Fenomena alam, fenomena sosial yang terjadi di nusantara tidak bisa
dilepaskan terhadap kisah-kisah masa lalu yang biasanya di kaitkan dengan fenomena yang terjadi pada saat ini. Kita tidak bisa pungkiri bahwa sebagian cerita itu ada yang cocok dengan kondisi pada zaman modern ini. Akhlak yang dahulu terjaga sekarang mulai memudar karena pengaruh budaya asing
yang merusak generasi muda kita, kebebasan yang tidak terkontrol, wabah
penyakit dan bencana yang bertubi-tubi menguji kita. Dari kecelakaan pesawat
pada awal tahun 2021, wabah covid19, banjir, gempa bumi, tanah longsor, bahkan akhir tahun ini kita
dikejutkan dengan meletusnya gunung semeru. Bencana-bencana tersebut sudah
meregut korban yang tidak sedikit, kita doakan semoga yang meninggal terutama
kerena sakit dan bencana ditempatkan di tempat terbaik disisi
Tuhan.
Jika kita mengingat tentang kisah yang penuh
dengan filsafat ajaran moral dan toleransi, kita pasti teringat tentang kisah
Syekh Subakir dan Sabdo Palon yang sudah sangat mahsyur tersebut. Dari kisah
ini bisa kita ambil pelajaran berharga tentang musyawarah yang terjadi antara
Ulama penyebar Agama Islam dan tokoh yang dianggap mempresentasikan penguasa
atau penjaga tanah jawa yang berusaha mempertahankan adat, budaya dan agama
yang terlebih dahulu ada di tanah Jawa. Dalam kisah itu diceritakan bagaimana
Sabdo Palon sang penjaga tanah jawa memberikan kesempatan kepada Syekh Subakir untuk
menyebarkan ajaran Islam, tetapi dengan syarat yang harus dipatuhi.
Jika syarat tersebut tidak dipatuhi Sabdo
Palon mengancam akan membuat goro-goro di masa yang akan datang, dan ternyata
banyak masyarakat terutama orang Jawa yang mempercayai semua fenomena buruk
yang terjadi tersebut adalah tanda bahwa janji Sabdo Palon akan segera
terjadi, masyarakat jawa mengenalnya dengan Sabdo Palon Nagih Janji.
Di antara ragam Serat Jangka Jayabaya, salah
satu versinya bercerita tentang Syekh Subakir dan perannya dalam membangun
peradaban bangsa manusia di Pulau Jawa. Hikayat syekh Subakir ini
juga tersebut dalam tulisan lontar kuno yang diperkirakan ditulis oleh
Kanjeng Sunan Drajad atau setidak-tidaknya oleh murid atau pengikut
beliau.
Syekh Subakir adalah seorang ulama
yang berasal dari Persia. Beliau adalah generasi awal Wali Songo, penyebar
Islam di tanah Jawa. Beliau dianggap sebagai orang yang paling berjasa dalam
menyebarkan Islam di tanah Jawa ini. Diriwayatkan bahwa proses islamisasi di
Jawa mengalami hambatan, disebakan kuatnya orang Jawa dalam memegang
kepercayaan lama. Syaikh Subakir datang ke tanah Jawa bersama wali sanga
generasi awal, setelah diperintahkan oleh Sultan Muhammad Al-Fatih di Istanbul,
Turki. Kesembilan ulama ini mempunyai spesifikasi keahlian masing-masing. Ada
yang ahli tata negara, ahli pengobatan, ahli tumbal, dan lain-lain. Wali
Sembilan ini dibagi menjadi 3 kelompok dan di tempatkan pada tiga tempat, yakni
di bagian barat, tengah dan timur tanah Jawa.
Konon, hambatan penyebaran Islam di
Jawa pada masa sebelumnya, disebabkan oleh keberadaan bangsa jin yang menempati
setiap sudut tanah jawa. Bangsa Jin ini dipimpin oleh Sabdo Palon atau Kyai
Semar, yang bersemayam di puncak Gunung Tidar, Magelang, Jawa Tengah.
Syekh Subakir yang ahli dalam ilmu batin (baca:
sakti) segera melakukan pembersihan, dengan menancapkan tumbal yang berupa batu
hitam di puncak gunung Tidar. Seluruh Jawa bergolak, seluruh bangsa jin yang
menguasi jawa merasakan kepanasan yang teramat sangat, hingga mereka lari
tunggang langgang menyeberang ke lautan atau menepi ke sudut terpencil tanah
Jawa. Sebagian jin yang lain ada yang harus mati akibat hawa panas dari tumbal
yang dipasang Syekh Subakir. Karena itulah, Gunung Tidar dipercayai sebagai
Pakunya Tanah Jawa.
Melihat hal itu, Sabdo Palon yang telah 9000 tahun bersemayam di puncak Tidar keluar dalam bentuk manusia, berdiri di hadapan Syekh Subakir. Setelah terjadi perdebatan mereka segera adu kesaktian. Konon petempuran antara keduanya selama 40 hari 40 malam, hingga Sabdo Palon merasa kewalahan dan menawarkan gencatan senjata. Sabdo Palon mensyaratkan beberapa point dalam upaya penyebaran Islam di Jawa. Syarat-syarat itupun disetujui Syekh Subakir.
