Amir
Hamzah, seorang pahlawan revolusi yang dibunuh oleh rakyatnya sendiri. Padahal
Amir Hamzah telah setuju bahwa kesultanan langkat akan mendukung republik
Indonesia. Namun provokator menghasut agar para rakyat membunuh para
sultan-sultan yang menurut mereka bertindak otoriter dan semena-mena. Padahal
mereka hanya terhasut pada kebencian yang diciptakan oleh para pengacau dan
provokator dimasa itu. Semoga kita tidak mudah terprovokasi oleh provokator
yang berniat menghancurkan persatuan negara kita seperti yang pernah terjadi di
masa lalu.
Sumber Referensi : langkatmedia.co
liramedia.co.id
tempo.co
tirto.id
wikipedia.org
0 komentar:
Posting Komentar