Pada awal-awal kemerdekaan
Indonesia, banyak sekali peristiwa-peristiwa berdarah yang melanda negeri ini.
Banyak rakyat yang tak bersalah menjadi korban, bahkan para petinggi pun tak
luput dari peristiwa berdarah itu. Salah satu peristiwa peristiwa berdarah itu
adalah peristiwa pembantaian keji yang berdalih revolusi. Peristiwa ini terjadi
di daerah Sumatera Timur yang kala itu masih menerapkan sistem kerajaan yang
ingin dihapuskan. Revolusi Sosial Sumatera Timur merupakan gerakan sosial di
Sumatera Utara Bagian Timur, terhadap penguasa Kesultanan dan Kerajaan Melayu
yang mencapai puncaknya pada bulan Maret 1946. Menurut sebagian sumber,
Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum komunis yang hendak menghapuskan sistem
kerajaan dengan alasan anti feodalisme.
Pembantaian yang berdalih revolusi
telah termobilisasi dan terorganisir ini menargetkan para anggota kesultanan,
sutan-sultan dan kerajaan-kerajaan melayu yang ada di Sumatera. Beberapa saksi
mata mengatakan, “Ini bukanlah Revolusi Sosial, tetapi pembantaian
besar-besaran”. “Tak usahlah dikatakan nama peristiwa ini sebagai Revolusi
Sosial. Tak ada itu! Ini Pembunuhan masal di Sumatera Timur yang mesti diusut
dan kebenaran sejarah mesti diluruskan”. “Maret berdarah di Sumatera Timur
adalah pembantaian masal”.
Dikatakan sebagai pembantaian dan bukan
sepenuhnya revolusi sosial, karena para petinggi kerajaan dibunuh secara sadis,
padahal mereka tidak sepenuhnya melakukan perlawanan. Selain itu bahkan
anak-anak gadis diperkosa di depan ayahanda dan keluarganya dan harta juga
dirampas. Layaknya gerombolan perampok yang berkedok revolusi sosial. Yang
berhasil selamat harus pergi dari kampung ke kampung untuk bersembunyi dan
menyelamatkan nyawanya. Kejadian ini menjadi kejahatan yang memilukan sehingga
menimbulkan trauma bagi korban secara turun temurun. Kerajaan-kerajaan melayu
di Sumatera Timur menjadi porak-poranda, keindahan kesultanan dengan ornament
seni yang tinggi habis dihancurkan dan dibakar. Banyak kerajaan dan keraton
yang mereka hancurkan di berbagai wilaya Sumatera Timur. Peristiwa pembantaian
ini menjadi peristiwa menyedihkan dan tragis di pulau Sumatera. Para pembantai
seakan dirasuki setan sehingga hilanglah sifat perikemanusiaan bahkan
permintaan untuk shalat sebelum dibunuh juga tidak dikabulkan.
Berikut adalah beberapa tempat yang menjadi peristiwa kelam dengan dibunuhnya tengku dan sultan-sultan secara sadis.
Kesultanan
Kualuh
Di Tanjung Pasir, kini berada di
Kabupaten Labuhanbatu Utara, ada sebuah Kesultanan Melayu bernama Kualuh. Malam
itu, 3 Maret 1946, sebagian besar penghuni Istana Kualuh sedang terlelap, dan
ada pula yang sedang sholat. Tiba-tiba terdengar suara pintu dipukul-pukul
keras dari luar. “Mana Tengku Besar? Mana Tengku Besar?” teriak orang-orang
yang datang dengan senjata tajam. Tengku Besar adalah gelar bagi Tengku Mansoer
Sjah, putra Sultan Kualuh. Rupanya, malam itu Tengku Mansoer Sjah tidak tidur
di istana, tapi di rumah yang lain.
“Tuanku mana? Mana Tuanku?” Tuanku
adalah panggilan bagi Tuanku Al Hadji Moehammad Sjah, Sultan Kualuh. Dengan
paksa, Tuanku yang sedang beribadah shalat malam itu, mereka bawa ke kuburan
Cina, Lalu Tengku Besar juga dijemput dan dibawa ke tempat yang sama. Tengku
Darman Sjah, adik Tengku Besar, malam itu sedang berada di kuburan istrinya
yang baru saja meninggal dunia. Dia tak henti membacakan ayat-ayat Al-Quran.
