Geger sepehi merupakan salah satu
peristiwa yang membuat keraton Yogyakarta kehilangan banyak manuskrip.
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 19 s/d 20 juni tahun 1812, geger sepehi adalah
pertempuran antara inggris dan keraton Yogyakarta. Pada bulan Mei 1811,
Daendels digantikan posisinya sebagai Gubernur Jendral oleh Jan Willem Jansens.
Pada tanggal 4 Agustus 1811, balatentara Inggris menyerbu Batavia dan membuat Jawa
akhirnya jatuh ke tangan Inggris.
Dikutip dari Anak Bangsawan Bertukar Jalan (2006) karya Budiawan, Belanda yang saat itu menjadi taklukan Perancis menyerah kepada Inggris dan harus menyerahkan wilayah kekuasaannya. Lewat Perjanjian Tuntang, Hindia (Indonesia) pun diambil alih Inggris. Karena Inggris telah mengalahkan Belanda, maka Inggris membuat kebijakan terkait pertanahan dan pengelolaan keuangan. Hal ini membuat Sri Sultan Hamengku Buwono II tidak berkenan. Sikap penentangan mulai muncul, bahkan ia menghimpun kekuatan secara terang-terangan. Bagi sultan, Belanda maupun Inggris sama-sama bangsa asing yang ingin menginjak-injak dan menguasai bumi Mataram. Terlebih lagi, sikap orang-orang Inggris cenderung arogan dan kurang bisa menghargai tradisi keraton saat menemui HB II di Keraton Yogyakarta.
Secara diam-diam, Pakubuwana IV dari Kasunanan Surakarta memberikan dukungan kepada Hamengkubuwana II untuk menghadapi Inggris. Di sisi lain, Inggris mendapatkan bantuan dari keluarga dinasti Mataram lainnya, yakni Kadipaten Mangkunegaran, yang merupakan pecahan Kasunanan Surakarta. Selain itu, Inggris juga didukung Pangeran Natakusuma. Orang ini adalah putra HB I atau paman HB II. Pangeran Natakusuma sudah sejak lama sering berselisih dengan keponakannya itu.
Menurut
Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008),
sebagai “musuh” dari HB II, Pangeran Natakusuma berusaha sekuat tenaga agar
memperoleh status merdeka dari istana. Itulah alasan mengapa Natakusuma
bersedia membantu Inggris.
Inggris mengerahkan tidak kurang dari 1.200 orang prajurit berkebangsaan Eropa,
ditambah serdadu Sepoy dari India. Selain itu, bantuan juga datang dari
Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta. Adipati Mangkunegara II memerintahkan
Pangeran Prangwedana memimpin 800 orang prajurit menuju Yogyakarta.
Pada tanggal 17 Juni 1812 malam,
pasukan Inggris memasuki Yogyakarta. Namun pasukan Yogyakarta berhasil melukai
dan menghalau bala tentara Inggris. Keesokan harinya Inggris mengirim utusan
untuk bernegosiasi dengan Sri Sultan Hamengku Buwono II, namun utusan tersebut
ditolak. Sekembalinya utusan tersebut ke pasukan Inggris, api peperangan pun
mulai berkobar. Tembakan meriam terdengar dari arah Keraton Yogyakarta,
menandakan sikap tidak mau kompromi dari Sri Sultan Hamengku Buwono II.
Situasi keraton kala itu digambarkan
oleh Mayor William Thorn, seorang prajurit yang tergabung dalam pasukan
Inggris, sebagai benteng pertahanan yang kokoh. Di sekeliling kraton terdapat
parit-parit lebar dan dalam, dengan jembatan yang bisa diangkat sebagai pintu
akses masuknya. Terdapat pula beberapa bastions tebal yang dilengkapi dengan
meriam. Tembok-tembok tebal yang mengelilingi halaman-halaman istana dilengkapi
dengan prajurit bersenjata. Pintu utama menuju kraton juga dilengkapi dengan dua
baris meriam. William Thorn mencatat setidaknya ada 17.000 prajurit dan ratusan
warga bersenjata tersebar di kampung-kampung, mempertahankan wilayah
Yogyakarta.
