Istilah wali berasal dari bahasa Arab, artinya adalah tercinta,
pembantu, penolong, dan pemimpin. Bentuk pluralnya adalah auliya. Al-Quran
menyifati para wali Allah sebagai orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada
Allah. Tidak ada kekhwatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.
Allah berfirman: Ingatlah, sesungguhnya
wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula
mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu
bertaqwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan akhirat.
Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu
adalah kemenangan yang besar. (Q.S. Yunus : 62-64)
Dalam hadits disebutkan bahwa wali Allah adalah orang-orang yang
selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan menunaikan amalan wajib
dan menambahnya dengan amalan sunnah hingga Allah mencintai mereka. Dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Allah berkalam, Barangsiapa yang memusuhi waliku berarti telah mengumumkan perang
terhadap-Ku, atau Aku menyatakan perang terhadapnya. Tidaklah seorang hamba-Ku
mendekatkan diri kepada-Ku dengan mengerjakan apa yang telah Aku wajibkan
atasnya dan hamba-Ku tetap terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan
amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Maka apabila Aku telah
mencintainya, niscaya Aku menjadi pendengarannya yang dengannya dia mendengar,
dan menjadi penglihatannya yang dengannya dia melihat, dan menjadi tangannya
yang dengannya dia memukul, dan menjadi kakinya yang dengannya dia berjalan.
Dan sungguh jika dia meminta kepada-Ku niscaya Aku berikan kepadanya. Dan
sungguh jika dia memohon perlindungan-Ku niscaya Aku melindunginya. Dan Aku
membimbingnya kepada sesuatu, maka Akulah pelaksananya. Jika hamba-Ku yang
beriman selalu dalam bimbingan-Ku, ia membenci kematian dan Akupun membenci
keburukan maut yang pasti menjemputnya.
Hadits shahih ini yang paling jelas menyebutkan sifat-sifat para
wali Allah. Di antaranya adalah barangsiapa yang menyatakan permusuhan kepada
wali Allah maka sama saja dirinya telah menyatakan perang kepada Allah, dan
Allah pun juga menyatakan perang terhadapnya.
Sedangkan dalam pemahaman yang berkembang dalam ‘urf (tradisi) di Jawa, perkataan wali menjadi sebutan bagi orang
yang dianggap keramat, yaitu orang suci yang memiliki karomah dalam bentuk
kejadian luar biasa yang diberikan Allah kepada orang-orang beriman dan
bertaqwa. Meskipun sering dirancukan dengan sakti mandraguna dalam pengertian
ajaran Hindu Syiwo dan Buddha.
Dalam kaitan ini, ditemuilah istilah Wali Songo atau sembilan
Waliyullah. Mereka adalah para penyebar Islam terpenting di tanah Jawa pada
awal abad ke-15 dan ke-16. Mereka memiliki kelebihan daripada masyrakat
mayoritas yang waktu itu masih menganut agama lama. Oleh karena itu, para Auliya
dipandang sebagai orang-orang yang dekat dengan Allah karena telah menegakkan
kewajiban-kewajiban yang Allah perintahkan serta mengerjakan amalan-amalan yang
sunnah, sehingga mendapatkan berbagai karunia berupa kejadian luar biasa yang
disebut karomah.
Mereka adalah symbol perintis jalan bagi penyebaran Islam di nusantara, khususnya di
Jawa. Tentu saja banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka
yang sangat besar dengan dakwah ilallah secara langsung maupun seruan dalam jihad
fisabilillah hingga mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, dan juga pengaruhnya
terhadap pembentukan peradaban Islam di masyarakat, membuat para wali songo ini
lebih sering disebut daripada yang lain.
Wali Songo adalah pembaharu masyrakat pada masanya. Pengaruh mereka
terasa dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai
dari perniagaan dagang, pelayaran nelayan dan perikanan, bercocok tanam di
persawahan maupun perkebunan, pengobatan dalam kesehatan jasmani dan rohani,
kebudayaan, kesenian, pendidikan, kemasyarakatan, hingga ke dalam masalah
aqidah , politik, militer, hukum, dan pemerintahan di Kerajaan-Kerajaan Islam.
Sebagian penulis berpendapat bahwa istilah Wali Songo berasal dari
bahasa Arab, yaitu wali (wali) dan tsana (mulia), sehingga berarti para wali
yang mulia. Sebagian lagi berpendapat istilah wali Songo berasal dari bahasa
Jawa, yaitu wali (wali) dan sana (baca: sono), yaitu tempat. Ada pula yang
menyebut dengan wali Songo yang berarti sembilan wali atau bahkan ada yang
menyatakan Wali Sangha.
Dari berbagai pendapat tersebut, yang paling kuat adalah berdasarkan
istilah dan fakta sejarah, yaitu bahwa Wali Songo adalah sebuah dewan dakwah,
dewan mubaligh, organisasi ulama dalam bentuk lembaga dakwah para wali yang
berjumlah sembilan. Setiap ada yang wafat atau meninggalkan Jawa, maka diangkat
wali lain sebagai gantinya sehingga tetap berjumlah sembilan. Berikut ini
pembahasan tentang istilah wali songo.
