Pasca 1965, perburuan terhadap anggota atau simpatisan PKI terjadi di mana-mana. Sangat jarang anggota PKI yang sanggup memberikan perlawanan. Perkecualian terjadi di beberapa tempat yang terbatas, seperti Madiun dan Blitar selatan. Selebihnya: para anggota PKI dan simpatisannya, maupun yang dituduh, dengan mudah ditangkap. Sebagian dipenjara dan dibuang ke Pulau Buru, sisanya diburu sampai mati, dihabisi.
Salah satu kisah menarik pasca 1965 adalah tentang Mbah Suro. Saat para anggota dan simpatisan PKI kebanyakan lari dan bersembunyi, ia malah mendirikan padepokan yang kemudian didakwa menampung pelarian PKI.
Waktu muda, Muljono juga ikut revolusi. Muljono, menurut Hersri Setiawan dalam Kamus Gestok (2003), adalah anggota pasukan Brigade Yadau dari Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI). Menurut Ramelan, dalam buku Mbah Suro Nginggil: Kisah Hantjurnja Petualangan Dukun Klenik Mbah Suro (1967), pemuda lulusan Sekolah Rakjat ini berpangkat sersan di masa revolusi. Komandan brigadenya, Ahmad Wiro Sardjono alias Ahmad Yadau, adalah tokoh militer yang punya peran dalam Kudeta Madiun 1948. Muljono alias Surodihardjo lahir di desa Nginggil pada 17 Maret 1921. Muljono dibesarkan tidak begitu jauh dari tempat tinggal orang-orang Samin di Blora.
Buku Kisah Njata Hantjurnja Mbah Suro (1967) yang diterbitkan oleh Andalusi, menyebut: “Muljono mempunyai 6 orang adik, semuanya perempuan, yaitu Surip, Suti, Sudji, Surem, Sumi dan Kaminah.” Soal sifatnya, Muljono disebutkan: “Sejak kecilnya pemuda Muljono itu mbandel, pemalas, sangat bodoh di sekolahnya.” Kemalasan itu bisa jadi karena ia tidak dibesarkan dalam kemiskinan. Ayahnya, Resosemito, adalah seorang kepala desa. Pada masa kolonial, menjadi kepala desa adalah privilese tersendiri, menempati kelas sosial yang berbeda dari kebanyakan, dan hidup relatif berkecukupan. Seperti ayahnya, Muljono kelak juga pernah jadi kepala desa Nginggil. Muljono, menurut Ramelan, jadi kepala desa lebih dari 16 tahun. Ia menjabat kepala desa hingga 31 Juli 1962. Dia mulai jadi kepala desa sekitar1946. Jadi sebelum Kudeta Madiun 1948, Muljono sudah pulang kampung. Jadi kepala desa tentu membuatnya lebih banyak tinggal di desanya. Posisinya sebagai kepala desa membuatnya jadi orang terpandang. Banyak perempuan rela diperistri. Setidaknya, menurut buku terbitan Andalusia, perempuan-perempuan bernama Sumini, Munatun, Samidjah, Rukmini dan Suwarni, pernah jadi istrinya. Ketika masih jadi kepala desa, Muljono sudah merintis diri jadi dukun. Menurut Reports Service: Southeast Asia series (1967), Muljono memulainya sejak 1952, tetapi baru tahun 1959 dia sepenuhnya mulai mendapat pengakuan sebagai ahli kebatinan, guru juga orang sakti.
“Muljono dibebaskan dari tugasnya sebagai lurah (kepala desa), karena sesuatu urusan. Kata orang ia terlibat dalam suatu penyerobotan tanah-tanah milik Jawatan Kehutanan,” tulis Ramelan. Setelah lengser pada 1962, dia sepenuhnya dukun dan panggilannya adalah: Mbah Suro. “Pergantian nama baru menjadi Mbah Suro, diikuti dengan penampilannya memelihara kumis tebal dan rambut panjang,” tulis Hendro Subroto dalam Sintong Pandjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009). Selain kegiatan kleniknya, dia juga dianggap menyebarkan ajaran Djawa Dipa. Sebagai dukun, dia memberi banyak jampi-jampi dan jimat. Jimatnya dipercaya membuat orang-orang jadi kebal senjata tajam juga senjata api. Padepokan Pasca 1965 Pasca 1965, desa Nginggil mendadak ramai. Banyak orang berkunjung, jumlahnya hampir ribuan.
