Pelopor Awal
Henk Sneevliet dan kaum sosialis Hindia Belanda lainnya membentuk serikat tenaga kerja di pelabuhan pada tahun 1914, dengan nama Indies Social Democratic Association (dalam bahasa Belanda: Indische Sociaal Democratische Vereeniging-, ISDV). Para anggota Belanda dari ISDV memperkenalkan ide-ide Marxis untuk mengedukasi orang-orang Indonesia mencari cara untuk menentang kekuasaan kolonial.
Pada Oktober 1915, ISDV mulai aktif dalam penerbitan surat kabar berbahasa Belanda, "Het Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan untuk Indonesia. Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Tapi berubah ketika Sneevliet memindahkan markas mereka dari Surabaya ke Semarang dan menarik banyak penduduk asli dari berbagai elemen seperti agama, nasionalis dan aktivis gerakan lainnya yang akhir-akhir ini tumbuh di Hindia Belanda sejak tahun 1900.
Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang terjadi di Rusia harus diikuti di Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah 'Pengawal Merah' dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan soviet. Para penguasa kolonial menindas dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun.
Sementara itu, ISDV membentuk blok dengan organisasi anti-kolonialis Sarekat Islam. Banyak anggota SI seperti dari Surabaya, Semaun dan Darsono dari Solo tertarik dengan ide-ide Sneevliet. Sebagai hasil dari strategi Sneevliet akan "blok dalam", banyak anggota SI dibujuk untuk mendirikan revolusioneris yang lebih dalam Marxis-didominasi Sarekat Rakjat.
Sarekat Islam saat itu masih belum berseberangan dengan ISDV karena merasa sama-sama anti dengan kapitalisme yang di terapkan pemrintah kolonial Belanda.
Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (PKH). Semaun adalah ketua partai dan Darsono menjabat sebagai wakil ketua. Sekretaris, bendahara, dan tiga dari lima anggota komite adalah orang Belanda. PKH adalah partai komunis Asia pertama yang menjadi bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai pada kongres kedua Komunis Internasional 1921.
Pada periode menjelang kongres keenam Sarekat Islam pada tahun 1921, anggota menyadari strategi Sneevliet dan mengambil langkah untuk menghentikannya. Agus Salim, sekretaris organisasi, memperkenalkan sebuah gerakan untuk melarang anggota SI memegang keanggotaan dan gelar ganda dari pihak lain di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota komunis kecewa dan keluar dari partai, seperti oposisi dari Tan Malaka dan Semaun yang juga keluar dari gerakan karena kecewa untuk kemudian mengubah taktik dalam perjuangan pergerakan indonesia. Pada saat yang sama, pemerintah kolonial Belanda menyerukan tentang pembatasan kegiatan politik, dan Sarekat Islam memutuskan untuk lebih fokus pada urusan agama, meninggalkan komunis sebagai satu-satunya organisasi nasionalis yang aktif.
Bersama Semaun yang berada jauh di Moskow untuk menghadiri Far Eastern Labor Conference pada awal 1922, Tan Malaka mencoba untuk mengubah pemogokan terhadap pekerja pegadaian pemerintah menjadi pemogokan nasional untuk mencakup semua serikat buruh Indonesia. Hal ini ternyata gagal, Tan Malaka ditangkap dan diberi pilihan antara pengasingan internal atau eksternal. Dia memilih yang terakhir dan berangkat ke Rusia.
Pada Mei 1922, Semaun kembali setelah tujuh bulan di Rusia dan mulai mengatur semua serikat buruh dalam satu organisasi. Pada tanggal 22 September, Serikat Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Persatuan Vakbonded Hindia) dibentuk.
Pada kongres Komintern kelima pada tahun 1924, ia menekankan bahwa "prioritas utama dari partai-partai komunis adalah untuk mendapatkan kontrol dari persatuan buruh" karena tidak mungkin ada revolusi yang sukses tanpa persatuan kelas buruh ini
Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pemberontakan 1926
Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatera Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik. Bersama Alimin, Musso yang merupakan salah satu pemimpin PKI di era tersebut sedang tidak berada di Indonesia. Ia sedang melakukan pembicaraan dengan Tan Malaka yang tidak setuju dengan langkah pemberontakan tersebut. Pemberontakan ini akhirnya dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan, 4.500 dipenjara, sejumlah 1.308 yang umumnya kader-kader partai diasingkan, dan 823 dikirim ke Boven Digul, sebuah kamp tahanan di Papua. Beberapa orang meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah.
