Jika kita membicarakan adat, budaya dan kepercayaan orang jawa memang tidak ada habisnya. Sejarah masyarakat jawa tak terlepas dari cerita-cerita, kepercayaan dan filsafat yang sangat menarik yang membuat kita semakin penasaran jika kita mempelajarinya.
Berikut ini adalah cuplikan dalam buku legendariss karya antropolog kondang asal Amerika Serikat Clifford Geertz dalam bukunya yang sangat fenomenal: Agama Jawa --Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa.
Pada tulisan ini kita akan mengkaji dunia batin orang Jawa dengan sangat menarik, yakni 'Kepercayaan Terhadap Makhluk Halus'. Bagi pembaca yang suka kisah horor dan aneka tayangan hantu atau makhluk halus lainnya, tentu saja menjadi penting dan menarik.
Ada banyak versi mitos penciptaan Jawa, Babad Tanah Jawi. Dalam sebuah dongeng yang biasanya dikisahkan oleh dalang dalam pementasan wayang kulit cerita tersebut dimulai dengan tokoh Semar, pelawak wayang kulit yang lucu dan bijak serta pahlawan kebudayaan Jawa yang tersohor, yang berbicara kepada seorang pendeta Hindu-Muslim, orang pertama dari rangkaian panjang kolonis Pulau Jawa.
Pendeta itu berkata kepada Semar: “Ceritakan kepadaku kisah Pulau Jawa sebelum ada manusia”. Semar menjawab bahwa pada masa itu seluruh pulau diselimuti oleh hutan belantara, kecuali sebidang kecil sawah tempat Semar bertanam padi di kaki Gunung Merbabu (sebuah gunung berapi di Jawa Tengah), tempat ia hidup tenang bertani selama puluhan ribu tahun.
“Apakah kau ini?” tanya pendeta itu keheranan. “Apakah kau ini manusia? Umurmu bukan main panjangnya! Aku tak pernah menjumpai orang yang berumur puluhan ribu tahun! Itu tidak mungkin! Tentu kau bukan manusia. Bahkan Nabi Adam hanya berusia 1.000 tahun! Makhluk apa kau ini? Akui saja yang sebenarnya!”
“Sebenarnya”, kata Semar, “aku bukan manusia, aku adalah makhluk halus yang menjaga—danyang—Pulau Jawa. Aku adalah makhluk halus yang tertua, raja serta nenekmoyang semua makhluk halus dan melalui mereka, menjadi raja seluruh manusia”. Dengan nada yang berubah, ia melanjutkan,
“Tetapi aku juga mempunyai sebuah pertanyaan untukmu. Mengapa kau hancurkan negeriku? Mengapa kau datang ke sini dan mengusir anak cucuku? Makhluk-makhluk halus itu, yang kalah oleh kekuatan spiritual dan ilmu agamamu, secara perlahan dipaksa melarikan diri ke kawah-kawah gunung berapi atau ke dasar Laut Selatan. Mengapa kau lakukan ini?”
Pendeta itu pun menjawab, “Aku diperintahkan oleh raja Rome (sebuah negeri Arab di sebelah barat India) untuk mengisi pulau ini dengan umat manusia. Aku harus membabat hutan untuk dijadikan persawahan, membangun desa dan memukimkan 20.000 orang di sini sebagai kolonis. Ini adalah titah rajaku dan kau tak bisa menghentikannya. Namun, makhluk-makhluk halus yang mau melindungi kita akan tetap boleh tinggal di Jawa; aku akan menentukan apa yang harus kalian kerjakan.”
Ia melanjutkan pembicaraan dengan menggambarkan garis besar seluruh sejarah bakal Jawa sampai dengan zaman modern dan menjelaskan peran Semar dalam proses itu, yakni sebagai penasihat spiritual serta pendukung ghaib dari semua raja dan pangeran yang akan datang—yaitu terns menjadi ketua danyang di Jawa.
Dengan demikian, paling tidak dalam versi ini, dongeng orang Jawa dalam Babad Tanah Jawi (“pembersihan Jawa”) lebih patut disebut mitos kolonisasi daripada mitos penciptaan, yang memang tidak mengherankan, mengingat sejarah Jawa yang terus menerus mengalami “invasi” orang-orang Hindu, Islam dan Eropa.
Mbabad berarti membersihkan sebidang hutan belantara untuk diubah menjadi sebuah desa lengkap dengan sawahnya, membangun pulau kecil pemukiman manusia di tengah lautan makhluk halus yang menghuni hutan. Meski demikian, istilah itu kini juga dipakai untuk persiapan umum mengolah sawah (membajak, meratakan tanah dengan garu dan sebagainya) yang hams dilakukan orang dalam masa awal siklus tanam padi setiap tahunnya.