Serangan-serangan kecil terus
berlangsung hingga tanggal 19 Juni 1812 pukul 9 malam. Setelah itu, kondisi
Yogyakarta kembali senyap. Tanpa ampun, pasukan gabungan Inggris menghujani
istana dengan meriam dan peluru. Angkatan perang Kesultanan Yogyakarta telah
kehabisan amunisi dan energi. Menurut Thorn, benteng ini, “hanya sedikit
meninggalkan bubuk mesiu dari pabrik mesiu lawas tinggalan Belanda, sangat
buruk,” ungkapnya, “sehingga tembakan kami ibarat hanya menghibur musuh.”Bantuan
yang diharapkan dari Kasunanan Surakarta tidak kunjung datang. Pakubuwana IV
ternyata tidak berbuat apa-apa kecuali hanya menempatkan pasukannya di seberang
jalur-jalur komunikasi Inggris.
Dini hari tanggal 20 Juni 1812,
meriam-meriam Inggris kembali ditembakan. Serangan meriam ini mengarah ke
Alun-alun Utara, tepat ke arah pintu masuk keraton. Serangan besar-besaran kemudian
menyusul pada pukul 5 pagi. Pasukan Inggris yang terdiri dari tentara Eropa dan
pasukan Sepoy (India), dibantu pasukan dari Legiun Mangkunegaran, menyerang
Keraton Yogyakarta. Kekuatan utama serangan pasukan Inggris diarahkan ke sisi
timur laut benteng. Dalam Babad Sepehi disebutkan bahwa bagian ini
tidaklah terjaga kuat. Serangan tidak berjalan terlalu lama, hanya beberapa jam
saja sudut benteng ini runtuh dengan diawali meledaknya meriam dan gudang
mesiu. Sekitar jam 8 pagi, benteng benar-benar jatuh ke tangan pasukan Inggris.
Segera setelah benteng ini direbut,
pasukan Sepoy mengarahkan seluruh meriam ke arah Keraton Yogyakarta. Serangan
ini kemudian disusul dengan masuknya pasukan dari arah Gerbang/Plengkung
Nirbaya yang berhasil dikuasai. Sri Sultan Hamengku Buwono II kemudian
menyerah ketika pasukan Inggris berhasil masuk ke Plataran Srimanganti dan
akhirnya Yogyakarta menyerah. HB II dipaksa menyepakati perjanjian yang
disodorkan Inggris. Salah satu isinya adalah Kesultanan Yogyakarta wajib
menyerahkan sebagian wilayahnya kepada Pangeran Natakusuma. Inilah yang
kemudian menjadi Kadipaten Pakualaman.
Setelah menduduki Keraton Yogyakarta
pada pertengahan 1812, Inggris dan pasukannya menjarah isi istana. Sejumlah
besar uang dan harta diambil. Perpustakaan yang menyimpan berbagai koleksi
manuskrip, kitab-kitab lama, foto-foto langka, karya-karya pujangga, serta
bermacam arsip dan buku-buku berharga turut dirampas.
Tak hanya itu, Sultan HB II
dimakzulkan dari takhtanya, lantas diasingkan ke Penang (kini wilayah
Malaysia). Inggris kemudian menaikkan putra HB II, Raden Mas Surojo, sebagai
raja baru dengan gelar Hamengkubuwana III. Soedarisman Poerwokoesoemo dalam Kadipaten
Pakualaman (1985) menyebutkan, Inggris melantik Pangeran Natakusuma
dengan gelar Pakualam I pada 29 Juni 1813. Inggris kemudian mengakui Pakualam I
sebagai pangeran merdeka, diberikan tanah, tunjangan, pasukan, hak memungut
pajak, serta hak takhta turun-temurun.
