Beberapa
dari kita mungkin tidak menyadari bahwa pulau jawa hampir sepenuhnya islam kala
masih zaman kerajaan. Mulai dari berdirinya kerajaan demak hingga kerajaan
Islam lain yang mulai menyebar ke seluruh pulau jawa. Namun yang mengherankan
adalah kerajaan di pulau Bali yang saat itu masih menganut agama hindu. Padahal
kala itu Islam memiliki kerajaan-kerajaan besar yang selepas runtuhnya kerajaan
Majapahit. Hal ini tentu menjadi tanda tanya besar apakah islam tidak pernah
berdakwah di Bali ataukah ada masalah lain yang membuat agama Islam tidak
berkembang pesat di pulau ini seperti kerajaan-kerajaan lain di pulau Jawa.
Adapun kerajaan di pulau Bali saat itu adalah kerajaan Gelgel, sebelum akhirnya
di pecah menjadi kerajaan- kerajaan kecil yang tersebar di pulau Bali.
Kerajaan Gelgel
Kerajaan
Gelgel adalah salah satu kerajaan yang pernah didirikan di Pulau Bali. Wilayah kekuasaannya mencakup seluruh Pulau Bali, Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Kerajaan Gelgel menerapkan sistem pemerintahan yang
disesuaikan dengan Kerajaan Majapahit. Masyarakatnya terbagi menjadi Bali Hindu dan Bali Aga. Raja Kerajaan
Gelgel yang pertama adalah Dalem Ketut Ngelesir. Ia adalah keturunan dari dinasti Kerajaan
Majapahit. Wilayah awal dari Kerajaan Gelgel mencakup seluruh Pulau Bali.
Wilayah ini diperoleh dari penaklukan Kerajaan Majapahit pada tahun 1434
terhadap kerajaan-kerajaan kecil di Pulau Bali. Pada abad ke-17, wilayah
Kerajaan Gelgel mencakup seluruh Pulau Bali, Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Kerajaan
Gelgel berakhir pada masa pemerintahan Ki Agung Maruti setelah diserang oleh pasukan Dewa Agung
Jamber pada tahun 1687. Kerajaan Majapahit saat itu adalah
kerajaan yang besar hingga sampai ke pulau Bali. Hampir semua bidang kehidupan, utamanya setelah ekspansi besar Maha
Patih Gajah Mada di Bali pada 1343, terpengaruh oleh kebudayaan Jawa yang
dibawa Majapahit. Begitu kentalnya pengaruh tersebut, hingga penyebaran
pertama agama Islam di Pulau Bali itu juga tidak terlepas dari campur
tangan Prabu Hayam Wuruk (1350–1389), raja yang membawa Majapahit pada
puncak kejayaannya. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, Kerajaan
Majapahit mewajibkan kerajaan bawahannya di Pulau Bali untuk menerapkan sistem
pemerintahan yang sama dengan kerajaannya, yaitu Manawa Sasana. Sistem
ini mengikuti ajaran agama Hindu, sehingga raja memiliki kekuasaan tertinggi
dalam kerajaan.
Masyarakat
Muslim di Bali muncul berkat hubungan yang baik antara Majapahit sebagai negara
penguasa dengan Bali sebagai kerajaan yang dikuasai. Ketika Hayam Wuruk
memerintah, Dalem Ketut Ngelesir (1380-1460), putra raja pertama Samprangan Sri
Aji Krisna Kepakisan alias Dalem Sri Kresna Kepakisan (memerintah 1352),
mendapat undangan berkunjung ke Keraton Majapahit pada 1380-an. Hayam Wuruk
sedang mengadakan konferensi di kerajaannya dengan mengundang kerajaan-kerajaan
yang menjadi sekutunya.. Dalem Ngalesir datang mewakili Kerajaan Gelgel,
pecahan dari Kerajaan Samprangan yang dikuasai kakak tertuanya.
Dalam buku Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang
Hilang, peneliti senior Lembaga Ilmu
Pengatahuan Indonesia (LIPI) Dhurorudin Mashad menceritakan bahwa ketika
kembali ke Gelgel, Dalem Ngalesir mendapat pengawalan dari pemerintah
Majapahit. Ia diberi 40 orang pengiring dalam perjalanan pulangnya itu.
