Semua
terjadi setelah serangkaian upaya pembunuhan terhadap dirinya, Soekarno menjadi keras pada lawan-lawan
politiknya. Tanpa pengadilan dan dasar yang jelas, Soekarno memenjarakan mereka
yang dianggap berseberangan dengan dirinya. Soekarno juga memberedel surat
kabar yang dianggap berseberangan dengan dirinya. Sebelumnya, Mohammad Hatta
sudah mundur dari jabatan sebagai wakil presiden. Dwitunggal itu telah lama
berpisah. Hatta memilih berdiri di luar pemerintahan. Mengkritisi pemerintahan
Soekarno yang makin otoriter lewat tulisan yang cemerlang di berbagai surat
kabar. Mereka yang ditangkap Soekarno di antaranya adalah Buya Hamka, Sutan
Sjahrir, M Roem, Anak Agung Gde Agung, Prawoto Mangkusasmito dan beberapa lainnya
termasuk Buya Hamka. Tuduhan untuk mereka antara lain terlibat percobaan
pembunuhan dan membahayakan cita-cita revolusi. Walaupun tuduhan itu tak pernah
terbukti.
Buya Hamka
Di akhir dekade 1950-an, Buya Hamka melepaskan jabatannya dari pegawai Kementerian Agama karena ia tergabung dalam partai Masyumi. Tak lama setelah itu, Masyumi pun dibubarkan karena dianggap tidak sejalan dengan cita-cita pemerintah. Masyumi menentang ide "Kabinet Empat Kaki" karena dianggap memberi ruang berkembangnya ideologi Komunisme.
Hari-hari
berkuasanya Komunisme di Indonesia, amat dirasakan oleh Buya Hamka.
Ulama besar anggota Muhammadiyah, anggota parlemen dari Masyumi, peraih gelar
Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, dan juga tokoh
adat Minangkabau bergelar "Datuk Indomo". Beliau mendekam di dalam
penjara selama dua tahun empat bulan lamanya. Dijemput secara paksa dari rumahnya,
dan dipenjara tanpa proses pengadilan.
PKI
di tahun-tahun itu mulai merasuki banyak posisi di pemerintahan. Sementara,
oposisi terkuatnya yaitu Masyumi, sudah dibubarkan. Di banyak daerah, PKI juga
mulai menjalankan ide kesejahteraan ideologi mereka, dengan merebut banyak
lahan dari tuan-tuan tanah. Hal ini memicu terjadinya banyak kerusuhan di
daerah.
Di
Masjid Al Azhar, Buya Hamka tetap mengupayakan sinar Islam tetap bercahaya.
Beliau mendirikan majalah Panji Masyarakat, dan menjadi majalah Islam
terpopuler saat itu. Ketika memuat tulisan Mohammad Hatta, yang saat itu sudah
mundur dari kursi Wakil Presiden, mengkritik kebijakan Presiden Sukarno.
Tulisan itu bertajuk "Demokrasi Kita" mendapat sambutan dari
masyarakat dan menjadi tulisan yang fenomenal.
Mendapat
kritik yang tajam, bahkan dari mantan wakilnya, akhirnya majalah Panji
Masyarakat ditutup pemerintah. Karena dengan berbagai desakan, akhirnya
dimunculkan kembali majalah dari masjid Al-Azhar, yaitu Gema Islam. Pendirian
ini didukung pula oleh unsur tentara, seperti Jenderal Sudirman dan Jenderal
A.H. Nasution. Melalui majalah ini, beliau mengkritik pemerintah dalam beberapa
hal, terutama dalam keterlibatan komunis.
Serangan
terhadap Buya Hamka pada tahun-tahun itu banyak datang dari PKI. Salah satu
koran terpopuler saat itu yang berafiliasi pada PKI, Bintang
Timur, menyerang karya Buya Hamka. Tenggelamnya Kapal Van der Wijk,
karya sastra terbesar Buya Hamka, dituduh plagiat. Dalam berbagai edisi, koran
itu menuduh cerita dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijk
menjiplak novel Magdalena, karya penulis Mesir
Musthafa Luthfi Al Manfaluthi. Masalah itu membuat nama Buya Hamka dijatuhkan
dalam kalangan sastrawan. Di tengah kondisi yang sulit, nama Buya Hamka di
kalangan "kiri" sudah buruk. Dituduh plagiat, mengkhianati negara,
hingga tuduhan yang membawanya pada penjara. Buya Hamka juga dituduh merencanakan
makar terhadap pemerintahan yang sah.
