Rencananya dari
Selopanggung, Kediri, jenazah Tan Malaka akan dipulangkan ke kampung halamannya
di Nagari Pandam Gadang, Suliki. Sejak sekolah guru di Kweekschool Bukittinggi,
ia tak pernah tinggal di kampung halamannya itu. Kampung halaman di Lima Puluh
Kota itulah yang memberi gelar Datuk Tan Malaka pada pemuda bernama Sutan
Ibrahim. Orang lebih banyak tahu nama Tan Malaka. Selain nama itu, ia punya
banyak nama samaran lain: Ilyas Husein ketika di Indonesia, Alisio Rivera
ketika di Filipina, Hasan Gozali di Singapura, Ossorio di Shanghai, dan Ong
Soong Lee di Hong Kong.
Tak banyak tokoh pergerakan
nasional yang pandai menyamar dan berkali-kali lolos dari kejaran aparat
kolonial. Jika banyak tokoh pergerakan Indonesia terkenal karena pembuangannya,
seperti Sukarno di Bengkulu, Hatta dan Syahrir di Boven Digoel, maka Tan Malaka
terkenal karena gerakan bawah tanah dan penyamarannya. Waktu di Kweekschool ia
siswa yang cerdas. Namun cerdas bukan segala-galanya bagi gadis impiannya di
sekolahnya itu. Syarifah Nawawi, anak dari guru dan ahli bahasa terkenal Engku
Nawawi, lebih memilih menolak cintanya. Kecerdasan Tan Malaka mengantarkannya
sekolah di Belanda. Tentu saja dengan bantuan mantan gurunya dan orang-orang
sekampungnya yang meminjami dana.
Tan Malaka berkelana dari
satu negeri ke negeri lain. Rusia yang menguat menjadi Uni Soviet pernah
disinggahinya. Di sana Tan menjadi anggota dari Komunis Internasional
(Komintern). Jika banyak kaum komunis tunduk pada Joseph Stalin sebagai
penguasa Uni Soviet, Tan dikenal sebagai tokoh komunis Indonesia yang berani
berbeda dengan Stalin. Ia kemudian dikeluarkan dari Komintern dan dikenal
sebagai pemikir yang dicap Trotskys.
Setelah ke Rusia, Tan hidup
berkelana dengan identitas lain ke Tiongkok, Filipina, dan daerah lain, demi
menghindari kejaran aparat kolonial. Tan baru kembali ke Indonesia pada 1942.
Ketika itu Hindia Belanda sudah ditekuk kekuasaannya oleh balatentara Jepang.
Tan tentu merasa aman dari kejaran aparat kolonial yang sudah tiarap sepanjang
Perang Pasifik.
Dari jazirah Malaya ia
menyeberang ke Sumatra. Setelah tiba di Lampung, ia menuju Jawa. Setelah
menumpang perahu layar Sri Renjet dari Lampung, Tan tiba di Banten. Daerah itu
pertama kali diinjaknya setelah 20 tahun dibuang dari impian "Republik
Indonesia" yang diperjuangkannya. Dari Banten, Tan ke Jakarta, menginap di
Rawa Jati, dekat Pabrik Sepatu di Kalibata. Tan berusaha menyelami kehidupan
rakyat jelata yang jadi buruh atau pedagang buah di pinggiran Jakarta. Atas
saran Purbacaraka, Tan mendatangi Kantor urusan Sosial di Tanah Abang. Dari
sana, ia dapat kerja di Bayah, Banten. Dengan nama samaran Ilyas Husein, ia
bekerja di Bayah Kozan, salah satu bagian dari perusahaan Jepang Sumitomo. Ia
sempat jadi juru tulis di pergudangan lalu pindah ke bagian yang mengurusi
administrasi para romusa.
Persembunyiannya di masa
pendudukan balatentara Jepang ini tertuang dalam autobiografi Dari Penjara Ke
Penjara (1947). “Pada 6 Agustus 1945 Tan Malaka pergi ke Jakarta,” tulis Harry
Albert Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid I
(2008). Tan hanya beberapa hari dan kembali lagi ke Bayah. Ia menemui pemuda
macam Chaerul Saleh maupun B.M. Diah. Pada 25 Agustus, Tan muncul di rumah
Achmad Subardjo, yang semasa Jepang menjadi pengurus Asrama Indonesia Merdeka.
Di tempat itu ia bertemu Wikana dan pemuda lain yang mengawal Proklamasi
Indonesia, di daerah Cikini. Subardjo terkejut karena ia mengira Tan Malaka
sudah mati.
Pada tanggal 21 Februari 1949 krang lebih 72 tahun silam, Tan Malaka tewas dieksekusi tanpa
pengadilan oleh pasukan militer Indonesia di Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten
Kediri, Jawa Timur. Eksekustor yang berasal dari Brigade Sikatan bertindak atas
perintah petinggi militer Jawa Timur.
Tan Malaka dihabisi karena perlawanannya yang konsisten terhadap pemerintah Republik Indonesia yang dia anggap bersikap lunak dan kompromis terhadap Belanda. Dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4: September 1948-Desember 1949 (2014: 214-24), Harry Albert Poeze mengungkapkan perintah eksekusi datang dari Letda Soekotjo. Setelah 1950, Sukotjo melanjutkan kariernya di dalam Divisi Brawijaya dan selanjutnya ditahbiskan sebagai Wali Kota Surabaya pada 1972-1974 dan mengakhiri kariernya dengan pangkat Brigadir Jenderal. Menurut Poeze, ia adalah orang kanan yang paling lantang beropini bahwa Tan Malaka harus dibunuh.
Semula, Tan Malaka telah
terlebih dahulu disergap oleh Tentara Republik Indonesia (TRI) saat berada di
markasnya yang terletak di Pace, Jawa Timur. Namun, penangkapan itu urung
dilakukan, hingga akhirnya Tan Malaka dan enampuluh orang pengikutnya
dibebaskan, lalu melarikan diri ke selatan Jawa Timur. Tapi, selama perjalanan,
rombongan ditembaki oleh sekelompok bersenjata, hingga akhirnya mereka memecah
diri menjadi empat kelompok.
Tan Malaka bersama keempat
pengikutnya lantas menyusuri kawasan Tulungagung untuk mencari batalyon tentara
yang sekiranya masih bersimpati kepada mereka. Akan tetapi, selang dua hari
perjalanan, tiba-tiba mereka disergap di suatu desa kecil bernama Selopanggung.
Tan Malaka pun ditembak mati di tempat ini. Ia dimakamkan ditengah hutan (Poeze
dalam buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4:
September 1948-Desember 1949 (2014: 219)).
Itulah perjalanan singkat
Tan Malaka sang Pahlawan Nasional yang jasanya terhadap bangsa ini tidak bisa kita pandang sebelah mata. Walau memang bapak
bangsa ini terlahir dari pemikiran kiri akan tetapi memang pada masa revolusi
kemerdekaan kapal inilah yang Tan Malaka gunakan untuk melawan penjajahan
terhadap bangsa Indonesia.
Semoga artikel kali ini bisa bermanfaat dan menambah wawasan kita semua.
Editor : Argha Sena
Sumber : tirto.id
0 komentar:
Posting Komentar