1.
Wali Songo bermakna wali yang
mulia (tsana’)
Menurut pendapat
Prof. K.H. Moh. Adnan bahwa kata sanga merupakan
perubahan atau kerancuan dalam mengucapkan kata sana yang menurutnya tsana’. Kata
tsana’ berasal dari bahasa Arab yang
berarti mulia yang semakna dengan mahmud yang berarti terpuji. Sehingga istilah
Wali Songo menurutnya berasal dari kata Wali Tsana.
2.
Wali Songo merupakan pemimpin
di suatu tempat (Sana)
Walaupun banyak hal yang harus dikritisi, istilah wali tsana yang dikemukakan Prof. K.H. Moh. Adnan ini diperkuat oleh R. Tanojo secara asal istilah, sedangkan arti dari kata sana itu berbeda. Menurut R. Tanojo arti sana bukan berasal dari bahasa Arab yang berarti mulia. Akan tetapi sana (sono) berarti suatu tempat, daerah atau wilayah. Dalam pengertian ini, Wali Sana menurut R. Tanojo berarti wali yang berkuasa di suatu tempat, penguasa daerah atau penguasa wilayah. (Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa)
3.
Wali Songo adalah nama
organisasi dakwah
Pendapat lain
menyatakan bahwa Wali Songo sebenarnya bukanlah berartri wali yang jumlah
keseluruhannya hanya sembilan (songo) saja sebagaimana yang dikenal masyrakat Jawa.
Akan tetapi Wali Songo adalah sebuah nama bagi organisasi dakwah, dewan dakwah,
dewan mubaligh, dewan ulama, majelis para wali, atau lembaga dakwah. Apabila
salah seorang dari anggota dewan atau majelis tersebut pergi atau wafat, maka
akan diganti noleh wali yang lain. Oleh
karenanya, jumlah wali dalam dewan ulama ini tetap sembilan dalam setiap
angkatan. (H.M. Soenanto, Cikal Bakal Berdirinya Kerajaan Islam)
Pendapat tersebut
sebagaimana pandangan Asnan Wahyudi dan Abu Khalid, M.A. bahwa wali songo
merupakan sebuah nama suatu lembaga bagi dewan dakwah atau dewan ulama.
Sedangkan kata sembilan diidentifikasikan sebagai struktur kepemimpinan dalam
lembaga dakwah tersebut.
Berikut ini
beberapa alasan yang memperkuat pendapat ini:
a.
Berdasarkan kitab Kanzul Ulum
karya Ibnu Bathuthah yang penulisannya dilanjutkan oleh Syekh Maulana Maghribi.
Di dalamnya disebutkan tentang pembagian wilayah dakwah, yaitu Maulana Malik
Ibrahim, Maulana Ishaq, dan Syekh Jumadil Kubra di Jawa Timur. Kemudian Syekh
Subakir dan Syekh Maulana Maghrib menggarap wilayah Jawa tengah, sementara
bagian barat ditugaskan kepada Maulana Malik Isra’il, Syekh Ali Akbar, Maulana
Hasanuddin dan Maulana Aliyuddin.
b.
Berdasarkan dokumen Kropak Ferrara, disebutkan sarasehan dan
musywarah Wali Songo tentang makrifatullah. Dalam musyawarah tersebut dipimpin
oleh Sunan Giri sebagai pengganti Sunan Ampel sekaligus sebagai tuan rumah di
Ampel Dento. Para Wali yang hadir secara keseluruhan sebanyak sembilan wali.
Akan tetapi Sunan Kudus sebagai salah seorang anggota Wali Songo berhalangan
hadir.
c.
Wali Songo yang merupakan nama
organisasi dakwah ini menyelenggarakan sidang sebanyak tiga kali, yaitu tahun
1404 M, 1438 M, dan tahun 1463 M. menurut KH. Dachlan Abdul Qahhar, pada tahun
1466 M Wali Songo menyelenggarakan sidang ke-4 untuk membahas berbagai hal.
Diantaranya adalah tentang wafatnya dua orang wali, yaitu Maulana Muhammad
Al-Maghrabi dan Maulana Ahmad Jumadil Kubro serta masuknya dua orang wali
menjadi anggota Wali Songo. (MB. Rahimsyah. AR, Kisah Perjuangan Wali Songo)
Demikianlah tentang Wali Songo sebagai perintis jalan penyebaran
Islam di tanah Jawa secara revolusioner. Oleh karena terjadi perubahan mendasar
dalam membentuk peradaban dengan waktu yang relative singkat. Atas kehendak
Allah kemudian peran mereka, mayoritas umat di tanah Jawa dan juga nusantara
adalah umat Islam.