Senin siang,
tanggal 23 Januari 1964 atau 12 Ramadhan 1383 H, datang tiga orang polisi dari
Departemen Angkatan Kepolisian (Depak) menangkap Buya Hamka. Beliau ditangkap
dengan alasan melanggar Penetapan Presiden nomor 11 tahun 1963. Isi dari
Penpres itu membolehkan kepolisian menangkap siapapun yang dicurigai akan
melakukan makar.
Buya Hamka
dipenjara di berbagai tempat di wilayah Puncak hingga Sukabumi. Beliau
diinterograsi oleh banyak polisi secara bergantian. Pemeriksaan itu cukup
menyiksa, dengan kondisi beliau saat itu sudah berusia 56 tahun, hingga tidak
tertidur dalam beberapa hari pemeriksaan. Beliau akhirnya bisa istirahat
setelah kemudian dipaksa menandatangani sebuah surat pengakuan. Mengakui hal
yang tidak pernah ia perbuat sebelumnya.
Beliau juga
dijebak dengan berbagai pertanyaan. Termasuk dengan sebuah pernyataan dari
seorang sahabatnya, Zawawi, yang ternyata juga membuat sebuah pengakuan palsu
karena tidak tahan disiksa. Buya Hamka kemudian mengarang bahwa pernah diadakan
sebuah pertemuan untuk merencanakan pembunuhan Presiden Sukarno di Tangerang.
Meski kemudian terbantahkan melalui proses rekonstruksi yang tidak menemukan
bukti maupun tempat seperti yang digambarkan.
Fitnah lainnya
ialah bahwa Buya Hamka menghasut mahasiswa di IAIN Ciputat (kini UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta) untuk meneruskan pemberontakan Kartosuwiryo (DI/TII),
Daud Bereuh (Aceh) dan yang lainnya. Buya Hamka kemudian ditahan selama kurang
lebih dua tahun empat bulan. Di tengah masa tahanan, penyakit wasir beliau
kambuh. Sehingga beliau meneruskan tahanan di Rumah Sakit Persahabatan,
Jakarta. Rupanya, menurut sebuah kisah, dokter yang merawat beliau di Rumah
Sakit Persahabatan merupakan pengagum beliau. Sehingga, beliau terus dinyatakan
"sakit" agar tidak harus kembali ke tahanan. Beliau tetap tinggal di
rumah sakit dan bisa mendapat perawatan yang lebih manusiawi.
Selama masa
tahanan, Buya Hamka diizinkan untuk membawa berbagai buku bacaan. Beliau
menghibur diri dengan kisah Ibnu Taimiyah, ulama besar Islam yang pernah
mengalami hal serupa. Ditahan oleh rezim yang berkuasa dan mengalami
penyiksaan. Beliau melanjutkan proyek penulisan buku Tafsir Al Azhar. Buku
tafsir ini hampir selesai ketika masa
tahanannya berakhir. Setelah bebas pada akhir Januari 1966, Buya Hamka kemudian
melakukan penyempurnaan dan menerbitkan Tafsir Al Azhar, hingga bagian
terakhirnya terbit beberapa waktu sebelum beliau meninggal dunia di tahun 1981.
Setelah bebas dari penjara, kemudian hidup di masa pemerintahan Orde Baru, Buya
Hamka rupanya tidak menaruh dendam kepada orang-orang yang dahulu pernah
menuduh dan memenjarakannya. Bahkan beliau menyalatkan jenazah Soekarno yang
telah memenjarakannya. Dan Ia juga memaafkan Pramoedya. Padahal,
namanya dihancurkan Pramoedya lewat tulisan di surat kabar Bintang Timur yang
merupakan media pro-PKI.
Sutan Sjahrir DKK
Gelombang
pemenjaraan, tidak berhenti kepada tokoh-tokoh yang PRRI (Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia) yang sudah mendapat amnesti, tetapi juga
menimpa tokoh-tokoh politik yang tidak terlibat dalam pergolakan daerah. Sutan
Sjahrir adalah perdana menteri sekaligus menteri luar negeri Indonesia yang
pertama. Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia yang dianggap terlibat
pemberontakan PRRI/Permesta.