Tan Malaka
Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh Tan Malaka, salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di Sumatra. Tan Malaka memprediksi bahwa pemberontakan akan gagal, karena menurutnya basis kaum proletar Indonesia adalah rakyat petani bukan buruh seperti di Uni Soviet. Penolakan tersebut membuat Tan Malaka di cap sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral perjuangan Revolusi Rusia. Walau begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi setelah pemberontakan di Jawa terjadi. Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra.
Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Musso kembali dari pengasingan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawah tanah. Namun Musso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kemudian PKI bergerak di berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis, Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama kemudian berpihak pada PKI.
Peristiwa Madiun 1948
Setelah penandatanganan Perjanjian Renville pada tahun 1948, hasil kesepakatan perundingan Renville dianggap menguntungkan posisi Belanda. Sebaliknya, Indonesia menjadi pihak yang dirugikan dengan semakin sempit wilayah yang dimiliki. Banyak unit bersenjata dari Partai Republik kembali dari zona konflik. Hal ini memberikan beberapa keyakinan sayap kanan Indonesia bahwa mereka akan mampu menandingi PKI secara militer. Unit gerilya dan milisi di bawah pengaruh PKI diperintahkan untuk membubarkan diri.
Penangkapan Anggota PKI Madiun
Di Madiun kelompok militer PKI menolak untuk pergi bersama dengan perlucutan senjata para anggota yang dibunuh pada bulan September tahun yang sama. Pembunuhan itu memicu pemberontakan kekerasan. Hal Ini memberikan alasan untuk menekan PKI. Hal ini diklaim oleh sumber-sumber militer bahwa PKI telah mengumumkan proklamasi 'Republik Soviet Indonesia' pada tanggal 18 September dengan menyebut Musso sebagai presiden dan Amir Syarifuddin sebagai perdana menteri. Pada saat yang sama PKI mengecam pemberontakan dan meminta tenang.
Pada 30 September Madiun diambil alih oleh TNI dari Divisi Siliwangi. Ribuan kader partai terbunuh dan 36 000 dipenjara. Di antara beberapa pemimpin yang dieksekusi termasuk Musso yang dibunuh pada 31 Oktober saat tertangkap di Desa Niten Kecamatan Sumorejo, Ponorogo. Diduga ketika Musso mencoba melarikan diri dari penjara. Aidit dan Lukman pergi ke pengasingan di Republik Rakyat Tiongkok. Namun, PKI tidak dilarang dan terus berfungsi. Rekonstruksi partai dimulai pada tahun 1949.
Mayat Musso Setelah Di Eksekusi TNI
Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ utamanya yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah. Pada 1950-an, PKI mengambil posisi sebagai partai nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung kebijakan-kebijakan anti kolonialis dan anti Barat yang diambil oleh Presiden Soekarno. Aidit dan kelompok di sekitarnya, termasuk pemimpin-pemimpin muda seperti Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman, menguasai pimpinan partai pada 1951. Pada saat itu, tak satupun di antara mereka yang berusia lebih dari 30 tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat, dari sekitar 3.000-5.000 anggota pada 1950, menjadi 165.000 pada 1954 dan bahkan 1,5 juta pada 1959.
Oposisi lanjutan oleh Belanda terhadap Irian Jaya adalah masalah yang sering diangkat oleh PKI selama tahun 1950.
Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan-pemogokan, yang diikuti oleh tindakan-tindakan tegas oleh kubu yang menentang PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya, para pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu.
Sukarno dan Aidit
Pada Februari 1958 sebuah upaya kudeta yang dilakukan oleh kekuatan pro-AS antara militer dan politik sayap kanan. Para pemberontak, yang berbasis di Sumatera dan Sulawesi, memproklamasikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia pada tanggal 15 Februari. Pemerintah Revolusioner yang terbentuk ini segera mulai menangkap ribuan anggota PKI di daerah di bawah kendali mereka. PKI mendukung upaya Soekarno untuk memadamkan pemberontakan, termasuk pemberlakuan hukum darurat militer. Pemberontakan itu akhirnya dikalahkan.
