Sebelum teknologi secanggih sekarang, anak-anak zaman dulu banyak membaca melalui buku-buku sebagai pengisi waktu luang. Buku-buku yang menjadi favorit kala itu adalah tentang legenda-legenda yang ada di Indonesia. kisah-kisah legenda itu menjadi daya tarik tersendiri bagi anak-anak kala itu. Orang-orang tua dulu juga masih mempercayai legenda-legenda, sehingga menambah rasa keingintahuan karena kesaktian-kesaktian dari kisah itu. Banyak kisah-kisah legenda berasal dari pulau jawa yang tentunya memiliki pesan moral di dalamnya. Salah satu kisah legenda yang cukup terkenal kala itu adalah tentang Aji Saka. Berikut adalah kisah legenda tentang aji saka yang mengalahkan Prabu Dewatacengkar.
Ajisaka, seorang pemuda sakti dari Majethi bersama dua
orang punggawa (abdi) setianya yaitu Dora dan Sembada. Kedua abdi ini sama-sama
setia dan sakti. Satu saat Ajisaka ingin pergi meninggalkan pulau Majethi. Dia
menunjuk Dora untuk menemaninya mengembara. Sedangkan Sembada, disuruh tetap
tinggal di pulau Majethi. Ajisaka menitipkan pusaka andalannya untuk dijaga
oleh Sembada. Dia berpesan supaya jangan menyerahkan pusaka itu kepada siapa
pun, kecuali pada Ajisaka sendiri.
Di suatu daerah, ada kerajaan bernama Medang
Kamulan yang diperintah oleh seorang raja bernama Prabu Dewatacengkar. kerajaan yang
sangat makmur sejahtera yaitu kerajaan Medhangkamulan. Rakyatnya hidup
sejahtera. Kerajaan Medhangkamulan dipimpin oleh seorang raja arif bijaksana
bernama Dewatacengkar. Prabu Dewatacengkar sangat cinta terhadap rakyatnya.
Pada suatu hari, juru masak kerajaan Medhangkamulan yang bertugas membuat makanan untuk
prabu Dewatacengkar mengalami kecelakaan saat memasak. Salah satu jarinya
terkena pisau hingga putus dan masuk ke dalam masakannya tanpa dia ketahui.
Disantaplah makanan itu oleh Dewatacengkar. Dia merasakan rasa yang enak pada
masakan itu. Dia bertanya daging apakah yang dia makan. Juru masak baru sadar
bahwa tangannya yang teriris telah disantap Dewatacengkar. Koki itu
menjawab bahwa daging yang dimakan adalah jari tangannya yang teriris dan tidak
sengaja masuk ke dalam masakannya. Dewatacengkar ketagihan dan berpesan supaya
memasakkan hidangan daging manusia setiap hari. Dia meminta sang patih kerajaan
supaya mengorbankan rakyatnya setiap hari untuk dimakan.
Oleh karena terus menerus makan daging manusia, sifat Dewatacengkar berubah 180
derajat. Dia berubah menjadi raja yang kejam lagi bengis dan pemakan daging
manusia. Setiap hari raja memakan seorang pria yang dibawa oleh Patih
Jugul Muda.
Sebagian rakyat takut kepada rajanya dan diam-diam lari ke daerah lain.
Resiko dari pelarian ini adalah jika diketahui sang Raja maka orang tersebut
akan diberi hukuman mati dengan cara di santap oleh sang raja.
Saat itu juga Ajisaka dan pengawalnya tiba di kerajaan Medhangkamulan.
Mereka heran dengan keadaan yang sepi dan menyeramkan. Dari seorang rakyat,
beliau mendapat cerita kalau raja Medhangkamulan gemar makan daging manusia. Ajisaka
menyusun siasat. Dia menemui sang patih untuk diserahkan kepada Dewatacengkar
agar dijadikan santapan. Awalnya sang patih tidak setuju dan kasihan. Tetapi
Ajisaka bersikeras dan akhirnya diizinkan.
Dewatacengkar keheranan karena ada seorang pemuda tampan dan bersih
ingin menyerahkan diri. Ajisaka mengatakan bahwa dia mau dijadikan santapan
asalkan dia diberikan tanah seluas ikat kepalanya dan yang mengukur tanah itu
harus Dewatacengkar. Sang prabu menyetujuinya. Kemudian
mulailah Dewatacengkar mengukur tanah. Saat digunakan untuk mengukur, tiba-tiba
ikat kepala Dewatacengkar terus memanjang sampai menutupi seluruh
kerajaan Prabu Dewata Cengkar.