Padepokan itu kemudian dianggap membahayakan. Kala itu sedang ramainya pengejaran terhadap orang-orang yang dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Diperkirakan padepokan Mbah Suro juga didatangi pelarian PKI. Kelompok Mbah Suro, menurut Soegiarso Soerojo dalam Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai (1988), “Berani memproklamasikan kembalinya PKI pada tanggal 3 Maret 1967 dengan menetapkan Suradi, anggota CDB Jawa Timur, sebagai cantriknya dengan dibantu beberapa anggota eks PKI lainnya, seperti Mulyono, Legi, Suyoto Kobra, dan Suyitno.” Di dalam kelompok Mbah Suro, ada juga mantan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Beberapa pucuk senjata berhasil dibawa mantan-mantan ABRI itu. Dalam kelompok Mbah Suro itu, terdapat beberapa pasukan yang dinamai macam-maca: Banteng Wulung dan Banteng Sarinah.
Menurut Singgih Trisulistya dalam "Lembaran Hitam dalam Sejarah Hutan Jati" yang termaktub dalam buku Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional: Bagian II (2012), jumlah pengikut aliran kebatinan Mbah Suro ditaksir mencapai jumlah sekitar 500.000. Jumlah yang agak ganjil karena sebuah desa rasa-rasanya sulit menampung orang-orang yang jumlahnya ratusan ribu itu. Menurut Hersri, pasukan Banteng Wulung jumlahnya 200 orang sedangkan pasukan perempuan jumlahnya hanya 30 orang. Tak menutup kemungkinan jumlahnya lebih namun hanya ukuran ratusan orang. Menurut tulis Solemanto dkk., dalam Feisal Tanjung, Terbaik Untuk Rakyat Terbaik Bagi ABRI (1999), “Orang- orang yang tidak sealiran atau dianggap musuh, tanpa ampun dibunuh oleh pasukan-pasukan ini.” “Melihat perkembangan (padepokan) Mbah Suro ditunggangi oleh PKI, Panglima Kodam VII/Diponegoro memerintahkan penutupan padepokan itu.
Pangdam terpaksa memerintahkan agar penutupan dilakukan dengan jalan kekerasan, karena segala upaya jalan damai yang ditempuh telah menemui jalan buntu,” tulis Hendro Subroto. Menyerbu Padepokan Mbah Suro Dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), Letnan Dua Sintong Pandjaitan hendak ikut dalam penyerbuan Mbah Suro yang terkenal sakti itu. Karena Sintong hendak dikirim ke Papua, ia pun tidak jadi berangkat. Akhirnya hanya ada pasukan dari Kompi yang dipimpin Letnan Satu Feisal Tanjung. Dalam misi menyerbu Mbah Suro pada 5 Maret 1967 itu, pasukan RPKAD dibantu pasukan Angkatan Darat yang lain. Seperti dari Batalyon 408, 409 dan 410. Operasi itu dipimpin Mayor Soemardi. “Setelah mengamati kekuatan lawan, dalam waktu relatif singkat, Feisal memerintahkan anak buahnya melakukan serbuan mendadak, langsung ke sasaran. Serbuan tersebut memporakporandakan anak buah Mbah Suro,” tulis Solemanto dkk.
Dalam serbuan itu banyak pengikut Mbah Suro terbunuh. Mbah Suro sendiri ditangkap dan tak ada rimbanya lagi. Mbah Suro ditembak ketika hendak kabur di tepi Bengawan Solo. Dalam operasi militer ini, RPKAD, menurut Ramelan, kehilangan tiga prajurit yakni: Sersan Dua Soerkarno, Kopral Satu Herdi dan Kopral Satu Darmanto. Sementara Kopral Satu Biman dan Prajurit Suwito luka berat. Pasukan RPKAD meninggalkan Nginggil pada pukul 17.45 sore. Dari 80 anggota banteng Wulung yang terbunuh, hanya 4 orang saja yang betul-betul asli desa Nginggil.
Sumber : tirto.id
0 komentar:
Posting Komentar