Berita tentang sejarah revolusiislam
di Jawa padaabad 15 dan 16 ini tersebar luas diseantero dunia Islam
hingga kini . salah satu sumber situs berbahasa Arab yang membahas secara
singkat perkembangan Islam dunia menyebutkan tentang wali songo ini:
“Al-Auliya T-Tis’ah (Wali Songo)adalah orang-orang yang bergabung dalam Ahlul Halli wal-Aqdi wasy-Syura, mereka
yang memiliki hak mengangkat pemimpin Islam melalui musyawarah. Wali Songo
memiliki andil besar dalam penyebaran Islam di Jawa dan nusantara. Oleh karena
mereka telah berjanji setia kepada Sultan Fattah sebagai khalifah bagi kaum
muslimin, maka di kemudian hari, banyak sekali orang-orang yang mengikuti
mereka dalam jumlah besar dari masyarakat Indonesia karena telah menaruh
kepercayaan yang besar kepada mereka.(www.tareemyemen.net)
4.
Antara Wali dan Sunan
Ketika menyebut istilah
Wali Songo, maka umumnya masyarakat Jawa mengenal mereka sebagai para ulama
penyebar Islam yang jumlahnya sembilan wali. Kebanyakan menggunakan panggilan
Sunan. Mereka adalah Maulana malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan
Mbonang, Sunan Kalijogo, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria, dan Sunan
Gunung Jati. Tidak ada kepastian tentang siapa orang yang pertama kali hanya sembilan
wali tersebut sebagai Wali Songo, tanpa yang lainnya. Padahal antara satu Sunan
dengan Sunan lainnya berbeda masa dan bahkan ada yang belum pernah bertemu
dalam satu masa. Oleh karena itulah muncul pendapat bahwa istilah Sunan tidak
ditemukan penisbatannya kepada para wali mukmin di masanya.
Sunan kependekan dari
kata susuhunan atau sinuhun yang biasa dinisbatkan bagi para
Raja atau penguasa pemerintahan daerah di Jawa. Misalnya Sunan Gunung Jati
sebagai penguasa di daerah bernama Gunung Jati, Cirebon. Sunan Ampel di daerah
Ampel Dento. Sunan Giri sebagai penguasa di daerah Giri yang sampai meluas jauh
ke timur hingga ke luar Jawa, seperti Makassar, Hitu (Ambon), dan Ternate.(R.
Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia)
Oleh karena itulah menurut
Prof. Dr. Hamka, bahwa istilah Sunan baru digunakan untuk menyebut para wali
setelah wafatnya mereka, “Terang bahwa
gelar-gelar Sunan itu baru dipasangkan atas diri para wali itu setelah mereka
meninggal belaka. Karena mereka dipandang keramat dan kubur mereka
dimuliakan sebagaimana memuliakan
berhala. Sebab itu dibahasakan Sunan.” Sunan berasal dari kata sesuhunan,
artinya adalah yang disuhun atau dimohon, dimana disusun jari sepuluh buat
menyembahnya. Sebutan ini bersifat kompromis yang digunakan untuk memuliakan
ulama agar sesuai dengan para Raja.
Oleh karena penisbatan
istilah Sunan ini sudah terlanjur
melekat kuat dalam ingatan masyarakat dalam waktu lebih dari empat abad,
bahkan lebih terkenal daripada nama aslinya, maka penggunaan istilah Sunan
dalam konteks ini tidaklah terlalu dipermasalahkan.
Apabila nama-nama
anggota Wali Songo itu ditelusuri, akan didapati lebih dari sembilan wali.
Adapun nama-nama Wali Songo yang dikenal masyarakat adalah Maulana Malik
Ibrahim (Sunan Gresik), Raden Rahmat (Sunan Ampel), Raden Paku (Sunan Giri),
Makhdum Ibrahim (Sunan Mbonang), Raden Syahid (Sunan Kalijogo), Ja’far Shodiq
(Sunan Kudus), Maseh Munat (Sunan Drajat), Raden Umar Said (Sunan Muria), dan
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Menurut Widji Saksono, nama-nama wali tersebut banyak yang telah menyepakatinya. Meskipun tidak jelas pula siapa saja yang membuat kesepakatan tersebut. Disepakati oleh siapa, sejak tahun berapa dan dalam momen seperti apa, tidak pernah terjelaskan. Menurutnya lagi, para wali lain yang masih diperselisihkan adalah Usman Haji (Sunan Ngudung), Raden Santri (Sunan Gresik), Raden Sayed Muhsin (Sunan Wilis), Haji Usman (Sunan Manyuran), Sultan Fattah (Sunan Bintoro), Raden Jakandar (Sunan Bangkalan), Khalif Husain (Sunan Kertosono), Raden Pandan Arang (Sunan Tembayat), Ki Cakrajaya (Sunan Geseng), Sunan Giri Prapen, Sunan Padhusan.(Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa).
Sumber : Buku Wali Songo, Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa Karya Ustadz Rachmad Abdullah, S.Si, M.Pd
0 komentar:
Posting Komentar