Setelah proklamasi kemerdekaan
tahun 1945, Indonesia belum benar-benar bebas dari penjajahan. Belanda yang
pernah menjajah Indonesia selama tiga setengah abad ingin kembali berkuasa di
Indonesia. Awalnya Belanda dan Indonesia melakukan perundingan damai, hingga
bulan november 1948 perundingan masih
terus berlanjut. Menteri Luar Negeri Belanda D.U. Stikker datang langsung ke
Yogyakarta dan berunding dengan Bung Hatta di Kaliurang.
Stikker tetap menghendaki bahwa “Wakil Tinggi Kerajaan Belanda di dalam
Negara Federal Sementara selama masa peralihan harus memiliki kekuasaan penuh.”
Tetapi Bung Hatta yang di dukung oleh Bung Karno dan Jendral Soedirman, dengan
tegas menolak campur tangan Belanda dalam urusan Intern Republik. Belanda terus
menuduh Indonesia melanggar gencatan senjata sedangkan di pihak Indonesia juga
menuduh bahwa Belanda telah melanggar kesepakatan. Akibatnya, perundingan ini
menemui jalan buntu, lalu utusan Belanda itu pulang kembali ke Negara asalnya.
Pada tanggal 11 desember 1948
suasana kedua Negara semakin memanas, delegasi Belanda mengirim nota kepada
Komisi Tiga Negara yang mengatakan Belanda tidak mungkin berunding dengan
Indonesia. karena itu, Belanda akan membentuk sendiri pemerintahan interim di
Indonesia. Sementara itu Wakil RI di PBB mendesak Dewan Keamanan PBB untuk
menempatkan lagi perselisihan Indonesia-Belanda dalam agenda.(Soeharto:Pikiran,Ucapan,
dan Tindakan Saya hal:56)
Keadaan memanas itu akhir meletup,
pada tanggal 19 desember 1948 Belanda melancarkan Agresi ke II dengan menyerang
Yogyakarta melalui Maguwo dan berhasil masuk
ke Yogyakarta. Perlawanan kecil saat itu sempat dilakukan, karena sebelum
penyerangan para prajuritTNI telah ditarik keluar kota. Sehingga Letkol Soeharto selaku Komandan Brigade 10/Wehrkreise III
kala itu tak mampu berbuat banyak dikarenakan hanya memiliki satu kompi, yakni
kompi pengawal kompi brigade dan pengawal presiden. Yogyakarta adalah ibukota republik
saat agresi Belanda dan komando yang ada disana hanya Komando Militer Kota
sehingga Belanda mampu menduduki ibukota Indonesia. Setelah berhasil menduduki
Yogyakarta, Bung Karno dan Bung Hatta yang sedang berada di Yogyakarta berhasil
ditangkap. Setelah penangkapan, Bung Karno dan Bung Hatta di asingkan ke
Prapat, Sumatera. (Soeharto:Pikiran,Ucapan, dan Tindakan Saya hal:57)
Rakyat seakan kehilangan kepercayaan kepada TNI, hal ini
wajar karena mereka menyaksikan begitu mudahnya Belanda masuk ke dalam Ibukota.Serangan penjajah Belanda melalui
Agresi Militer II membuat kondisi Indonesia dalam kesulitan. Bahkan, sebagai
propaganda, Belanda mengumumkan jika TNI sudah tidak ada. Saat itu mulai dari
presiden, wakil predisen, dan anggota kabinet tidak mampu berbuat banyak.
Karena memang Yogyakarta memiliki pengaruh yang besar sebagai ibukota republik.
Situasi Yogyakarta sebagai ibu kota negara saat itu sangat tidak kondusif.
Keadaan tersebut diperparah propaganda Belanda di dunia luar bahwa tentara
Indonesia sudah tidak ada. Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Raja Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat mengirimkan surat kepada Letnan Jenderal Soedirman
untuk meminta izin diadakannya serangan. Jenderal Sudirman menyetujuinya dan
meminta Sri Sultan HB IX untuk berkoordinasi dengan Letkol Soeharto yang saat
itu menjabat sebagai Komandan Brigade 10/Wehrkreise III.(kemdikbud.go.id)
Para prajurit TNI tetap melakukan
perlawan secara Gerilya dengan masuk ke
hutan-hutan. Ketika perlawanan terjadi di pinggiran kota sebelah tenggara,
tepatnya dikampung nyutran, Soeharto bertemu dengan Widodo. Widodo saat itu
adalah Komandan Kompi dari Batalyon Sardjono yang ada di Purwerejo, Soeharto
lalu memerintahkan agar Pasukannya ditarik ke Yogyakarta karena Belanda telah
menguasai ibukota. Widodo diperintahkan untuk menyusun sektor selatan untuk
melakukan penyerangan ketika ada intruksi dari Soeharto. Setelah pembicaraan
itu Widodo pergi ke Ngotho sedangkan Soeharto berusaha mendatangi semua pasukan
di dekat Yogyakarta.
