Selain kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa, maka
dari etnis Melayu juga memiliki kesultanan melayu yang tak kalah terkenalnya.
Salah satu dari kesultanan Melayu yang
terkenal adalah kesultanan Johor. Johor merupakan salah satu dari kekuatan
politik atau negara yang bersaing ketat untuk memantapkan perannya sebagai ahli
waris Malaka, demikian pula ketika kawasan tersebut mulai dikuasai oleh kekuatan
kolonial Eropa. Puncak kejayaannya antara akhir abad ke-16 dan awal abad ke-18,
kesultanan Johor-Riau menerima sumpah kesetiaan dari masyarakat yang tinggal di
seluruh kawasan geografik yang mengagumkan.
Kekuasaan itu meliputi bagian-bagian selatan
Jazirah Melayu, Kepulauan Riau (termasuk Singapura masa kini), kepulauan
Anambas, Tambelan dan kelompok pulau Natuna, kawasan di sekitar Sungai Sambas
di Kalimantan barat, dan Siak di Sumatra tengah-timur. Selain itu, kesultanan
Johor-Riau juga menyatakan bahwa orang-orang yang diperintah oleh para penguasa
Kampar, bendahara Pahang dan Terengganu adalah sekutunya. Di antara para
sekutunya di awal abad ke-17, terdapat Champa yang kewibawaannya meliputi
Vietnam selatan masa kini. Penguasa Champa sudah memeluk agama Islam dan
menjalin hubungan resmi dengan Johor pada tahun 1606 atau sekitarnya. hubungan
akrab tersebut dipertahankan selama beberapa puluh tahun lamanya.
Johor awalnya adalah bagian dari kesultanan
Malaka, namun Kesultanan Malaka ditaklukan oleh portugis pada tanggal 10
Agustus 1511 dibawah Pimpinan Alfonso d’Albuquerque. Sultan Mahmud Syah I yang
berhasil menyelamatkan diri dari gempuran Portugis kemudian membangun
kesultanan baru di Bintan. Kesultanan ini meliputi Kelantan, Perak Trenggano,
Pahang, Johor, Singapura, Bintan, Lingga, Inderagiri, Kampar, Siak dan Rokan.
Dalam Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu),
setelah wafatnya Sultan Mahmud
Syah I tahun 1528
di Kampar, Sultan
Alauddin Syah, salah
seorang putra raja Malaka, menjadikan Johor sebagai pusat pemerintahannya dan
kemudian dikenal sebagai Kesultanan Johor. Sultan Alauddin Syah kemudian
membangun pusat pemerintahan baru pada kawasan muara Sungai Johor, perlawanan
terhadap penaklukan Portugal terus berlanjut.
Kesultanan Johor menjalin hubungan bersahabat dengan VOC sejak awal tahun 1600, dimulai dengan membuat sebuah persekutuan ad hoc antara Sultan Ala’udin Ri’ayat Shah III dengan laksamana Belanda Jacob van Heemskerk (1567-1807). Johor merupakan salah satu di antara kekuatan-kekuatan Asia yang pertama kali mengutus sebuah misi diplomatik ke Republik Belanda di tahun 1603. Tiga tahun kemudian para utusan kedutaan Johor itu kembali dengan selamat menumpang armada Laksamana Matelieff, dua buah perjanjian resmi diratifikasi antara Johor dan VOC di bulan Mei dan September 1606.
Pada masa yang sama, dari kawasan utara Pulau
Sumatra, muncul kekuatan baru di Aceh yang mulai melakukan ekspansi wilayah
kekuasaan dengan menaklukan beberapa kawasan Melayu dan berusaha mengontrol
jalur pelayaran di Selat
Malaka. Kesultanan Aceh berusaha menyerang kedudukan Portugis di
Malaka, dan juga menyerang kedudukan Sultan Johor. Pada tahun 1613, Sultan Iskandar Muda menaklukan Johor, Sultan Johor beserta
seluruh kerabatnya ditawan dan dibawa ke Aceh. Setelah beberapa tahun di Aceh, Sultan
Alauddin Riayat Syah III berjanji tidak akan lagi membantu Portugis yang telah
menduduki Malaka, maka Sultan Iskandar Muda membebaskan Sultan Alauddin dan
diantar kembali serta dinobatkan kembali sebagai Sultan Johor. Pada tahun 1641,
Belanda berhasil merebut Malaka dari Portugal, dan Belanda mengakui kedaulatan
Sultan Johor atas wilayah kekuasaannya dan pada saat bersamaan kawasan muara Sungai Johor kembali muncul sebagai salah satu pelabuhan
dagang di Semenanjung Malaya.