Malam itu, dia pun ikut dibawa. Di kuburan Cina itu mereka disiksa Lalu
ditinggalkan begitu saja dalam keadaan sekarat.
Pagi harinya, seorang nelayan yang
lewat melihat tubuh mereka terkapar tapi masih bernyawa. Dengan bantuan
masyarakat, dibawalah ketiga keluarga kesultanan tadi ke istana untuk kemudian
dirawat. Tapi, sekitar pukul 11 siang, datang lagi sekelompok orang yang ingin
membawa sultan dan kedua putranya. Mereka orang yang berbeda dari yang datang
di malam sebelumnya. “Rakyat menginginkan Tuanku dan kedua putranya dibawa ke
rumah sakit,” kata salah seorang dari mereka. “Usahlah, biar kami saja yang
urus,” ujar istri Sultan.
Tapi sekelompok orang yang datang
itu memaksa tanpa ada adab sopan santun. Dan kerabat istana tak dapat berbuat
apa-apa. Mereka pun dibawa entah ke mana dan hingga kita tak pernah terkabar.
Kerabat istana yang lain, termasuk perempuan ditawan selama lebih dari satu
bulan. Mereka dibawa ke sana kemari, dari Rantau Prapat hingga Siantar, mereka
disiksa bathin dan kejiwaan. Bukannya dibawa ke rumah sakit, Al Hadji Moehammad
Sjah dan kedua orang anaknya justru dibunuh secara kejam. “Saat hendak dibunuh,
Tuanku Hasan sempat berkata “Bila kalian hendak membunuh kami, tunggulah Obang
(Azan) selesai dikumandangkan, dan izinkan kami sembahyang sekejap. Ini
permintaan kami kepada kalian yang tak satupun kami kenal ini”, pinta Tuanku.
“Ah, tak penting sholat. Bunuh mereka !”, perintah pemimpin pembunuhan
itu. Tak terhitung berapa banyak korban di Kualuh, Panai, Kota Pinang, atau
juga Sultan Bilah, Tuanku Hasnan terbunuh beserta sekian banyak lainnya.
Kesultanan Langkat
Di Kesultanan Langkat, peristiwa ini
pun tak kurang menyedihkan. Tak sedikit perempuan diperkosa dihadapan
orangtuanya, lelaki dibantai teramat sangat mengejamkan. Di Kesultanan kaya
ini, kehilangan banyak petinggi yang bermutu dan pakar. Adalah Tengku Amir
Hamzah, seorang sastrawan, Pangeran Langkat hulu serta wakil Pemerintah
Republik Indonesia, juga turut dibunuh.
Tengku Amir Hamzah ketika itu adalah
Pangeran Langkat Hilir, kemudian menjadi Bendahara Paduka Raja, lalu Pangeran
Langkat Hulu, lantas menjabat Ketua Pengadilan Kerapatan Kesultanan Langkat.
Pada saat yang sama dan di tanah yang sama, Amir Hamzah juga menjadi Asisten
Residen Langkat dalam pemerintahan Republik Indonesia. Meski bergelar
bangsawan, Amir jarang sekali memakai gelar Tengku-nya. Ia seringkali hanya
menuliskan namanya hanya dengan Amir Hamzah, termasuk ketika menulis
puisi-puisi.
Pada 7 Maret 1946 dengan kendaraan
terbuka, Tengku Amir Hamzah dan lainnya dijemput paksa. Saat itu ia berbaju
putih lengan panjang, ia sempatkan melambaikan tangannya pada orang-orang yang
ingin menyalaminya di jalan. Bersama tahanan lain, Amir dikumpulkan di Jalan
Imam Bonjol, Binjai, lalu dikirim ke perladangan Kuala Begumit untuk disiksa
dan dibunuh. Amir Hamzah awalnya ditahan di sebuah rumah bekas tahanan
Kempeitai di tepi Sungai Mencirim, Binjai. Tiga belas hari kemudian, barulah ia
dieksekusi.
