Jauh berabad-abad yang lampau, daratan Asia Kecil atau Anatolia dihuni oleh masyarakat Romawi dan Yunani kuno. Di antara mereka terdapat bangsa Hatti, Hurriyah, Iberia, Lydia, dan Galatia. Bahasa yang mereka pertuturkan pun dulunya masuk dalam rumpun bahasa Indo-Eropa.
Akan tetapi, pemandangan tersebut kini berubah drastis. Tanah Anatolia kini hampir seluruhnya dihuni oleh orang-orang yang menamai diri mereka sebagai bangsa Turki. Meski sisa-sisa peninggalan peradaban Romawi dan Yunani kuno masih dapat kita jumpai di Anatolia, nilai-nilai yang mengakar di tengah-tengah masyarakat di kawasan tersebut hari ini hampir sepenuhnya Turki. Mulai dari bahasa, kesenian, hingga adat istiadat mereka.
Perubahan kultur masyarakat Anatolia dari corak Indo-Eropa menjadi Turki seperti sekarang ini tidak terjadi begitu saja. Melainkan, melalui proses asimilasi yang memakan waktu sangat panjang. Para ahli antropologi menyebut proses asimilasi ini dengan istilah “Turkification” alias Turkifikasi.
Sejarah Turkifikasi Anatolia dimulai dari kedatangan bangsa Turki di Asia Kecil pada abad kesebelas silam. Ketika itu, Tughril Beg, sang pendiri Kesultanan Turki Seljuk, ditugaskan Khalifah al-Qaim dari Dinasti Abbasiyah untuk menghambat pengaruh Kekaisaran Bizantium di wilayah utara kekhalifahan Islam.
Melemahnya kekuatan Bizantium di Anatolia Timur membuka jalan bagi orang-orang Turki Seljuk untuk masuk ke wilayah tersebut. Pada 1071, putra Tughril Beg, Alp Arslan, akhirnya berhasil mengalahkan pasukan Bizantium. Sejak itu, Kesultanan Seljuk resmi menancapkan kekuasaannya di Anatolia. Pengaruh bangsa Turki di wilayah itu pun semakin menguat.
Pada masa itu, jumlah orang-orang Turki yang mendiami Anatolia tidaklah begitu banyak jika dibandingkan penduduk Indo-Eropa. Akan tetapi, mereka secara bertahap mulai melakukan Turkifikasi terhadap kebudayaan dan bahasa penduduk setempat. Banyaknya orang Kristen yang beralih memeluk Islam juga ikut membantu proses Turkifikasi Anatolia.
“Orang-orang Kristen yang masuk Islam mulai mengadopsi bahasa Turki dalam kesehariannya. Sementara, kebudayaan Yunani yang sebelumnya telah mengakar di kalangan masyarakat Anatolia semakin melemah pengaruhnya dari waktu ke waktu,” ungkap William Langer dan Robert Blake dalam buku The Rise of the Ottoman Turks and Its Historical Background.
Pada era Kesultanan Ottoman, proses Turkifikasi menyentuh hampir setiap aspek kehidupan masyarakat Anatolia. Adanya ikatan perkawinan antara orang Turki dan non-Turki melahirkan generasi masyarakat baru di wilayah tersebut. Dengan kata lain, pernikahan menjadi salah satu faktor yang ikut mendorong terjadinya asimilasi bangsa Turki di Asia Kecil.
Bahkan, mayoritas sultan Ottoman terlahir dari rahim perempuan berkebangsaan Eropa. Sebut saja Murad I (beribukan orang Yunani), Bayezid II (Albania), Osman II (Serbia), dan Mehmed IV (Ukraina). Dari 36 sultan yang memegang tampuk kekuasaan Ottoman, hanya lima orang yang beribukan orang Turki asli.
Pada 1330-an, nama-nama kota atau tempat di Anatolia telah berubah dari bahasa Yunani menjadi bahasa Turki. Beberapa di antaranya Ankara (yang dalam versi Yunani disebut Angora), Izmir (Smyrna), Iznik (Nicaea), Konya (Iconium), Antakya (Antioch), dan Istanbul (Konstantinopolis/Konstantinopel).
Selama abad ke-19, penduduk yang mendiami wilayah Kesultanan Ottoman terdiri dari beragam etnis. Antara lain Persia, Arab, Albania, Yunani, Bulgaria, Bosniak, Armenia, Kurdi, Zazas, Kirkasia, Suriah, Yahudi, dan banyak lagi. Bahasa Turki menjadi semacam bahasa pemersatu bagi masyarakat majemuk tersebut, terutama di kalangan istana.
Di antara catatan yang bisa digunakan untuk menggambarkan kiprah bangsa Turki dalam membangun peradaban Islam ialah memoar yang pernah ditulis oleh petualang Muslim, Ibnu Bathutah, dalam bukunya yang berjudul ar-Rihlah.
