Kami berani bertaruh kalian pasti tidak banyak yang mengenal nama Tan Jin Sing, kecuali masyarakat Tionghoa yang berada di Yogyakarta karena Tan Jin Sing adalah tokoh yang sangat dibanggakan. Bukan sekedar kebanggaan di masa lalu tetapi juga sebagai bukti pengabdian masyarakat Tionghoa dalam perjalanan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Maka rasanya kami pantas untuk mengangkat materi ini sabgai bahan pengetahuan tambahan bagi kalian pecinta sejarah nusantara terutama kalian orang jawa dan tionghoa agar lebih lagi mencintai negeri ini.
Bukti pengabdian masyarakat Tionghoa yang sangat besar adalah terdapat tiga keturunan Tionghoa di lingkungan Keraton Yogyakarta. Antara lain Trah Secodiningrat, Trah Honggodrono, dan Trah Kartodirjo.
Trah Secodiningrat adalah trah yang diturunkan Kanjeng Raden Temenggung Secodiningrat yang merupakan Bupati Nayoko (menteri) pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono III (Sultan Raja).
KRT Secodiningrat adalah gelar Kapitan Tan Jin Sing yang diberikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono III. Sebagai kapitan pimpinan masyarakat Tionghoa, Tan Jin Sing adalah tokoh yang mempertemukan budaya Jawa dengan budaya Tionghoa pertama kali.
Tan Jin Sing secara fisik memiliki wajah yang tampan, gagah, berwibawa, berkulit hitam manis, bermata tidak sipit, sekaligus memiliki sorot mata yang tajam dan bersih layaknya bangsawan di masa itu.
Tan Jin Sing tumbuh di lingkungan keluarga Oei The Long yang merupakan juragan gadai di Wonosobo (Jawa Tengah). Banyak yang meragukan kalau Tan Jin Sing adalah keturunan Oei The Long karena berbeda warna kulit. Beliau merupakan keturunan asli dari bangsawan Jawa yaitu cicit dari Adipati Danurejo I, yang merupakan patih pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Bupati Banyumas Raden Temenggung Yudonegoro III yang merupakan keturunan dari Sultan Amangkurat Agung memiliki banyak keturunan. Hal yang lumrah bagi kalangan elit waktu itu karena diterapkannya tradisi memiliki banyak istri. Anak ke-16 yang bernama Raden Ayu Pratrawijaya dipinang Demang Kalibeber, Wonosobo. Dari pernikahan dengan Demang Kalibeber, mereka memiliki tiga putra dan anak bungsunya diberi nama Raden Luwar.
Sepeninggal Demang Kalibeber bersamaan dengan remajanya Raden Luwar, teman dekat Kalibeber yaitu Oei The Long (juragan gadai) mengasihani Raden Luwar karena yatim. Lalu Oei The Long meminta Raden Ayu Pratawijaya agar mengasuh Raden Luwar.
Setelah Raden Luwar diangkat sebagai anak, hampir setiap hari Raden Ayu Pratawijaya bertemu dengan anaknya, seperti halnya Raden Luwar yang selalu merenung dan menangis ingin bersama ibunya.
Karena pertemuan sering terjadi, tumbuhlah benih cinta antara Oei The Long dengan Raden Ayu Pratawijaya. Akhirnya Oei The Long menikahi Raden Ayu Pratawijaya dengan cara islam, karena kebetulan Oei The Long adalah Tionghoa penganut agama Islam. Setelah resmi menjadi anak tiri, Oei The Long memberi nama Tionghoa kepada Raden Luwar yaitu Tan Jin Sing.
Tan Jin Sing
Di tahun 1757, Pangeran Mangkubumi berhasil menguasai sebagian wilayah Mataram sesuai dengan perjanjian Giyanti dan mendirikan Kesultanan Ngayogyakartadiningrat dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Ia kemudian membawa Bupati Banyumas Yudonegoro III ke Yogyakarta sekaligus diangkat sebagai Patih dan diberi gelar Kanjeng Adibapati Danurejo I.
Alasan pengangkatan Yudonegoro III menjadi patih karena jasanya yang besar pada Mangkubumi dalam memperjuangkan haknya di Mataram. Putra sulung Yudonegoro III menggantikan kedudukannya sebagai Bupati Banyumas yang bergelar Yudonegoro IV.
Kepindahan Yudonegoro III ke pusat pemerintahan Yogyakarta dengan memangku gelar baru sebagai Patih tentu diikuti sejumlah anggota keluarganya termasuk menantunya (juragan Oei The Long). Pada saat itu juga Tan Jin Sing (Raden Luwar) menetap di pusat Kesultanan Yogyakarta.