Pernah pula terjadi permusuhan antara Kerajaan Jambi dan Johor, masalah antara Johor dan Jambi bermula disaat kedua belah pihak berselisih paham mengenai perebutan kawasan yang bernama Tungkal. Pada masa ini Johor diperintah oleh Sultan Abdul Jalil Syah III dan pemerintahan lebih banyak dimainkan oleh Raja Muda. Dalam usaha untuk mendapatkan Tungkal dari tangan orang Jambi, orang Johor telah menghasut penduduk Tungkal untuk memberontak. Hal ini menimbulkan kemarahan Pemerintah Jambi. Namun kekuatan Johor yang disegani pemerintah Jambi pada waktu itu menyebabkan Jambi memilih untuk berdamai. Ketegangan antara Johor dan Jambi dapat diredakan karena perkawinan antara Raja Muda Johor (Sultan Hammat Syah) dengan Puteri Sultan Jambi pada tahun 1659.
Antara tahun 1722 sampai 1746, tahta
Kesultanan Johor diperebutkan oleh Raja Kecil dan Raja Sulaiman. Konflik
perebutan kekuasaan Kesultanan Johor pada tahun 1722 mengakibatkan pewaris
tahta yang sah yakni Raja Kecil melarikan diri ke bekas jajahan Johor yakni
Siak dan mendirikan kerajaan baru yang dikenal Siak Sri Indrapura.
Dikarenakan Raja Kesultanan Johor bukan
pewaris tahta yang sah, maka Raja Pelalawan saat itu, Maharaja Lela II
memutuskan memisahkan diri dari Johor. Wilayah kekuasaan Pelalawan ini kelak
dituntut oleh Sultan Syarif Ali keturunan Raja Kecil yang berkuasa di Siak Sri
Indrapura, karena dianggap masih bagian bekas kekuasaan Johor. Keinginan
tersebut ditolak oleh Maharaja Lela II sehingga Siak Sri Indrapura menyerang
Pelalawan pada tahun 1797 dan 1798 yang berakhir pada kekalahan Pelalawan.
Sultan Syarif Ali mengangkat adiknya Sayid Abdurrahman sebagai raja Pelalawan
sedangkan Maharaja Lela II dinobatkan sebagai "Orang Besar" Kerajaan
Pelalawan karena dianggap masih keturunan Kesultanan Johor.
Setelah Kesultanan Siak Sri Inderapura membuat perjanjian dengan Inggris tanggal 31
Agustus 1818, menjadikan Singapura dan Johor berada dalam pengawasan Inggris. Kemudian
Belanda menekan Sultan
Siak dalam
perjanjian tahun 1822 untuk tidak membuat sembarang kerjasama tanpa persetujuan
dari Belanda serta wilayah Kepulauan
Riau menjadi
bagian kolonial Belanda. Pada tahun 1924, wilayah kekuasaan kesultanan Melayu
ini di pisah menjadi dua dengan pernjanjian London antara Belanda dan Inggris.
Perjanjian wilayah kekuasaan ini menjadikan Riau, Lingga, Pahang dan Johor yang
masih dalam satu rumpun harus dipisahkan. Belanda menguasai Pulau-pulau
Nusantara yang sekarang menjadi Indonesia dan Inggris menguasai Semenanjung
Malaya yang sekarang menjadi Malaysia. Kemudian mereka menempatkan raja bawahan
pada masing-masing kawasan, sehingga muncul dualisme kepemimpinan pada bekas
wilayah Kesultanan Johor, Sultan Husain yang didukung oleh Inggris di Singapura sedangkan Sultan
Abdul Rahman Muadzam Syah yang
berkedudukan di Lingga didukung oleh Belanda dari Tanjungpinang.
Penulis : Riskyrito
Penyunting : Argha Sena
Referensi : anri.go.id, detik.com, kajanglako.com, neliti.com, wikipedia.org
0 komentar:
Posting Komentar