Pada bulan Agustus 1959, terjadi upaya atas nama militer untuk mencegah penyelenggaraan kongres PKI. Namun kongres digelar sesuai jadwal, dan ditangani oleh Sukarno sendiri. Pada tahun 1960 Sukarno meluncurkan slogan Nasakom, singkatan dari Nasionalisme, Agama, Komunisme. Dengan demikian peran PKI sebagai mitra junior dalam pemerintahan Sukarno resmi dilembagakan. PKI menyambut baik peluncuran konsep Nasakom, melihatnya dari segi front persatuan multikelas.
Pemilu 1955
Sebelum pemilihan 1955, PKI disukai Sukarno untuk rencana 'demokrasi terpimpin' dan merupakan pendukung aktif Sukarno. Pada Pemilu 1955, PKI menempati tempat ke empat dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di Konstituante.
Pemilihan Umum 1955
Pada 3 Desember 1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada di bawah pengaruh PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini merintis nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan melawan para kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri sebagai sebuah partai nasional.
Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya koreksi terhadap kebijakan Sukarno yang mulai condong ke timur di kalangan militer dan politik sayap kanan. Mereka juga menuntut agar pemerintah pusat konsisten dalam melaksanakan UUDS 1950, selain itu pembagian hasil bumi yang tidak merata antara pusat dan daerah menjadi pemicu. Gerakan yang berbasis di Sumatera dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah terbentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner ini segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan gerakan ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Gerakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan.
Kongres PKI
Pada 1959, militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun, kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno sendiri memberi angin pada komunis dalam sambutannya. Pada 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom yang merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Dengan demikian peranan PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI membalasnya dengan menanggapi konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya sebagai sebuah front bersatu yang multi-kelas dan multi-golongan.
Pemilu 1960
Meskipun PKI mendukung Sukarno, ia tidak kehilangan otonomi politiknya. Pada bulan Maret 1960, PKI mengecam penanganan demokratis anggaran oleh Sukarno. Pada tanggal 8 Juli, Harian Rakyat menerbitkan sebuah artikel yang mengkritik kebijakan pemerintah. Pemimpin PKI sempat ditangkap oleh militer, namun kemudian dibebaskan atas perintah dari Sukarno.
Surat Suara Pemilu 1960
Ketika gagasan tentang Malaysia berkembang, PKI maupun Partai Komunis Malaya menolaknya, dan baik PKI maupun Partai Komunis Malaya menganggap pembentukan Malaysia sebagai proyek neo-kolonialisme dan neo-imperialisme Inggris dan sekutunya.
Dengan berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang pada 1965, PKI menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRT. Partai itu mempunyai basis yang kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) dan Himpunan Sardjana Indonesia(HSI). Menurut perkiraan seluruh anggota partai dan organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin mencapai seperlima dari seluruh rakyat Indonesia.
Pada bulan Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit dan Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April 1962, PKI menyelenggarakan kongres partainya. Pada 1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan sebuah Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh presiden Filipina, Diosdado Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan federasi Malaysia. Para anggota PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat dalam pertempuran-pertempuran dengan pasukan-pasukan Inggris dan Australia. Sebagian kelompok berhasil mencapai Semenanjung Malaysia lalu bergabung dalam perjuangan di sana. Namun kebanyakan dari mereka ditangkap begitu tiba. Sebagian satuan tempur PKI aktif di wilayah perbatasan Kalimantan.
Salah satu hal yang dilakukan PKI setelah masuk kedalam pemerintahan Orde Lama adalah dengan diusulkannya Angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani, Pimpinan PKI bermaksud dengan dibentuknya angkatan kelima ini diharapkan dapat mendukung mobilisasi massa untuk menuntaskan Operasi Dwikora dalam menghadapi Malaysia. Namun, hal ini membuat TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan PKI.
Pada Januari 1964 PKI mulai menyita properti Inggris yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan Inggris di Indonesia.
Pada pertengahan 1960-an Departemen Luar Negeri Amerika Serikat memperkirakan keanggotaan partai meningkat menjadi sekitar 2 juta (3,8% dari populasi usia kerja negara).