Anehnya, beberapa orang pemuda
ternyata sempat mendatangi Tengku Kamaliah, istri Amir Hamzah, untuk memintakan
apa-apa yang kiranya perlu dikirimkan kepada Tengku Amir Hamzah di camp
penyiksaan. “Ini lah daku titipkan teruntuk suamiku, juadah satu siya
(rantang), masakan Melayu. Dan ini sehelai kain sembahyang, dan sepasang baju
teluk belanga putih, kerana Ku Busu tak lepas dari menderas Al qur’an saban
hari, bawakan lah ini Al qur’an untuk beliau”, ujar Tengku Kamaliah.
Di tempat yang lain di Kuala
Begumit, nyatanya pakaian Tengku Amir Hamzah diambil, diganti dengan celana
goni. Para tahanan diperintahkan menggali lubang; untuk kuburan mereka sendiri.
Satu demi satu para tahanan ditutup rapat matanya. Tangan diikat kuat ke
belakang. Sang algojo ternyata tak lain adalah Mandor Iyang Wijaya. Sebelum
melakukan pembunuhan, ia mengabulkan permintaan terakhir Tengku Amir Hamzah
yang meminta dua hal.
Pertama, ia meminta tutup matanya
dibuka karena ingin menghadapi ajalnya dengan mata terbuka. Kedua, Tengku Amir
Hamzah meminta waktu untuk sholat sebelum hukuman dijatuhkan. Kedua permintaan
Tengku Amir ini entah kenapa dikabulkan mereka. Usai sholat, Sang Pujangga pun
menerima ajalnya. Parang Mandor Yang Wijaya kemudian berayun menebas tengkuk
hingga memutus lehernya.
Malam itu, pada 20 Maret 1946, saat
sang pujangga ternama meninggal. Ia seperti menggenapkan salah satu larik dalam
sajaknya, “Buah Rindu”: datanglah
engkau wahai maut, lepaskan aku dari nestapa. Catatan tentang
kematian Amir Hamzah itu dituliskan Tengku M. Lah Husny dalam bukunya berjudul
Biografi-Sejarah Pujangga dan Pahlawan Nasional Amir Hamzah (1978). Pada
November 1949,sebuah kuburan dangkal dibongkar yang di dakamnya terdapat
delapan mayat. Salah satunya memakai cincin kecubung dengan keadaan kedua giginya
patah. inilah kerangka Amir Hamzah, kerangka itu lalu dikuburkan dipemakaman
keluarga kerajaan di samping Masjid Azizi. Dengan keputusan Presiden nomor 106
tanggal 3 november 1975, Amir Hamzah ditetapkan sebagai pahlawan Nasional.
Bangsawan
Melayu Batubara
Pada tanggal
7- 8 Maret 1946, para Bangsawan Melayu Batubara diculik dan dikumpulkan
di Labuhan Ruku. Kemudian pada hari selasa 12 Maret, mereka dibawa ke
penjara di Pematang Siantar. Tak lama berselang, pada 26 Maret 1946
mereka dibawa lagi di Kampung Merdeka Berastagi, tanpa kepastian untuk
apa bahkan diintimidasi.
Di tanggal 30 Juni, mereka dibawa lagi ke Raya Simalungun. Selanjutnya
pada 1 Juli 1946 dipindahkan ke Bah Birong.
Bangsawan Perempuan dibawa ke Tanjung
Balai pada 23 Maret 1946 – Juli 1946. Mereka ditawan dan hanya diberi
makan dari bahan makanan ternak. Semua harta benda dirampas dan tanah mereka
sudah dipancang. Kaum bangsawan yang dipulangkan, terpaksa hidup di ladang dan
hutan. Penyiksaan dan pembunuhan tak terhitung jumlahnya. Ada yang matanya
dicongkel, kemaluan disayat sayat. Bahkan ada yang dicincang dan dibuang ke
laut. Beberapa korban diantaranya, yaitu: Tengku Nur bin Tengku Busu Abdul
Somad Indrapura, Tengku Anif Indrapura, Wan Bakhtin kemanakan Wan Sakroni Tanah
Datar, Orang Kayo Syahbandar Indrapura, Orang Kayo Achmad cucu Datuk Limo
Puluh, Orang Kayo Musa juru tulis Datuk Limo Puluh, Saudagar Sohor dari Sungai
Balai Kedatukkan Suku Duo.