Dewatacengkar marah setelah mengetahui niat Aji
Saka untuk mengakhiri tirani Prabu Dewata Cengkar. Ketika Prabu Dewata Cengkar
marah, sorban Aji Saka kemudian membungkus tubuh sang Prabu. Ikat kepala itu
lalu membungkus seluruh tubuh sang Prabu. Panjang ikat kepala Aji Saka yang
digunakan untuk mengukur tanah tadi telah sampai dijurang dekat Pantai Laut
Selatan, maka Dewatacengkar terdorong ke jurang pantai laut selatan. Dia terlempar ke
laut dan seketika berubah menjadi seekor buaya putih. Sebagai
ucapan terima kasih dari rakyat Medang Kamulan, Aji Saka diangkat sebagai Raja
Medang Kamulan.
Setelah penobatan, Ajisaka mengutus Dora pergi ke pulau Majethi untuk
mengambil pusaka andalannya. Kemudian pergilah Dora ke pulau Majethi. Sesampai
di pulau Majethi, Dora menemui Sembada untuk mengambil pusaka. Sembada teringat
akan pesan Ajisaka saat meninggalkan pulau Majethi untuk tidak menyerahkan
pusaka tersebut kepada siapa pun kecuali kepada Ajisaka. Dora yang juga
berpegang teguh pada perintah Ajisaka untuk mengambil pusaka memaksa supaya
pusaka itu diserahkan. Kedua abdi setia tersebut beradu mulut bersikukuh pada
pendapatnya masing-masing. Dan akhirnya mereka berdua bertempur. Pada awalnya
mereka berdua hati-hati dalam menyerang karena bertarung melawan temannya
sendiri. Tetapi pada akhirnya benar-benar terjadi pertumpahan darah. Sampai
pada titik akhir yaitu kedua abdi tersebut tewas dalam pertarungan karena
sama-sama sakti.
Aji Saka kemudian teringat akan perintahnya
kepada Sembada, agar senjatanya tidak diberikan kepada orang lain dengan dalih
apa pun. Menyadari akan kesetiaan kedua utusan, dengan bergegas ia menyusul ke
Gunung Kendeng untuk mencegah perselisihan di antara mereka. Tetapi sesampai di
tempat itu, dia mendapati kedua utusannya sudah tergeletak di tanah bermandikan
darah. Aji Saka memang dapat mengetahui alasan perselisihan itu, tetapi mereka
terlanjur sudah tak bernyawa.
Aji Saka merasa bersalah karena memberi
perintah yang menimbulkan pertentangan pada kedua utusannya. Dalam hatinya ia
sedih atas kejadian itu. Untuk mengenang tatanan dan sabda pertamanya sebagai
seorang Raja, yang pada akhirnya malah berdampak celaka, ia kemudian memotong
kulit pohon, di mana kedua mayat utusannya itu diletakkan untuk sementara
waktu, dan menulis sejarah tentang apa yang terjadi, kalimatnya sebagai
berikut:
Ha Na Ca
Ra Ka = ono wong loro ( ada dua orang )
Da Ta Sa Wa La = podho kerengan ( mereka berdua
berantem / berkelahi )
Pa Dha Ja Ya Nya = podho joyone ( sama-sama
kuatnya )
Ma Ga Ba Tha Nga = mergo dadi bathang lorone (
maka dari itu jadilah bangkai semuanya / mati dua-duanya karena sama kuatnya)
Aji Saka kemudian membaca ulang tulisannya,
namun tulisan itu membuatnya terkejut, karena di dalam empat kalimat itu, semua
bunyi vokal terwakili. Untuk meyakinkan dirinya tentang hal itu, ia mengucapkan
setiap suku kata dari setiap kalimat secara terpisah sebagai: ha, na, ca, ra,
ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, nga. Setelah
beberapa saat mengheningkan cipta, Aji Saka memutuskan untuk menggunakan suku
kata ini sebagai sistem tulisan baru di Jawa, dan sebagai pengingat kedua
utusannya yang setia.
Itulah
kisah legenda tentang Ajisaka yang dulu sering diceritakan oleh orang tua. Saat
ini cerita-cerita legenda di anggap sebagai mitos. Sebuah
mitos yang tidak saja bertutur tentang sejarah mulai dikenalnya aksara atau
tulisan bagi orang Jawa, melainkan juga menjadi momen penanda penting tentang
signifikansi sebuah tradisi literasi dalam kebudayaan Jawa.
Penulis : Riskyrito
Penyunting : Argha Sena
Referensi : bloranews.com, boyolali.go.id, dongengceritarakyat.com
0 komentar:
Posting Komentar