Lukisan Ilustrasi Perang Kemerdekaan
Hari ini adalah hari dalam bulan agustus, 76 tahun yang lalu negara kita merdeka dengan banyak liku-liku perjuangan yang tidak mudah. Semua pahlawan berjuang mempertaruhkan harta, tenaga, pikiran, bahkan nyawa mereka korbankan demi mendapatkan kemerdekaan untuk anak cucunya. Kita sebagai generasi penerus harus tahu dan wajib membaca untuk mengetahu jasa-jasa mereka, bagaimana sulitnya para pendahulu kita untuk mendapatkan kemerdekaan dari penjajah yang kejam tamak dan rakus.
Disetiap daerah mempunyai sejarah perjuangan yang heroik melawan penjajahan. Setiap daerah mempunyai tokoh pahlawan yang patut diteledani karena semangatnya melawan ketidakadilan penjajahan.
Kisah-kisah perjuangannya sangat patut diketahui generasi muda saat ini. Dengan begitu mereka tahu bahwa bangsa ini mempunyai tokoh yang ikhlas berjuang tanpa mengharap imbalan gaji atapun jadi komisaris atau jabatan lainnya yang strategis. Ada sangat banyak sekali tokoh pahlawan yang tidak dapat disebutkan satu persatu, dalam artikel ini kami hanya mengenalkan sebagaian kecil saja. Berikut ini adalah 10 nama tokoh Pahlawan Nasional yang berjuang di daerahnya masing-masing.
1. Cut Nya Dhien
Cut Nyak Dhien adalah seorang pahlawan nasional dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Perempuan tangguh ini dilahirkan di Lampadang, Kerajaan Aceh pada 1848 dan wafat di pengasianganya di Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908.
Setelah suaminya Teuku Umar gugur pada 11 Februari 1899 setelah bertempur menghadapi Belanda, Cut Nyak Dhien pun memilih berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama unit kecil pasukannya. Usia Srikandi Aceh ini saat itu sudah relatif tua serta kondisi tubuh yang digrogoti berbagai penyakit seperti encok dan rabun membuat satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba.
Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Keberadaan Cut Nyak Dhien yang dianggap masih memberikan pengaruh kuat terhadap perlawanan rakyat Aceh serta hubungannya dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap membuat Belanda mengasingkannya ke Sumedang hingga dia wafat dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
2. Sisingamangaraja XII
Lukisan Sisingamangaraja XII
Adalah pahlawan nasional sesuai SK Presiden RI No 590/1961. Lahir di Bakara, 18 Februari 1845. Perjuangan heroik Sisingamangaraja XII dimulai usai penobatannya sebagai maharaja di negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia Belanda.
Saat itu Belanda mengancam yang tidak mau menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatra terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya.
Di sisi lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.
Pada 1824 Perjanjian Belanda Inggris (Anglo-Dutch Treaty of 1824) memberikan seluruh wilayah Inggris di Sumatera kepada Belanda. Hal ini membuka peluang bagi Hindia Belanda untuk menganeksasi seluruh wilayah yang belum dikuasai di Sumatera.
Pada tahun 1873 Belanda melakukan invasi militer ke Aceh dilanjutkan dengan invasi ke Tanah Batak pada 1878. Raja-raja huta Kristen Batak menerima masuknya Hindia Belanda ke Tanah Batak. Sementara Raja Bakkara, Sisingamangaraja yang memiliki hubungan dekat dengan Kerajaan Aceh menolak dan menyatakan perang.
Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Sisingamangaraja XII di Bakara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba.
Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan.
Namun kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan perang pada 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.
Pada 14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari SibolgaPada tanggal 1 Mei 1878, Bangkara pusat pemerintahan Sisingamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878 dan seluruh Bangkara dapat ditaklukkan. Namun Sisingamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi.
Sementara para raja yang tertinggal di Bakara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia Belanda. Walaupun Bakara telah ditaklukkan, Sisingamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya, tetapi sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda.
Di antara tahun 1883-1884, Singamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya. Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan Belanda antara lain Uluan dan Balige pada Mei 1883 serta Tangga Batu pada 1884. Sisingamangaraja meninggal dunia di Dairi pada 17 Juni 1907. Sisingamangaraja XII dimakamkan di Tarutung, Tapanuli Utara, lalu dipindahkan ke Soposurung, Balige pada 1953.
3. Tuanku Imam Bonjol
Lukisan Tuanku Imam Bonjol
Perang Padri adalah satu perang besar terjadi di Nusantara melawan kekuatan pasukan Belanda. Adalah Tuanku Imam Bonjol yang lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat 1772 memimpin perjuang dan berperang melawan Belanda kurun waktu 1803-1838. Tuanku Imam Bonjol wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotta, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864.
Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973. Kaum Adat dan Kaum Padri akhirnya bersatu dan melawan Belanda pada awal 1833. Kedua belah pihak yang awalnya berkonflik kemudian bahu-membahu melawan Belanda.
Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an).
Pada Oktober 1837 Belanda berhasil mengalahkan kekuatan Tuanku Imam Bonjol Imam Bonjol lalu diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan lagi ke Ambon dan akhirnya ke Lotta, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu dia meninggal dunia pada 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut. Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan.
4. Bandung Lautan Api
Peristiwa Bandung Lautan Api
Bandung Lautan Api adalah peristiwa besar dan sangat bersejarah pada 23 Maret 1946. Sekitar 200.000 penduduk Bandung, Jawa Barat membakar seluruh rumah dan bangunan mereka lainnya dalam waktu tujuh jam. Hal ini mereka lakukan karena ketidakrelaannya Belanda ingin menduduki Kota Bandung dan menguasai aset bangunan dan rumah milik rakyat Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia. Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada 12 Oktober 1945. Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka menuntut agar semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR, diserahkan kepada mereka.
Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai mengganggu keamanan. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR tidak dapat dihindari. Malam 21 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumi-hangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA. Kolonel AH Nasution selaku Komandan Divisi III TRI memerintahkan evakuasi warga Kota Bandung. Rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan Kota Bandung menuju pegunungan di daerah selatan Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung. Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) juga berhasil menghancurkan gudang amunisi milik Belanda.
5. Pangeran Diponegoro
Lukisan Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro atau Pangeran Harya Dipanegara lahir di Yogyakarta Hadiningrat, 11 November 1785 dan wafat di Makassar, Sulawesi Selatan pada 8 Januari 1855 atau pada umur 69 tahun. Siapa yang tak mengenal sosoknya yang memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa selama periode tahun 1825 hingga 1830 melawan pemerintah Hindia Belanda.
Pertempuran pasukan Pangeran Diponegoro dengan Belanda tercatat menjadi pertempuran yang paling banyak menewaskan kedua belah pihak dalam sejarah Indonesia. Sekitar 8.000-an korban serdadu Hindia Belanda, 7.000-an pribumi, dan 200 ribu orang Jawa serta kerugian materi 25 juta Gulden. Perang Diponegoro atau Perang Jawa adalah adalah sikap Pangeran yang ingin melepaskan penderitaan rakyat miskin dari sistem pajak Hindia Belanda dan membebaskan istana dari madat.
Keputusan dan sikap Pangeran Diponegoro yang menentang Hindia Belanda secara terbuka kemudian mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Atas saran dari sang paman, yakni GPH Mangkubumi, Pangeran Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo dan membuat markas di Gua Selarong.
Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu.
Medan pertempuran Perang Diponegoro mencakup Yogyakarta, Kedu, Bagelen, Surakarta, dan beberapa daerah seperti Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara, Weleri, Pekalongan, Tegal, Semarang, Demak, Kudus, Purwodadi, Parakan, Magelang, Madiun, Pacitan, Kediri, Bojonegoro, Tuban, dan Surabaya.
Pasukan Pangeran Diponegoro dibagi menjadi beberapa batalyon yang diberi nama berbeda-beda, seperti Turkiya, Arkiya, dan lain sebagainya. Setiap batalyon dibekali dengan senjata api dan peluru-peluru yang dibuat di hutan.Pangeran Diponegoro bersama para panglimanya menerapkan strategi perang gerilya yang selalu berpindah-pindah.
Pada Oktober 1826, pasukan Diponegoro menyerang pasukan Hindia Belanda di Gawok dan mendapat kemenangan. Namun, sang Pangeran terluka dan terpaksa harus ditandu ke lereng Gunung Merapi. Pada 17 November 1826, sang Pangeran bertolak ke Pengasih (sebelah barat Yogyakarta) untuk menyerang pasukan Hindia Belanda.
Di lokasi ini, sang Pangeran mendirikan keraton di Sambirata sebagai pusat negara baru. Pasukan Belanda sempat menyerang Sambirata, namun Diponegoro berhasil meloloskan diri. Perang sempat berhenti akibat gencatan senjata pada 10 Oktober 1827, namun perundingan tidak menemui kesepakatan apa pun.
Pahlawan nasional Bung Tomo adalah kelahiran Surabaya 3 Oktober 1920 – meninggal dunia di Padang Arafah, Arab Saudi, 7 Oktober 1981 saat menunaikan ibadah haji. Bung Tomo pada Oktober dan November 1945 menjadi salah satu pemimpin yang menggerakkan dan membangkitkan semangat rakyat Surabaya melawan tentara sekutu.
Saat itu Surabaya diserang habis-habisan oleh pasukan Inggris yang mendarat untuk melucutkan senjata tentara pendudukan Jepang dan membebaskan tawanan Eropa. Di sinilah Bung Tomo tampil dengan seruan-seruan dalam siaran-siaran radio yang membangkitkan semangat rakyat Surabaya untuk melawan sekutu. Rakyat Surabaya berhasil memukul mundur pasukan Inggris dan kejadian ini dicatat sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Kemerdekaan Indonesia.