Kesultanan
Asahan
Maret 1946, azan subuh belum lagi berkumandang
di Tanjung Balai, Kesultanan Asahan. Ketika itu, Tengku Muhammad Yasir – cucu
Sultan Asahan yang ke X – Tuanku Muhammad Husinsyah, menyambut kedatangan
ayahandanya yang baru tiba dari istana. Ayahnya baru pulang berjaga-jaga karena
terdengar kabar akan ada penyerangan. Rumah keluarga Tengku Yasir tak jauh dari
Istana Asahan. Kedua lokasi tersebut sama-sama berada dalam lingkaran Kota Raja
Indra Sakti, yang di tengahnya terhampar lapangan hijau.
Ketika itu, Tengku Yasir, yang berusia 15
tahun, membukakan pintu untuk ayahandanya. Dia lalu menatap ke arah lapangan
hijau di depan rumahnya. Ada sekelompok orang merayap ke arah istana. Yasir
melihat pakaian mereka biasa saja. Tapi, mereka membawa senjata api juga
senjata tajam. “Ontu(ayahanda) , tengoklah itu, Ntu!” ujar Yasir pada sang ayah
sambil menunjuk ke arah lapangan. Melihat apa yang terjadi, mereka kemudian
masuk ke rumah. Pukul enam pagi itu, istana diserang sekelompok orang. Tuanku
Sjaiboen Abdoel Djalil Rachmatsjah, Sultan Asahan waktu itu, dapat melarikan
diri dari belakang istana. Dia berlari disesuatu tempat yang tersembunyi.
Satu jam kemudian, sejumlah orang datang ke rumah Tengku Yasir. Dia dan ayahnya dibawa. Tapi Tengku Yasir kesulitan berjalan karena tapak kakinya sedang sakit dan diperban. Melihat kaki Yasir yang sakit dan mengeluarkan bau tak sedap, dia tak jadi dibawa. Tengku Yasir pun lari ditengah sakitnya, menyelamatkan diri ke rumah Tengku Haniah, kakak sepupunya. Rupanya, di rumah itu pun tak ada lagi lelaki. Semua sudah diculik sekelompok orang yang melakukan penyerangan. Dan tak lama datang lagi sekelompok orang untuk membawa mereka.
Itulah peristiwa berdarah yang terjadi di Sumatera Timur yang kala itu dikatakan sebagai revolusi sosial. Dengan begitu banyak pembunuhan yang dilakukan secara keji masihkah disebut sebagai revolusi sosial. Selain para sultan, Tengku Sortia bin T alhaji Jamta Melayu, cucu dari Tengku Tebing Pangeran, ia adalah Tengku Penasihat Negeri Padang di Tebing Tinggi. Pun tak luput dari korban kekejaman itu. Dia dibawa ketika tengah shalat Isya dalam keadaan bersujud. Istrinya hanya bisa melihat dari kejauhan ketika suaminya dibawa paksa ke tepi sungai yang sangat deras. Dan hilang tanpa kabar berita, kejadian ini membuat istrinya hilang kesadaran dan selalu menyusuri sungai dengan keadaan menangis, berharap suaminya kembali.
Bahkan Sebuah dokumen Belanda memperkirakan bahwa revolusi sosial 1946 ini menelan korban pembunuhan sebanyak 1200 orang di Asahan, belum lagi di negeri-negeri lain di Sumatera Timur. Dari Sungai Londir saat dievakuasi dikemudian hari, menemukan banyak kerangka korban yang terkubur tak teratur, bahkan ada di dinding-dinding tanah.
Penulis : Riskryto
Penyunting : Argha Sena
Referensi : gelora.co, langkatpedia.com,
mandailingonline.com, tempo.co, wikipedia.org
0 komentar:
Posting Komentar