Berikut ini adalah dialog
antara Sabdopalon dengan Syeh Subakir yang terjadi di atas Gunung Tidar yang
kami sajikan dalam bentuk imajiner.
Syeh Subakir : Kisanak, siapakah kisanak ini, tolong jelaskan.
Sabdopalon : Aku ini Sabdopalon, pamomong (penggembala) Tanah Jawa sejak jaman dahulu kala. Bahkan sejak jaman kadewatan (para dewa) akulah pamomong para kesatria leluhur. Dulu aku dikenali sebagai Sang Hyang Ismoyo Jati, lalu dikenal sebagai Ki Lurah Semar Bodronoyo dan sekarang jaman Majapahit ini namaku dikenal sebagai Sabdopalon.
Syeh Subakir : Oh, berarti Kisanak ini adalah Danyang (Penguasa) Tanah Jawa ini. Perkenalkan Kisanak, namaku adalah Syeh Subakir berasal dari Tanah Syam Persia.
Sabdopalon : Ada hajad apa gerangan Jengandiko (Anda)
rawuh (datang) di Tanah Jawa ini ?
Syeh Subakir : Saya diutus oleh Sultan Muhammad yang bertahta di Negeri Istambul untuk datang ke Tanah Jawa ini. Saya tiadalah datang sendiri. Kami datang dengan beberapa kawan yang sama-sama diutus oleh Baginda Sultan.
Sabdopalon : Ceritakanlah selengkapnya Kisanak. Supaya aku tahu duduk permasalahannya.
Syeh Subakir : Baiklah. Pada suatu malam Baginda Sultan Muhammad bermimpi menerima wisik (ilham). Wisik dari Hyang Akaryo Jagad, Gusti Allah Dzat Yang Maha Suci lagi Maha Luhur. Diperintahkan untuk mengutus beberapa orang ‘alim ke Tanah Jawa ini. Yang dimaksud orang ‘alim ini adalah sebangsa pendita, brahmana dan resi di Tanah Hindu. Pada bahasa kami disebut ‘Ulama.
Sabdopalon : Jadi Jengandiko ini termasuk ngulama itu tadi ?
Syeh Subakir : Ya, saya salah satu dari utusan yang
dikirim Baginda Sultan. Adapun tujuan kami dikirim kemari adalah untuk
menyebarkan wewarah suci (ajaran suci), amedar agama suci. Yaitu Islam.
Sabdopalon : Bukankah Kisanak tahu bahwa di Tanah Jawa ini sudah ada agama yang berkembang yaitu Hindu dan Buda yang berasal dari Tanah Hindu ? Buat apa lagi Kisanak menambah dengan agama yang baru lagi ?
Syeh Subakir : Biarkan kawulo dasih (rakyat) yang memilih keyakinannya sendiri. Bukuankah Kisanak sendiri sebagai Danyangnya Tanah Jawa lebih paham bahwa sebelum agama Hindu dan Budha masuk ke Jawa ini, disinipun sudah ada kapitayan (kepercayaan) ? Kapitayan atau ‘ajaran’ asli Tanah Jawa yang berupa ajaran Budhi ?
Sabdopalon : Ya, rupanya Kisanak sudah menyelidiki kawulo Jowo
disini. Memang disini sejak jaman sebelum ada agama Hindu dan Budha, sudah ada
‘kapitayan’ asli. Kapitayan adalah kepercayaan yang hidup dan berkembang pada
anak cucu di Nusantara ini.
Syeh Subakir : Jika berkenan, tolong ceritakan bagaimana kapitayan yang ada di Tanah Jawa ini.
Sabdopalon : Secara ringkas Kepercayaan Jawa begini. Manusia Jawa sejak dari jaman para leluhur dahulu kala meyakini ada Sang Maha Kuasa yang bersifat ‘tan keno kinoyo ngopo’, tidak bisa digambarkan bagaimana keadaannya. Dialah pencipta segala-galanya. Bawono Agung dan Bawono Alit. Jagad besar dan jagad kecil. Alam semesta dan ‘alam manusia’. Wong Jowo meyakini bahwa Dia Yang Maha Kuasa ini dekat. Juga dekat dengan manusia. Dia juga diyakini berperilaku sangat welas asih.
Dia juga diyakini meliputi
segala sesuatu yang ada. Karena itu masyarakat Jawa sangat menghormati alam
sekelilingnya. Karena bagi mereka semuanya mempunyai sukma. Sukma ini adalah
sebagai ‘wakil’ dari Dia Yang Maha Kuasa itu.
Jika masyarakat Jawa
melakukan pemujaan kepada Sang Pencipta, mereka lambangkan dengan tempat yang suwung.
Suwung itu kosong namun sejatinya bukan kosong namun berisi SANG MAHA ADA.