Ketika Malam tiba, Soeharto
bergerak ke Sektor Barat dan bertemu Mayor Ventje Sumual. Kemudian Soeharto menunjuknya
sebagai pemimpin Sektor barat. Sumual pun ditugaskan untuk menghimpun semua
pasukan bersenjata di daerahnya. Soeharto lalu bergerak ke arah utara dan
bertemu pasukan Militer Akademi. Di sektor ini yang ditunjuk adalah Mayor
Kasno, dengan tugas yang sama seperti sektor lainnya dengan melakukan
serangan-serangan kecil sambil menunggu serangan umum. Pada pertengahan januari
sektor di kota telah terbentuk dengan Letnan Marsudi sebagai pimpinannya.
Dipertengahan Februari serangan
pendahuluan di adakan, para pejuang menyerang pos-pos yang ada di luar kota
untuk mengelabui perhatian Belanda. Serangan Umum dilakukan pada tanggal 1
maret 1949 dengan janur kuning sebagai tanda pengenal. Ketika sirene akhir jam
malam berbunyi tanggal 28 februari, terdengar ledakan dan gencatan senjata.
Ternyata Letnan Komarudin telah salah hitung, Belanda masih menduga serangan-serangan
ini sama seperti serangan sebelumnya. Para prajurit terus menyerang pos-pos di
luar kota, sehingga Belanda mengirim pasukan ke pos-pos di luar kota.(Soeharto:Pikiran,Ucapan,
dan Tindakan Saya hal:61)
Tepat pukul 06.00 pada
tanggal 1 maret 1949 bersamaan dengan
sirene akhir jam malam, terdengar gemuruh tembakan di seluruh kota. Dari
berbagai arah para prajurit menyerang, karena memang prajurit telah menyusup
sebelum sirene akhir jam malam. Dan ketika sirene berbunyi, para pasukan telah
berada di depan garis pertahanan Belanda. Pihak Belanda tentu terkejut dengan
serangan dadakan itu, termasuk kolonel van langen yang baru bangun dari
tidurnya. Letkol Soeharto memimpin penyerangan
menuju ke Malioboro. Sementara itu, Letkol Ventje Sumual, Mayor Sardjono , dan
Mayor Kasno memimpin di sektor lainnya. Dalam waktu singkat seluruh kota telah dikuasai, bendera Merah Putih
dikibarkan di Jalan Malioboro dan beberapa tempat lain. Teriakan Merdeka!!
terdengar dari Suara rakyat setelah berkibarnya bendera merah putih.
Pihak Belanda tentu tidak tinggal
diam, kolonel Van Langel menghubungi pasukan bala bantuan dari semarang.
Yogyakarta telah di duduki selama enam jam, ketika bala bantuan Belanda datang
para prajurit telah mundur. Berita serangan 1 maret ini kemudian diberitakan ke
luar negeri melalui Sumatera yang tentu saja menggetarkan orang-orang yang ada
disidang PBB. Serangan itu membuktikan bahwa Indonesia masih mampu melawan dan
meyakinkan bahwa Indonesia mampu berdiri sebagai sebuah Negara yang merdeka.
Dalam buku Sejarah
Indonesia Modern:
1200-2004 (2005) karya M.C Ricklefs,
keberhasilan Indonesia melancarkan Serangan Umum 1 Maret 1949 mampu membuka
pandangan dunia internasional bahwa eksistensi Indonesia masih kuat. Selain
itu, Indonesia juga diuntungkan dengan kecaman dunia internasional terhadap peristiwa
Agresi Militer Belanda II. Pada perkembangannya, Belanda mendapat tekanan dari
Amerika Serikat dan PBB untuk mulai memberi pengakuan kedaulatan dan penyerahan
kekuasaan pada Indonesia dalam perjanjian damai Roem Royen dan Konferensi Meja
Bundar.
Meski Serangan Umum 1 Maret 1949 berhasil memukul Belanda dari Kota
Yogyakarta saat itu, tetapi ada kontroversi seputar peran Letkol Soeharto.