7. I Gusti Ngurah Rai
I Gusti Ngurah Rai
Saat usianya masih belia I Gusti Ngurah Rai sudah memimpin pertempuran menghadapi tentara Belanda. Brigadir Jenderal TNI (Anumerta) I Gusti Ngurah Rai
meninggal dunia pada usai 29 tahun. Pahlawan Nasional ini lahir pada 30 Januari 1917 di Desa Carangsari, Petang, Kabupaten Badung, Bali, Hindia Belanda, 30 Januari 1917 dan – meninggal di Marga, Tabanan, Bali 20 November 1946.
Ciung Wanara adalah nama pasukannya yang melakukan pertempuran terakhir yang dikenal dengan nama Puputan Margarana. Dalam bahasa Bali, puputan artinya habis-habisan. Sedangkan Margarana berarti pertempuran di Marga.
Di tempat puputan tersebut lalu didirikan Taman Pujaan Bangsa Margarana. Bersama 1.372 anggotanya pejuang MBO (Markas Besar Oemoem) Dewan Perjoeangan Republik Indonesia Sunda Kecil (DPRI SK) dibuatkan nisan di Kompleks Monumen de Kleine Sunda Eilanden, Candi Marga, Tabanan.
8. Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin atau terlahir dengan nama Muhammad Bakir/Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape sebagai nama pemberian dari Qadi Islam Kesultanan Gowa yakni Syeikh Sayyid Jalaludin bin Ahmad Bafaqih Al-Aidid. Dia lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 dan meninggal di Gowa 12 Juni 1670 atau pada umur 39 tahun.
Karena keberaniannya, Sultan Hasanuddin dijuluki De Haantjes van Het Osten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan dari Timur. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa mulai tahun 1653 sampai 1669. Kerajaan Gowa adalah merupakan kerajaan besar di Wilayah Timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.
Pada pertengahan abad ke-17, Kompeni Belanda (VOC) berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku setelah berhasil mengadakan perhitungan dengan orang-orang Spanyol dan Portugis. Kompeni Belanda memaksa orang-orang negeri menjual dengan harga yang ditetapkan oleh mereka, selain itu Kompeni menyuruh tebang pohon pala dan cengkih di beberapa tempat, supaya rempah-rempah jangan terlalu banyak.
Maka Sultan Hasanuddin menolak keras kehendak itu, sebab bertentangan dengan kehendak Allah. Pada 1660, VOC Belanda menyerang Makassar, tetapi belum berhasil menundukkan Kerajaan Gowa. Tahun 1667, VOC Belanda di bawah pimpinan Cornelis Speelman beserta sekutunya kembali menyerang Makassar.
Pertempuran berlangsung di mana-mana, hingga pada akhirnya Kerajaan Gowa terdesak dan semakin lemah, sehingga dengan sangat terpaksa Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bungaya pada 18 November 1667 di Bungaya.
Gowa yang merasa dirugikan, mengadakan perlawanan lagi. Pertempuran kembali pecah pada 1669. Kompeni berhasil menguasai benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada 24 Juni 1669.
9. Kapitan Pattimura
Kapitan Pattimura
Kapitan Pattimura atau Thomas Matulessy lahir di Haria, Pulau Saparua, Maluku, 8 Juni 1783 – dan meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 atau pada umur 34 tahun. Patimmura melawan ketidakadilan saat Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongitochten).
Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura. Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sifat kesatria.
Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para raja patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirim Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura. Kekuatan pasukan Patimurra sungguh luar biasa. Bahkan Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda.
Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di Kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura diangkat sebagai pahlawan nasional.
10. Frans Kaisiepo
Frans Kaisiepo
Frans Kaisiepo dikenang sebagai pahlawan nasional Indonesia dari Papua berdasarkan Keputusan Presiden nomor 077/TK/1993. Dalam masa revolusi, Frans Kaisiepo ikut dalam Konferensi Malino 1946 yang membicarakan mengenai pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai wakil dari Papua.
Frans Kaisiepo lahir di Biak pada 10 Oktober 1921 dan meninggal di Jayapura 10 April 1979 atau pada umur 57 tahun.
Frans adalah anak Papua yang cinta kepada tanah kelahiran dan negaranya. Sehingga tak heran pada 31 Agustus 1945, ketika Papua masih diduduki Belanda, Frans termasuk salah satu orang menegakkan eksistensi Republik Indonesia dan orang pertama yang mengibarkan Merah Putih dan menyayikan lagu Indonesia Raya di Papua. Frans dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih, Jayapura.
Penyusun : Argha Sena
Editor : Argha Sena
Sumber Naskah : sindonews.com, wikipedia.org
0 komentar:
Posting Komentar