Karena itu tempat pemujaan orang Jawa disebut Sanggar Pamujan. Di salah satu
bagiannya dibuatlah sentong kosong (tempat atau kamar kosong) untuk arah
pemujaan. Karena diyakini bahwa dimana ada tempat suwung disitu ada Yang Maha
Berkuasa.
Syeh Subakir : Nah itulah juga yang menjadi ajaran agama yang kami bawa. Untuk memberi ageman (pegangan atau pakaian) yang menegaskan itu semua. Bahwa sejatinya dibalik semua yang maujud ini ada Sang Wujud Tunggal yang menjadi Pencipta, Pengatur dan Pengayom alam semesta. Wujud tunggal ini dalam bahasa Arab disebut Al Ahad. Dia maha dekat kepada manusia, bahkan lebih dekat Dia daripada urat leher manusianya sendiri. Ajaran agama kami menekankan budi pekerti yang agung yaitu menebarkan welas asih kepada alam gumebyar, kepada sesama sesama titah atau makhluk.
Lihatlah Sang Danyang,
betapa sudah rusaknya tatanan masyarakat Majapahit sekarang. Bekas-bekas perang
saudara masih membara. Rakyat kelaparan. Perampokan dan penindasan ada
dimana-mana. Ini harus diperbaharui budi pekertinya.
Sabdopalon : Aku juga sedih sebenarnya memikirkan
rakyatku. Tatanan sudah bubrah. Para pejabat negara sudah lupa akan dharmanya.
Mereka salin sikut untuk merebutkan jabatan dan kemewahan duniawi. Para pandito
juga sudah tak mampu berbuat banyak. Orang kecil salang tunjang (bersusah
payah) mencari pegangan. Jaman benar-benar jaman edan.
Syeh Subakir : Karena itulah mungkin Sang Maha Jawata Agung menyuruh Sultan Muhammad Turki untuk mengutus kami ke sini. Jadi, wahai Sang Danyang Tanah Jawa, ijinkanlah kami menebarkan wewarah suci ini di wewengkon (wilayah) kekuasaanmu ini.
Sabdopalon : Baiklah jika begitu. Tapi dengan syarat -syarat yang harus kalian patuhi.
Syeh Subakir : Apa syaratnya itu wahai Sang Danyang Tanah Jawa ?
Sabdopalon : Pertama, Jangan ada pemaksaan agama, dharma atau kepercayaan. Kedua, Jika hendak membuat bangunan tempat pemujaan atau ngibadah, buatlah yang wangun (bangunan) luarnya nampak cakrak (gaya) Hindu Jawa walau isi dalamannya Islam. Ketiga, jika mendirikan kerajaan Islam maka Ratu yang pertama harus dari anak campuran. Maksud campuran adalah jika bapaknya Hindu maka ibunya Islam. Jika bapaknya Islam maka ibunya harus Hindu. Keempat, jangan jadikan Wong Jowo berubah menjadi orang Arab atau Parsi. Biarkan mereka tetap menjadi orang Jawa dengan kebudayaan Jawa walau agamanya Islam. Karena agama setahu saya adalah dharma, yaitu lelaku hidup atau budi pekerti. Hati-hati jika sampai Orang Jawa hilang Jawanya, hilang kepribadiannya, hilang budi pekertinya yang adiluhung maka aku akan datang lagi. Ingat itu. Lima ratus tahun lagi jika syarat - syarat ini kau abaikan aku akan muncul membuat goro-goro.
Syeh Subakir : Baiklah. Syarat pertama sampai keempat aku setujui. Namun khusus syarat keempat, betapapun aku dengan kawan-kawan akan tetap menghormati dan melestarikan budaya Jawa yang adiluhung ini. Namu jika suatu saat kelak karena perkembangan jaman dan ada perubahan maka tentu itu bukan dalam kuasaku lagi. Biarlah Gusti Kang Akaryo Jagad yang menentukannya.
Itulah dialog yang terjadi antara Syekh Subakir dan Sabda Palon, artikel ini jangan kita telan mentah-mentah, akan tetapi ada hikmah dan pesan yang dapat kita ambil dari dialog tersebut, bahwa penyebaran agama Islam tidak pernah di lakukan dengan paksaan di tanah Jawa, serta tidak membuang adat dan kebudayaan yang telah ada dan di jalankan oleh masyarakat jawa, asal tidak bertentangan dengan agama. Mungkin karena dialog ini para ulama menyebarkan agama Islam dengan kearifan lokal sehingga agama Islam dapat di terima oleh masyarakat jawa dan menjadi agama mayoritas yang di anut oleh orang Jawa.
Yang sangat jelas bahwa kisah tersebut mengandung filsafat yang sangat luar biasa dan sangat relevan sampai saat ini, bahwa penyebaran agama tidak boleh dengan paksaan, menyaring segala bentuk faham, ideologi, budaya luar yang masuk ke tanah Jawa agar orang jawa tidak hilang jawanya, yang akan terus mempertahankan adat dan tradisi sampai kapanpun.
0 komentar:
Posting Komentar