Dalam buku sejarah era Orde Baru, Letkol Soeharto tercatat sebagai inisiator
dan pemimpin pertempuran. Namun
berkebalikan dengan kesaksian Abdul Latief, anak buah Letkol Soeharto saat itu.
Dalam tulisannya “Laporan tentang Dewan Jenderal kepada Jenderal Soeharto” yang
diunggah pada laman penerbit HastaMitra, mengatakan jika Soeharto sedang
bersantai makan soto babat bersama pengawal dan ajudannya.
Latief bertemu Soeharto dengan
pasukannya yang tidak lebih dari 10 orang. Saat itu, Kapten Abdul Latief dan
pasukan yang tersisa dalam posisi kepayahan. Dua anak buahnya meninggal, 12
lainnya terluka. Sementara itu terdapat 50 pemuda laskar gerilya yang juga
gugur di medan perang dan dimakamkan di dekat Stasiun Tugu Yogyakarta. Pasukan
pimpinan Latief kembali ke markas gerilya yang ada di Kuncen, barat Kota
Yogyakarta. Tidak disangka di sana ia bertemu Komandan Wehrkreise Letkol
Soeharto sedang makan soto.
Selain itu, dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 juga tidak terlalu menonjolkan peran Sultan HB IX. Menurut Krishna Sen dalam Indonesian Cinema: Framing the New Orde (1994), sang raja hanya menjadi pengamat pasif. Padahal, beliau cukup aktif menunjukkan perhatian dan simpatinya dalam usaha tentara melawan penjajah Belanda. (tirto.id)
Salah satu sejarawan, Asvi Warman mengkritik juga mengkritik
dominasi peran Soeharto tersebut. Berdasarkan fakta-fakta yang ada, Soeharto
yang saat itu berpangkat Letnan Kolonel jelas tidak mungkin menginisiasi
Serangan Umum 1 Maret. Ia yakin bahwa inisiator sesungguhnya pasti Sultan
Hamengkubuwono IX. Sedangkan Soeharto hanya pelaksana lapangan.
Dalam buku karya Mahpudi Cs, Soerjono yang berjudul 'Pak Harto
Untold Stories' disebutkan bahwa Serangan Umum 1 Maret telah sangat
dipersiapkan secara matang. Mahpudi Cs, Soerjono adalah salah satu staf Letkol
Soeharto kala itu. Soerjono mengaku bahwa dirinya telah ikut dengan Soeharto
bergerilya di hutan-hutan sebelum peristiwa Serangan Umum 1 Maret. Bahkan ia
mengatakan bahwa Soeharto selalu tampil di depan saat bertempur melawan
Belanda.
"Pada saat itu, Pak Harto seolah-olah memiliki kekuatan mental
yang luar biasa. Boleh percaya atau tidak, tetapi Pak Harto seperti tidak
mempan ditembak. Pak Harto selalu di barisan depan jika menyerang atau diserang
Belanda. Saya sering diminta menempatkan posisi diri di belakang beliau,"
ujar Soerjono di halaman 99 buku tersebut. "Saya ingat kata-kata Pak
Harto, kalau takut mati tidak usah ikut perang," tambahnya. Soerjono pun
menyayangkan beberapa orang yang meragukan peranan Soeharto dalam Serangan Umum
1 Maret tersebut. Ia berpendapat bahwa orang-orang tersebut mempersoalkan
karena tak menyukai Soeharto. "Saya sendiri merasakan keikhlasan Pak Harto
pada saat perang dan terus berjuang membangun Indonesia ini. kelak generasi
penerus akan melihat nilai-nilai positif yang sudah pasti di Lakukan Soeharto
untuk Indonesia," terangnya.(merdeka.com)
Namun yang terpenting adalah
perjuangan Indonesia demi mempertahankan kemerdekaan agar menjadi Negara
merdeka setelah melalui banyak perjuangan. Saling bahu membahu dari semua
kalangan masyarakat dengan bersatu dalam satu tujuan, yaitu merdeka.Jika kita
berkunjung ke Kota Yogyakarta, di area sekitar Museum Benteng Vredeburg
terdapat sebuah monumen sebagai peringatan peristiwa bersejarah di kota
perjuangan tersebut. Monumen tersebut adalah Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949
untuk memperingati perjuangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersama rakyat
pada tanggal bersejarah tersebut.
Penyusun : Riskyrito
Editor : Argha Sena
Referensi : kemdikbud.go.id, kompas.com, merdeka.com, Soeharto:Pikiran,Ucapan, dan Tindakan Saya:tahun 1989, tirto.id
0 komentar:
Posting Komentar