Mayoritas dari mereka berprofesi sebagai tentara, sementara sisanya berkerja
sebagai juru kapal dan juru masak. Setelah sampai, 40 orang Islam itu tidak
ingin kembali ke wilayah Majapahit dan memilih untuk tinggal di Bali. Akhirnya
Dalem Ngalesir memberi satu daerah pemukiman khusus di Gelgel. Keempat puluh
orang itu pun diperintahkan mengabdi kepada Kerajaan Gelgel, tanpa syarat
apapun. Artinya mereka tidak harus berpindah kepercayaan mengikuti agama yang
berkembang di Gelgel. Dari sinilah awal mula agama Islam di Bali. Komunitas
Muslim pertama di Bali lalu membangun masjid di Gelgel, yang sekarang dikenal
sebagai masjid tertua di tanah Bali. Dan Islam mulai berkembang dari daerah
yang berpenduduk muslim di Gelgel. Menurut Hassan Ali, dalam pembangunan masjid
sejak abad XIV hingga sekarang juga mengalami akulturasi dengan unsur
arsitektur Bali atau menyerupai corak (style) wantilan (joglo). Akulturasi dua
unsur seni yang diwujudkan dalam pembangunan masjid, menjadikan tempat suci
umat Islam di Bali tampak beda dengan bangunan masjid di Jawa maupun daerah
lainnya di Indonesia.
Banyak yang beranggapan Hayam Wuruk
ingin mengurangi jumlah populasi Muslim yang terus berkembang di pusat
pemerintahannya dengan mengirim orang islam ke Bali. Ia khawatir kaum minoritas
itu akan mendominasi daerah kekuasaannya Mengingat Majapahit adalah kerajaan
Syiwa-Buddha.
Menurut
arkeolog dan epigraf Hasan Djafar, dalam tulisannya “Beberapa Catatan Mengenai
Keagamaan pada Masa Majapahit Akhir” dimuat Pertemuan Arkeologi IV, di
bawah kekuasaan Hayam Wuruk banyak penduduk Majapahit yang sudah memeluk Islam.
Sebagai bukti, para arkeolog telah berhasil menunjuk pemakaman Islam kuno di
Desa Tralaya, Trawulan, Mojokerto. “Mengingat pemakaman ini letaknya tak jauh
dari kedaton, dapat disimpulkan ini adalah pemakaman bagi penduduk kota
Majapahit dan keluarga raja yang telah beragama Islam,” ungkap Hasan.
Penyebaran Islam Terhalang
Kerajaan Gelgel-Klungkung diperintah
oleh Dalem Waturenggong (1460/1480--1550) setelah Dalem Ngalesir turun tahta.
Masa ini juga menjadi puncak kejayaan Islam di Nusantara karena
kerajaan-kerajaan Islam mulai tersebar di pulau Jawa. Sementara Hindu-Buddha,
termasuk Majapahit, pengaruhnya kian surut akibat banyak kerajaan yang mulai
menerima keberadaan agama Islam di wilayahnya. Majapahit sendiri mendapat
serangan dari Kesultanan Demak pada 1518 karena upaya mengislamkan kerajaan
Majapahit. Akhirnya keruntuhan kerajaan besar itupun tidak lagi dapat
dihindari. Momen kehancuran Majapahit lalu dimanfaatkan oleh Dalem Waturenggong
untuk memerdekakan wilayah Bali dan memperluas wilayah kekuasaannya.
Pada masa pemerintahan Sultan
Trenggana (1521-1546), Demak mengirim utusan ke Kerajaan Gelgel-Klungkung.
Menurut Dhurorudin ekspedisi damai itu bertujuan menjalin hubungan baik sebagai
sesama mantan vasal (kerajaan yang dikuasai) Kerajaan Majapahit. “Namun,
intinya tujuan ekspedisi ini adalah untuk menyebarkan Islam,” tulis Dhurorudin.
Dalam hal ini kerajaan Demak ingin mengislamkan Bali melalui jalan perdamaian
dan bukan melalui penaklukan.
Kerajaan Demak lalu mengirim utusan
ke Bali, Namun Dalem Waturenggong tidak ingin kerajaannya di Islamisasikan.
Utusan yang telah dikirim lebih memilih bergabung dengan komunitas muslim yang
ada di Bali. Dalem Waturenggong mulai menyusun rencana agar dapat menghalangi
pengaruh Islam di Bali. Dalam Babad Dalem: Warih Ida Dalem Sri Aji Kresna
Kepakisan karya Tjokorda Raka Putra disebutkan bahwa setelah
menjadi negeri merdeka, Waturenggong segera memperluas wilayah kekuasaannya
hingga ke Blambangan, Lombok, dan Sumbawa. Ia berhasil menguasai ketiga wilayah
itu antara tahun 1512 sampai 1520.