Saat berkunjung ke Anatolia, ia pernah bertemu langsung dengan penguasa negara tersebut, Orhan, yang juga salah satu peletak Kesultanan Ottoman, Turki. Selama 30 tahun Ottoman berada di bawah kepemimpinan Orhan, dinasti ini memiliki karakteristik yang berbeda dari imperium yang ada pada abad 20. Kekuasaannya berdiri di atas daratan Eropa dan Asia. Pedesaan dan perkotaan dibangun sedemikian rupa dan mendirikan masjid.
Ibnu Bathuthah menulis dalam memoarnya, “Orhan adalah penguasa Turki paling agung dengan jumlah harta, kekuatan militer, dan daerah kekuasaan yang besar dan luas. Ia mendirikan kurang lebih 100 benteng. Ia menyempatkan diri untuk mengawasi benteng-benteng tersebut, tak jarang ia tinggal di benteng beberapa hari. Budi pekertinya luhur dan ulet menciptakan stabilitas Kesultanan Ottoman begitu pula melebarkan peradaban Islam melalui penaklukkan-penaklukkan di berbagai wilayah.”
Deretan penaklukkan yang dilakukan oleh bangsa Turki di bawah Ottoman terhadap wilayah Eropa yang menuai puncak kesuksesan pada masa Sultan Muhammad al-Fatih, Sultan ke-7 Dinasti Ottoman, menyempurnakan misi serupa yang pernah dilakukan pada abad pertama dan kedua Hijriyah.
Setidaknya tercatat tujuh kali misi penguasaan Eropa, yaitu penaklukkan Muawiyah dan anaknya Yazid pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib 34 dan 47 H, Sufyah bin Aus pada masa Muawiyah (52 H), Musalamah saat Umar bin Abd al-Aziz berkuasa (97 H), Hisyam bin Abd al-Malik (121 H), dan Harun al-Rasyid pada 182 H. Penaklukkan oleh al-Fatih, oleh sebagian kalangan, dijadikan pembuktian dari hadis yang disandarkan kepada Rasulullah SAW bahwa kelak Konstantinopel akan ditaklukkan oleh penguasa dan militer yang tangguh.
Rekam jejak bangsa Turki dalam peradaban Islam cukup besar. Rasulullah SAW pernah berperang bersama mereka di beberapa peperangan, seperti Perang Khaibar, meski jumlah mereka tak banyak. Perlahan masyarakat keturunan Turki memeluk Islam, terutama pascapenaklukkan Persia oleh Umar bin al-Khatab dan jumlahnya kian membeludak saat Ubaidillah bin Ziyad, khalifah Dinasti Umayyah, berkuasa.
Beberapa abad kemudian, Muslim Turki mendirikan rezim yang sangat kuat melalui otoritas kerajaan. Dua dinasti besar berdiri pada masa yang berbeda, yaitu Dinasti Saljuk dan Kesultanan Ottoman. Terdapat tiga kerajaan yang didirikan Muslim Turki, tetapi skalanya kecil dan nyaris terlupakan oleh sejarah. Kekuatan militer kerajaaan-kerajaan tersebut sangat diperhitungkan pada masa itu. Kelebihan itu menjadi faktor pendukung suksesnya penaklukkan Eropa.
Sebagian sejarawan lantas mengomentari tipikal dan karakter penyebaran Islam oleh bangsa Turki identik dan dominan melalui peperangan dan peperangan. Hal ini kemudian diduga dijadikan premis mengapa peradaban Islam di wilayah Eropa dan sekitarnya tak bertahan hingga sekarang. Berbeda dengan pola penyebaran Islam di Asia Tenggara, misalnya.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa peperangan merupakan bagian tak terlepaskan pada masa itu, tidak hanya dari sisi kerajaan Turki Islam, tetapi juga imperium non-Muslim. Perang adalah konsekuensi logis dari upaya penaklukkan secara politis yang gagal dengan cara damai. Begitulah sunah peradaban.
Sejarah ternyata mencatat juga kontribusi Muslim Turki membangun fondasi intelektualitas peradaban Islam. Gerakan penerjemahan pemikiran dalam sejarah Islam memang telah diawali sejak Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, tetapi mencapai puncaknya saat Muslim Turki berkuasa. Kita mengenal al-Farabi dan al-Biruni, dua tokoh pakar filsafat dan matematika keturunan Turki. Keduanya menyumbangkan gagasan-gagasan yang belum pernah diungkap oleh para intelektual pada era sebelumnya.
Al-Farabi dianggap sukses mengawinkan rasionalitas filsafat dalam tradisi Yunani agar selaras dengan konsep teologi Islam. Pemikiran briliannya itu menghasilkan harmoni antara dua kutub pemikiran besar selama bertahun-tahun.
Madrasah Nidhamiyah yang didirikan oleh salah satu menteri Dinasti Seljuk Nidham al-Mulk di Baghdad sangat tersohor. Lembaga ini menjadi contoh perdana bagi konsep ideal sebuah perguruan tinggi Islam. Lembaga ini tidak mendikotomikan antara ilmu agama dan ilmu umum.