Pada 1 Agustus 1812, pemerintah
Inggris memaksa Keraton Yogyakarta dan Surakarta untuk menandatangani
perjanjian yang sangat merugikan bagi bangsawan-bangsawan Jawa. Perjanjian
tersebut memangkas kekuatan militer kerajaan sampai sebatas yang diizinkan
Inggris. Beberapa wilayah mancanegara dan negaragung, seperti Japan
(Mojokerto), Jipang, dan Grobogan, diambil paksa sehingga membuat para pejabat
yang memerintah di sana kehilangan jabatan dan penghasilan. Pengelolaan
gerbang-gerbang cukai jalan dan pasar juga diserahkan kepada Inggris, ini tidak
hanya menghilangkan pendapatan dari pungutan tapi juga membuat perdagangan
dikuasai oleh pihak asing.
Selain itu, Inggris juga menetapkan
bahwa semua orang asing dan orang Jawa yang lahir di luar wilayah kerajaan
berada dalam hukum kolonial. Mereka tidak lagi dapat diadili di bawah hukum
Jawa-Islam. Kebijakan-kebijakan tersebut membuat pergolakan besar dalam
masyarakat Jawa. Ketidakpuasan dan rasa kekecewaaan inilah yang kemudian
menjadi salah satu pemicu Perang Jawa (1825-1830). Geger Sepehi tidak
hanya sebuah sejarah kekalahan yang meruntuhkan kewibawaan, namun juga menjadi
tonggak lahirnya tata dunia baru di tanah Mataram yang akibat-akibatnya masih
dapat terus dirasakan hingga kini.
Menurut Peter Carey, tentara
Inggris-Sepoy menjarah keraton besar-besaran. Peti berisi harta benda dari
keraton hilir mudik diangkut dengan gerobak melalui alun-alun sampai empat hari
lamanya. Barang jarahan diangkut ke kepatihan. Lalu semua yang berharga seperti
manuskrip dibawa ke Rustenburg (keresidenan). Hasil jarahan dibagikan di antara
para perwira. Peter Carey pun menyebut Inggris sebagai pencuri aset Indonesia
nomor wahid. Bahkan, penjarahan dilakukan pada korban yang dihabisi secara
brutal sebagaimana terungkap dalam babad Bedhah ing Ngayogyakarta (1816) karya
Pangeran Panular, putra Sultan Hamengkubuwono I dari istri selir.
Dalam babad itu disebutkan bahwa
Pangeran Sumodiningrat, keturunan sultan pertama dan panglima pasukan
Yogyakarta, dibunuh pasukan yang dipimpin oleh John Deans, sekretaris
Keresidenan Yogyakarta. Pakaian Sumodiningrat dilucuti dan badannya dimutilasi.
"Lehernya ditebas. Anak buah John Deans lalu mempreteli semua pakaian dan
perhiasan yang dipakai Sumodiningrat," kata Peter Carey.
Itulah peristiwa geger sepehi yang
sangat merugikan keraton Yogyakarta karena banyak manuskrip dan barang-barang
penting di keraton yang dibawa oleh Inggris. Hingga kini pihak keraton masih
berusaha untuk mengambil kembali manuskrip yang masih tersimpan di British
Library, London, Inggris. Hingga kini pihak Inggris telah mengembalikan
beberapa manuskrip yang telah berbentuk digital. Pengembalian barang-barang
bersejarah itu dipicu oleh dekolonisasi yang dicetuskan oleh Presiden Prancis
Emmanuel Macron dalam pidatonya di Universitas Ougadougou, Burkina Faso, 28
November 2017.
Penyusun : Riskiryto
Penyunting : Argha Sena
Referensi :
- nationalgeographic.grid.id
- historia.id
- kompas.com
- kratonjogja.id
- tirto.id
0 komentar:
Posting Komentar