Menurut I Made Sumarja, dkk. dalam Sejarah
Masuknya Islam dan Perkembangan Pemukiman Islam di Desa Kecicang Kabupaten
Karangasem Provinsi Bali perluasan wilayah Kerajaan
Gelgel-Klungkung hingga ke Lombok merupakan usaha lain Waturenggong menghadang
penyebaran ajaran Islam di negerinya. Namun selepas Dalem Waturenggong, tidak
ada lagi raja yang mampu membangun Gelgel-Klungkung. Kerajaan itu pun akhirnya terpecah
dan mulai menunjukkan kemunduran. Akibatnya, kekuasaan mereka di Lombok
berhasil diruntuhkan. Penguasa Klungkung selanjutnya memilih menjalin hubungan
baik dengan Lombok, bukan menaklukkan dengan paksaan. Setelah itu penyebaran
masyarakat Muslim dari Lombok ke Bali mulai gencar terjadi. Meski pengaruhnya
di masyarakat tidak dapat menggeser dominasi Hindu, yang telah berabad-abad
menjadi kepercayaan utama rakyat Bali.
Alasan Kerajaan
Bali Tetap Beragama Hindu
Ringkasan dari buku Robert Pringle
(2004) A Short History of Bali: Indonesia’s Hindu Realm. Alasan mengapa
kerajaan Islam tetap beragama hindu adalah sebagai berikut:
1. Penduduk Bali sebagian besar berasal dari luar Bali, kemungkinan
berasal dari Jawa atau Lombok. Bahasa Bali lebih mirip bahasa Sasak di Lombok
daripada bahasa Jawa. Bali tidak pernah putus hubungan dengan Jawa dan juga
Kerajaan lainnya. Raja Airlangga adalah “setengah Bali” karena berayah Bali dan
beribu Jawa (cucu Mpu Sindok). Bali selalu berada dalam pengaruh Kerajaan di
Jawa terutama Majapahit. Bali tidak pernah secara nyata “anti Islam”, walaupun
memiliki budaya yang berbeda. Ini sebabnya Bali tidak pernah merasa harus
ditundukkan oleh Kerajaan Islam, terutama Mataram di Jawa. Minoritas Islam yang
berdagang, terutama di Bali Utara, dan menjadi tentara tetap dapat singgah di
Bali.
2. Sejak runtuhnya Majapahit kemudian Pajang-Jipang-Demak sampai
Mataram yang paling kuat, setidaknya ada jeda selama 100 tahun. Saat Majapahit
runtuh dan Gelgel menguat, Mataram belum terlalu kuat. Walaupun Mataram dapat
mengusir Gelgel dari Blambangan, Gelgel masih terlalu kuat untuk ditaklukkan.
3. Ketika Mataram mulai menguat dan Gelgel mulai melemah, datang
Belanda yang membuat Mataram harus membagi konsentrasi. Mataram juga dilemahkan
oleh konflik-konflik internal.
4. Mataram menjadi defensive saat kekuatan Belanda menguat, tak lagi
memikirkan ekspansi. Mataram justru semakin kehilangan wilayah kekuasaannya
seiring dengan menguatnya Belanda. Karena Mataram yang melemah, tidak ada
keuntungan yang didapat dari penguasa di Bali untuk memeluk Islam.
Selain itu, Menurut Dhurorudin
alasan Gelgel tidak dapat menerima pengaruh Islam di Bali adalah ikatan
historis emosional dengan Majapahit. Meski terbebas dari kuasa vasal Majapahit,
tetapi penyerangan Demak tidak bisa begitu saja diterima. “Mereka (para
pangeran dan mantan pejabat Majapahit) yang lari ke Bali tentu menyebarkan
informasi tentang nasib tragis mereka ke penduduk lokal, sehingga ikut menjadi
kurang bisa menerima Islam,” tulis Dhurorudin.
Walaupun hingga kini muslim di Bali
masih minoritas, namun akulturasi hindu-muslim di Bali terjalin semakin erat.
Hal ini dikarenakan sifat saling menghargai untuk memeluk agamanya
masing-masing. Islam memang tidak berkembang pesat di Bali selayaknya di Pulau
Jawa. Hal ini dikarenakan dari Kesultanan Demak berupaya mengislamisasikan Bali
melalui jalur perdamaian dan bukan karena penaklukan. Selain itu bali juga
telah melekat kuat memegang agama warisan turun-temurun sehingga tidak memiliki
niat untuk berpindah agama. Selain itu juga banyak faktor lain yang membuat
Bali tetap mayoritas dengan agama hindunya.
Penulis : Riskyrito
Penyunting : Argha Sena
Referensi :bayudardias.staff.ugm.ac.id, historia.id, kompas.com, wikipedia.org
0 komentar:
Posting Komentar