Saat berkunjung ke Anatolia, ia pernah bertemu langsung dengan penguasa negara tersebut, Orhan, yang juga salah satu peletak Kesultanan Ottoman, Turki. Selama 30 tahun Ottoman berada di bawah kepemimpinan Orhan, dinasti ini memiliki karakteristik yang berbeda dari imperium yang ada pada abad 20. Kekuasaannya berdiri di atas daratan Eropa dan Asia. Pedesaan dan perkotaan dibangun sedemikian rupa dan mendirikan masjid.
Ibnu Bathuthah menulis dalam memoarnya, “Orhan adalah penguasa Turki paling agung dengan jumlah harta, kekuatan militer, dan daerah kekuasaan yang besar dan luas. Ia mendirikan kurang lebih 100 benteng. Ia menyempatkan diri untuk mengawasi benteng-benteng tersebut, tak jarang ia tinggal di benteng beberapa hari. Budi pekertinya luhur dan ulet menciptakan stabilitas Kesultanan Ottoman begitu pula melebarkan peradaban Islam melalui penaklukkan-penaklukkan di berbagai wilayah.”
Deretan penaklukkan yang dilakukan oleh bangsa Turki di bawah Ottoman terhadap wilayah Eropa yang menuai puncak kesuksesan pada masa Sultan Muhammad al-Fatih, Sultan ke-7 Dinasti Ottoman, menyempurnakan misi serupa yang pernah dilakukan pada abad pertama dan kedua Hijriyah.
Setidaknya tercatat tujuh kali misi penguasaan Eropa, yaitu penaklukkan Muawiyah dan anaknya Yazid pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib 34 dan 47 H, Sufyah bin Aus pada masa Muawiyah (52 H), Musalamah saat Umar bin Abd al-Aziz berkuasa (97 H), Hisyam bin Abd al-Malik (121 H), dan Harun al-Rasyid pada 182 H. Penaklukkan oleh al-Fatih, oleh sebagian kalangan, dijadikan pembuktian dari hadis yang disandarkan kepada Rasulullah SAW bahwa kelak Konstantinopel akan ditaklukkan oleh penguasa dan militer yang tangguh.
Rekam jejak bangsa Turki dalam peradaban Islam cukup besar. Rasulullah SAW pernah berperang bersama mereka di beberapa peperangan, seperti Perang Khaibar, meski jumlah mereka tak banyak. Perlahan masyarakat keturunan Turki memeluk Islam, terutama pascapenaklukkan Persia oleh Umar bin al-Khatab dan jumlahnya kian membeludak saat Ubaidillah bin Ziyad, khalifah Dinasti Umayyah, berkuasa.
Beberapa abad kemudian, Muslim Turki mendirikan rezim yang sangat kuat melalui otoritas kerajaan. Dua dinasti besar berdiri pada masa yang berbeda, yaitu Dinasti Saljuk dan Kesultanan Ottoman. Terdapat tiga kerajaan yang didirikan Muslim Turki, tetapi skalanya kecil dan nyaris terlupakan oleh sejarah. Kekuatan militer kerajaaan-kerajaan tersebut sangat diperhitungkan pada masa itu. Kelebihan itu menjadi faktor pendukung suksesnya penaklukkan Eropa.
Sebagian sejarawan lantas mengomentari tipikal dan karakter penyebaran Islam oleh bangsa Turki identik dan dominan melalui peperangan dan peperangan. Hal ini kemudian diduga dijadikan premis mengapa peradaban Islam di wilayah Eropa dan sekitarnya tak bertahan hingga sekarang. Berbeda dengan pola penyebaran Islam di Asia Tenggara, misalnya.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa peperangan merupakan bagian tak terlepaskan pada masa itu, tidak hanya dari sisi kerajaan Turki Islam, tetapi juga imperium non-Muslim. Perang adalah konsekuensi logis dari upaya penaklukkan secara politis yang gagal dengan cara damai. Begitulah sunah peradaban.
Sejarah ternyata mencatat juga kontribusi Muslim Turki membangun fondasi intelektualitas peradaban Islam. Gerakan penerjemahan pemikiran dalam sejarah Islam memang telah diawali sejak Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, tetapi mencapai puncaknya saat Muslim Turki berkuasa. Kita mengenal al-Farabi dan al-Biruni, dua tokoh pakar filsafat dan matematika keturunan Turki. Keduanya menyumbangkan gagasan-gagasan yang belum pernah diungkap oleh para intelektual pada era sebelumnya.
Al-Farabi dianggap sukses mengawinkan rasionalitas filsafat dalam tradisi Yunani agar selaras dengan konsep teologi Islam. Pemikiran briliannya itu menghasilkan harmoni antara dua kutub pemikiran besar selama bertahun-tahun.
Madrasah Nidhamiyah yang didirikan oleh salah satu menteri Dinasti Seljuk Nidham al-Mulk di Baghdad sangat tersohor. Lembaga ini menjadi contoh perdana bagi konsep ideal sebuah perguruan tinggi Islam. Lembaga ini tidak mendikotomikan antara ilmu agama dan ilmu umum.
Sumber : republika.co.id
0 komentar:
Posting Komentar