Kalian pasti tahu dengan lagi ini, lagu yang sangat dilarang saat zaman Orde Baru berkuasa, lagunya bagus dari nadanya yang nyaman didengarkan serta liriknya yang mengandung cerita tentang susahnya rakyat sampai harus makan rumput yang bernama genjer. Sebenarnya terlepas dari masalah politik seni adalah seni, suatu karya manusia yang dapat kita nikmati sabagai hiburan, akan tetetapi untuk lagu satu ini mempunyai sejarah yang sangat panjang dan sampai menjadi lagu yang dilarang untuk diputar. Dalam artikel ini mari kita bahas bagaimana sejarahnya lagu Genjer-genjer sampai menjadi lagu yang terlarang.
Musik atau lagu menjadi salah satu ungkapan ekspresi seni manusia, melukiskan jejak tersendiri bagi kebudayaan manusia. Begitupula dengan lagu Genjer-Genjer yang diciptakan untuk menggambarkan situasi dan kondisi masyarakat Banyuwangi masa penjajahan Jepang. Seiring perkembangannya, lagu Genjer-Genjer yang semula merupakan lagu untuk mengisyaratkan penderitaan rakyat Indonesia mulai bergeser maknanya. Bahkan lagu Genjer-Genjer dilarang dinyanyikan pada masa Orde Baru, mungkin hingga sekarang.
Jepang yang berhasil merebut kekuasaan Belanda kemudian membuat kebijakan-kebiajkan pemerintah yang ternyata lebih kejam. Hal tersebut mengakibatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia semakin tidak mampu, bahkan berada digaris kemiskinan. Genjer yang merupakan jenis tanaman liar hidup dirawa atau persawahan biasanya digunakan untuk pakan ternak sampai harus dimakan untuk menjadi lauk saat menyantap nasi, karena hidup sangat sulit pada waktu itu. banyak rakyat yang kelaparan sehingga genjerpun akhirnya dimakan. Akan tetapi sampai saat ini genjer masih menjadi makanan favorit bagi sebagian orang, ditumis dengan ikan asin atau teri, dijadikan lalapan, dan berbagai olahan lainnya.
Adalah Muhammad Arief seorang seniman Using masyhur dari Banyuwangi yang aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Lekra ini dikenal sebagai organisasi underbow atau organisasi sayap dari PKI. Lekra didirikan pada bulan Agustus 1950 sebagai respons terhadap Gerakan Gelanggang sosial-nasionalis, dengan A.S. Dharta sebagai sekretaris jenderal pertama. Dengan menerbitkan Mukadimah, yang berarti "pengantar", sebagai panggilan nyata bagi orang-orang muda, terutama seniman dan penulis, untuk membantu dalam membangun republik rakyat demokratis. Pada 1942, Muhammad Arief menciptakan lagu "Genjer-Genjer" sebagai gambaran kondisi warga Banyuwangi saat penjajahan Jepang. Sebelum penjajahan Jepang, genjer (Limnocharis flava) adalah tumbuhan untuk makanan ternak. Ketika Jepang jadi penjajah, banyak warga kelaparan dan terpaksa memakan tumbuhan yang awalnya dianggap hama itu. Beberapa liriknya berbunyi seperti ini:
Emake jebeng padha tuku nggawa welasah
(Ibu si gadis membeli genjer sembari membawa wadah-anyaman-bambu)
Genjer-genjer saiki wis arep diolah
(Genjer-genjer sekarang akan dimasak)
Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
(Genjer-genjer masuk periuk air mendidih)
Setengah mateng dientas ya dienggo iwak
(Setengah matang ditiriskan untuk lauk)
Sego sak piring sambel jeruk ring pelanca
(Nasi sepiring sambal jeruk di dipan)
Genjer-genjer dipangan musuhe sega
(Genjer-genjer dimakan bersama nasi)
“Genjer-Genjer” menjadi populer ketika dinyanyikan ulang oleh Bing Slamet, juga Lilis Suryani pada tahun 1962. Pada masa pemerintahan Sukarno, banyak musikus memainkan lagu ini di istana. Kepopuleran lagu ini lantas dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia untuk berkampanye. Lagu yang menggambarkan penderitaan masyarakat desa ini lantas kembali populer di kalangan akar rumput. Begitu lekatnya lagu ini dengan PKI, maka stempel sebagai lagu komunis pun melekat.
Selepas Tragedi Gerakan 30 September (G30S) yang menyeret Partai Komunis Indonesia (PKI), lagu Genjer-Genjer juga turut dicekal. Lagu Genjer-Genjer dianggap sebagai lagu PKI karena si pecipta lagu bergabung ke dalam politik PKI.
Dalam jurnal Genjer-Genjer dan Stigmanisasi Komunis (2003) oleh Paring Waluyo Utomo, kondisi sosial dan politik Indonesia pada 1960-1965 mengalami pergolakan. Berawal dari keinginan Muhammad Arief (penipta lagu Genjer-Genjer) untuk bergabung dengan Lekra. Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) adalah lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan PKI.
Lagu Genjer-Genjer kemudian diusung sebagai salah satu bukti karyanya yang berkonspe pada "seni untuk rakyat" ke publik dan kalangan politik. Sejak saat itu, lagu Genjer-Genjer mendapat tempat di hati banyak orang dan kalangan politik. Ketika lagu Genjer-Genjer disuguhkan kepada para petinggi PKI yang sedang singgah di Banyuwangi, mereka tertarik oleh lagu tersebut. Perjalanan eksistensi lagu Genjer-Genjer memang tidak bisa lepas dari kedekatannya dengan PKI. Bahkan Utan dalam bukunya mengatakan, pada tahun 1964 D.N Aidit mengklaim bahwa lagu Genjer-Genjer sebagai lagu Mars PKI.
Hal ini karena lagu Genjer-Genjer sebagai lagu pembukaan di setiap pertemuan-pertemuan PKI. Sehingga makna PKI dan ideologi komunis semakin tidak dapat dipisahkan oleh lagu Genjer-Genjer.
Dalam jurnal Genjer-Genjer: Fungsi dan Peran (2010) oleh Ruddy Eppata Cahyono, terdapat beberapa alasan kenapa lagu Genjer-Genjer dilarang, di antaranya: Bertumpu pada kedekatannya dengan PKI yang secara langsung menanamkan konsekuensi dalam lagu tersebut. Isu-isu yang beredar di kalangan umum, baik yang dibangun pemerintah maupun masyarakat luas dan Orde Baru terhadap lagu Genjer-Genjer sebagai lagu yang mengandung stigma komunis, semkain menguatkan jalan pemerintah dan masyarakat untuk menghilangkan lagu tersebut dari kancah hiburan nasional. Susunan lirik pada lagu Genjer-genjer dianggap sebagai sebuah simbol atau bermakna ganda. Dari situlah, pemerintah Orde Baru merasa perlu mencekal adanya lagu Genjer-Genjer untuk menutup langkah PKI.
Penyusun : Argha Sena
Sumber : tirto.id, kompas.com
TONTON VIDEONYA DISINI
0 komentar:
Posting Komentar