Ironisnya,
tahun 1962, Sjahrir ditangkap bekas rekan seperjuangannya sendiri, Soekarno.
Sjahrir dipenjara oleh bangsanya sendiri. Bangsa yang dia perjuangkan puluhan
tahun untuk merdeka. Kisah penahanannya bermula dari undangan dari Anak Agung
Gede Agung pada 18 Agustus 1961. Mantan Menteri Luar Negeri RI dalam kabinet
Burhanuddin Harahap ini menggelar upacara ngaben untuk ayahnya, Raja Gianyar.
Maka,
datanglah Hatta, Sutan Sjahrir, Moh. Roem, Sultan Hamid II, dan sejumlah tokoh
lain untuk memenuhi undangan Anak Agung Gde Agung. Tapi belakangan pertemuan
ini disebut sebagai ajang konspirasi subversif oleh Soebandrio, yang kala itu
menjabat Menteri Luar Negeri dan Kepala Pusat Intelijen. Pada 16 Januari 1962,
Sjahrir ditangkap di rumahnya. Kemudian Anak Agung Gde Agung, Soebadio
Sastrosatomo, dan Sultan Hamid II pun ditangkap. Tokoh-tokoh Masyumi seperti
Moh Roem dan Prawoto Mangkusasmito juga ditangkap. Hanya Hatta, kolega
berpolitik Sjahrir sejak 1920-an di Belanda, yang tak disentuh.
Bersama para
tahanan politik lain, Sjahrir ditempatkan di sebuah rumah di Jalan Daha,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tiga bulan kemudian mereka dipindahkan ke
Madiun, Jawa Timur. Di sana mereka diperlakukan dengan cukup baik.
Jurnalis Rosihan Anwar, dalam Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, Demokrat
Sejati yang Mendahului Zamannya, menulis, "Keadaan di penjara
Madiun dengan sipir yang bersikap luwes cukup membantu para penghuninya supaya
tidak terlalu stress. Ada kolam renang, ada lapangan tenis. Keluarga dan handai
taulan gampang berkunjung."
Pada November
1962, dokter keluarga mendapati tensi Sjahrir demikian tinggi. Atas desakan
para tahanan, Pemerintah merawat Sjahrir di RSPAD. Himbauan Hatta agar Sjahrir
dibebaskan, tidak digubris oleh penguasa. Ketika di RSPAD RSPAD Gatot Subroto,
Jakarta. keadaannya membaik, lalu ia dipindahkan ke penjara di Jalan Keagungan,
Jakarta. Pada Februari 1965, ia dipindahkan lagi ke RTM Budi Utomo, tempatnya
mengalami stroke kedua. Kesehatan Sjahrir di dalam tahanan terus memburuk.
Tidak ada cara lain, dia harus dibawa ke Zurich, Swiss. Dia menjalani perawatan
hingga meninggal tanggal 9 April 1966 pada umur 57. Statusnya saat meninggal
masih sebagai tahanan. Jenazah Sjahrir dipulangkan dari Swiss. Pemerintah yang telah memenjarakannya selama bertahun-tahun,
menerbitkan Keputusan Presiden No. 76/1966 yang menyatakan bahwa Sjahrir
direhabilitasi dan ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional.
Selain tokoh Buya Hamka dan Sutan Sjahrir, banyak tokoh-tokoh terkenal lainnya yang ikut menjadi korban penangkapan. Tokoh-tokoh tersebut adalah Prawoto Mangkusasmito, Subadio Sastrosatomo, dan Mr Mohamad Roem. Tidak lama kemudian, datang pula Mr Anak Agung Gde Agung. Yunan yang kala itu menjadi korban penangkapan juga, memperhatikan wajah-wajah yang dikenalnya itu, Yunan sampai pada kesimpulan: “Penahanan ini bersifat politik. Sasarannya, para pemimpin Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Masyumi.” Kelak jumlah tahanan di Mess CPM bertambah menjadi 15 orang dengan masuknya Mochtar Gozali, K.H.M. Isa Anshary, Imron Rosjadi, Hasan Sastraatmadja, Kiai Mukti, E.Z. Muttaqien, Mochtar Lubis, J. Princen, Sultan Hamid II, dan Sholeh Iskandar.
Penulis : Riskryto
Penyunting : Argha Sena
Sumber : goriau.com, kompasiana.com, liputan6.com, merdeka.com,
republika.co.id
0 komentar:
Posting Komentar