Setelah Tan Jin Sing beranjak dewasa, ia menikahi putri seorang Kapitan Yap Sa Ting Ho (Kapitan Cina di Yogyakarta) pada masa itu. Pernikahan ini menjadikan naiknya derajat Tan Jing Sing. Karena Tan Jin Sing menantu seorang kapitan, maka ia cukup disegani masyarakat Tionghoa apalagi ia dipercaya merupakan orang yang cakap dan memiliki kesaktian yang tinggi. Setelah Kapitan Yap Sa Ting Ho wafat, diangkatlah Tan Jin Sing sebagai penggantinya dengan gelar Kapitan(Lurahing Pacino) di Yogyakarta.
Pada tahun 1813-1815, terjadi kegoyahan di Kesultanan Yogyakarta karena perselisihan antara Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan putra mahkotanya (Sultan Raja). Saat itu Raffles tengah menjabat gubernur jendral di Jawa. Penolakan Sri Sultan Hamengku Buwono II untuk tunduk kepadanya membuat Raffles mengirim pasukan dari India dan Gurkha untuk menghukum Sultan. Pasukan itu disebut pasukan Sepehi oleh rakyat Yogyakarta. Campur tangan Raffles untuk menyingkirkan Sri Sultan Hamengku Buwono II dari kedudukannya ini dikenal sebagai “Geger Sepehi” di Yogyakarta.
Perselisihan tersebut berlanjut antara prajurit pengikut Sultan Raja dan pengikut setia Sri Sultan Hamengku Buwono II yang disebut Sultan Sepuh. Dalam peperangan tersebut Tan Jin Sing mengikuti pihak Sultan raja dengan cara memberikan bantuan berupa segala kebutuhan perang hingga logistik.
Setelah Raffles berhasil mengasingkan Sultan Sepuh ke pulau Penang, Sultan Raja naik tahta dan bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono III. Bersamaan dengan kenaikan Sultan Raja sebagai Sultan, derajat Tan Jin Sing pun ikut naik. Karena bantuan yang besar dari Kapitan Tan Jin Sing, Sri Sultan mengangkatnya menjadi Bupati Nayoko di Yogyakarta yang diberi nama Raden Temenggung Secodiningrat.
Tak hanya itu Tan Jin Sing juga mendapat bantuan dari Sri Sultan sebanyak 1000 ringgit setiap bulan. Keputusan tersebut dikarenakan tunjangan tersebut diberikan turun temurun, jika yang menjadi raja berdarah Sultan Raja.
Selain itu Sri Sultan juga menghadiahi Tan Jin Sing tanah yang terletak di Desa Padokan, Bantul, di wilayah tertentu di bawah pengawasannya. Wilayah tersebut diberikan seiring dengan pemberian pada Tan Jing Sing gelar KRT (Kanjeng Raden Temenggung) Secodinigrat sehingga wilayah ini disebut tlatah atau Bumi Secodiningrat yang wilayahnya meliputi Pecinan (Malioboro), Pajeksan, Gondomanan dll.
Setiap anak laki-laki keturunan KRT Secodiningrat diberi gelar Raden, bila anak pertama laki-laki diwajibkan menggunakan nama kebangsaan Jawa. Sedangkan untuk anak perempuan diberi gelar Raden Roro , jika menikah dengan bangsawan mendapat gelar Raden Nganten.
Hingga tahun 1760-1831 Kapitan Tan Jin Sing mempunyai tiga pendamping. Istri pertama keturunan asal Tionghoa Peranakan yang disebut Nyonya kapitan, istri kedua keturunan Jawa bergelar Mas Ajeng Secodiningrat, sedangkan istri ketiga juga perempuan Jawa yang dipanggil Raden Nganten Secodiningrat. Keturunan KRT Secodiningrat berkembang karena ketiga orang istrinya ini.
Pada tanggal 10 Mei 1831 Kapitan Tan Jin Sing meninggal dunia, dan dimakamkan secara Islam. Kedudukannya sebagai Kapitan Cina sekaligus Bupati Nayoko digantikan putranya yang bernama Raden Dagang, yang memiliki gelar Tumenggung Secodiningrat II. Raden Dagang dilahirkan dari istri pertama atau dari Nyonya Kapitan yang bernama Yap Sa Ting Ho.
Karena lahir dari ibu yang berbeda, dari Tionghoa dan Jawa menjadikan keturunan Secodiningrat tersebar menjadi dua kelompok yaitu budaya Tionghoa dan Budaya Jawa. Meskipun terdapat perbedaan budaya, namun mereka tetap bersatu dalam keluarga besar KRT Secodiningrat dalam wadah Trah Secodiningrat.
Keluarga Trah Secodiningrat banyak tersebar diberbagai kota terutama Jawa. Dan tak hanya beragama Islam, tetapi juga agama lain seperti Katholik, Kristen, dan Budha. Keturunan KRT Secodiningrat menjunjung tinggi perpaduan budaya Jawa dan Tionghoa, sekaligus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Penyunting : Argha Sena
Sumber : kekunoan.com
0 komentar:
Posting Komentar