Gambaran yang disampaikan oleh mitos itu adalah mengenai masuknya para pendatang baru yang mendorong makhluk-makhluk halus jahat ke gunung, ke tempat-tempat liar yang belum dijamah dan Lautan Hindia, sementara mereka bergerak dari utara ke selatan, sambil mengangkat beberapa makhluk halus yang mau menolong Sebagai pelindung mereka dan pemukiman baru mereka.
Nama yang lazim untuk makhluk halus dengan tempat tinggal tetap yang mungkin membantu keinginan orang adalah demit. Walaupun di sini, orang lagi-lagi tidak konsisten, mereka cenderung menggunakan istilah seperti demit, danyang, lelembut dan setan, baik dalam pengertian luas maupun sempit, untuk menyebut makhluk halus pada umumnya dan subjenis makhluk halus tertentu secara khusus.
Demit dalam arti sempit tinggal di tempat-tempat keramat yang disebut punden, yang mungkin ditandai oleh beberapa reruntuhan Hindu (mungkin sebuah patung kecil yang sudah rusak), pohon beringin besar, kuburan tua, sumber air yang nyaris tersembunyi atau kekhususan topografis semacam itu.
Ada sejumlah punden semacam itu di daerah Mojokuto; di berbagai pohon yang sangat besar atau berbentuk aneh, di berbagai reruntuhan Hindu yang tersebar di sana-sini. Akan tetapi, yang paling terkenal, paling sering dipuja dan dianggap paling berkuasa, adalah makhluk halus yang tinggal di pusat kota Mojokuto, di pinggir alun-alun, namanya Mbah Buda, yang secara harfiah berarti “Kakek Buddha”, tetapi “Buddha” di sini tidak merujuk ke “Gautama”. Ia hanya menunjuk pada kenyataan bahwa tempat tinggalnya yang keramat ditandai dengan sebuah peninggalan Hindu-Buddha.
Tempat keramat itu, ditutup dengan pagar putih yang kuat, terletak di kaki sebuah pohon beringin yang lebat dan terdiri atas patung Ganesha—dewa kebijaksanaan agama Hindu yang berbentuk gajah—berukuran kecil dan setinggi kaki. Ada sebuah kisah tentang tempat itu. Dahulu kala, “pada zaman Buddha”, Sultan Solo, ibukota kerajaan Jawa Tengah, sedang berperang dengan raja Madura. Sultan Solo menang dan mengejar raja Madura yang melarikan diri, ke arah utara serta timur, ke tempat asal raja Madura.
Namun, bagaimanapun asal-usulnya, yang jelas patung Ganesha itu sekarang dihuni oleh demit. Patung itu pernah dipindahkan ke Bragang, kurang lebih 24 kilometer jauhnya, tetapi ia kembali dengan kekuatannya sendiri. Pada sebuah kejadian lain, seorang kontrolir Belanda (pejabat Eropa paling bawah dalam birokrasi kolonial) yang ditugaskan di Mojokuto memukul patung Ganesha itu—tentu untuk menghina alat peribadatan para penyembah berhala—tetapi satu minggu kemudian, ia meninggal dengan leher patah. Dan dalam jangka waktu satu tahun, semua keluarganya menyusul ke alam baka.
Kalau seseorang menginginkan Mbah Buda mengabulkan hajatnya, ia harus pergi ke tempat keramat itu—sekalipun beberapa mengatakan bahwa orang bisa melakukannya di rumah—meminta pengampunan serta maaf dari demit itu dan beijanji akan mengadakan slametan untuk menghormati demit itu apabila permohonannya dikabulkan.
Apa yang sangat penting bagi keberhasilan permohonan itu adalah mengharap dengan sungguh-sungguh, memohon dengan pikiran tunggal dan tak tergoyahkan serta tidak memikirkan hal lain sampai permohonannya dikabulkan.
Seorang pemohon membandingkannya dengan tangisan anak kecil yang menginginkan sesuatu: “Tetapi Anda tidak menangis di luar, Anda menangis di dalam, di hati Anda; Anda hams betul-betul menginginkannya seolah-olah Anda akan mati kalau permohonan Anda tidak dipenuhi; kalau keinginan Anda begitu kuat dan begitu lama, maka hampir dapat dipastikan keinginan Anda itu akan terpenuhi”.
Yang biasa diinginkan orang adalah pulihnya kesehatan dirinya atau keluarganya, atau mungkin untuk menemukan sebuah benda yang hilang atau meminta keselamatan seseorang dalam perjalanan yang memakan waktu lama. Ada perbedaan pendapat tentang bisa tidaknya orang mengharapkan hal-hal seperti menang judi, meminta gong baru untuk orkes gamelannya, atau agar cintanya pada isteri orang lain kesampaian.
Beberapa orang berpendapat bahwa Mbah Buda hanya mempertimbangkan permohonan yang serius; tetapi jelas orang terkadang meminta berkah yang agak kurang mulia;
Sumber : Buku AGAMA JAWA : Abangan, Santri, Priyayi, Dalam Kebudayaan Jawa Karya CLIFORD GEERTZ
0 komentar:
Posting Komentar