Pembunuhan Massal Merupakan Akhir Dari PKI
Sukarno bertindak menyeimbangkan antara PKI, militer, fraksi nasionalis, dan kelompok-kelompok Islam yang terancam oleh kepopuleran PKI. Pengaruh pertumbuhan PKI menimbulkan keprihatinan bagi pihak Amerika Serikat dan kekuatan barat anti-komunis lainnya. Situasi politik dan ekonomi menjadi lebih tidak stabil; Inflasi tahunan mencapai lebih dari 600 persen dan kehidupan Indonesia memburuk.
PKI dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang Peristiwa G30S, makin kuat. Sehingga para pesaing PKI mulai khawatir PKI akan memenangkan pemilu berikutnya. Gerakan-gerakan untuk menentang PKI mulai bermunculan, dan dipelopori oleh Angkatan Darat. Pada Desember 1964, Chaerul Saleh dari Partai Murba (dibentuk oleh mantan pemimpin PKI Tan Malaka) menyatakan bahwa PKI sedang mempersiapkan kudeta. PKI menuntut larangan Partai Murba, tuntutan itu dipaksakan kepada Soekarno pada awal 1965. Dalam konteks Konfrontasi dengan Malaysia, PKI menyerukan untuk 'mempersenjatai rakyat'. Sebagian besar pihak dari tentara Angkatan Darat melarang hal ini. Sikap Soekarno tetap secara resmi untuk tidak terlalu mengambil sikap atas hal tersebut karena Sukarno cenderung mendukung Konfrontasi dengan Malaysia seperti PKI. Pada bulan Juli sekitar 2000 anggota PKI mulai menggelar pelatihan militer di dekat pangkalan udara Halim. Terutama dalam konsep 'mempersenjatai rakyat' yang telah memenangkan banyak dukungan di antara kalangan militer Angkatan Udara dan Angkatan Laut. Pada tanggal 8 September demonstran PKI memulai untuk pengepungan selama dua hari di Konsulat AS di Surabaya.
Pada tanggal 14 September, Aidit mengalamatkan kepada gerilyawan PKI untuk mendesak anggota agar waspada dari hal-hal yang akan datang. Pada 30 September Pemuda Rakyat dan Gerwani, kedua organisasi PKI terkait menggelar unjuk rasa massal di Jakarta terhadap krisis inflasi yang melanda.
Pada malam 30 September dan 1 Oktober 1965, enam jenderal senior Indonesia dibunuh dan mayat mereka dibuang ke dalam sumur. Pembunuh para jenderal mengumumkan keesokan harinya bahwa Dewan Revolusi baru telah merebut kekuasaan, yang menyebut diri mereka "Gerakan 30 September ("G30S"). Dengan banyaknya jenderal tentara senior yang mati atau hilang, Jenderal Suharto mengambil alih kepemimpinan tentara dan menyatakan kudeta yang gagal pada 2 Oktober.
Presiden Soekarno berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat dalam peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang bertindak di luar kontrol dan terpancing oleh inisiasi Barat, dan karena itu Soekarno tidak akan membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan Darat memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan Darat pada tengah malam 30 September menuju dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini segera diterima secara umum sesuai fakta dan ditopang pengalaman buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial dan politik pada tahun-tahun terakhir.
Manifestasi besar diadakan di Jakarta dua hari kemudian, menuntut pelarangan PKI. Kantor utama milik PKI dibakar. Pada tanggal 13 Oktober organisasi Islam Ansor mengadakan aksi unjuk rasa anti-PKI di seluruh Jawa. Pada tanggal 18 Oktober sekitar seratus PKI dibunuh oleh pihak Ansor. Pemusnahan secara sistematis untuk partai telah dimulai.
Maka berakhirlah PKI di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena menjadi organisasi terlarang sampai hari ini.
Referensi :
1). Crouch, Harold (1978). The Army and Politics in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press. ISBN 0-8014-1155-6.
2). Mortimer, Rex (1974). Indonesian Communism Under Sukarno: Ideology and Politics, 1959-1965. Ithaca, New York: Cornell University Press. ISBN 0-8014-0825-3.
3). Ricklefs, M.C. (1982). A History of Modern Indonesia. London: MacMillan. ISBN 0-333-24380-4
4). Sinaga, Edward Djanner (1960). Communism and the Communist Party in Indonesia (MA Thesis). George Washington University School of Government.
4). Sinaga, Edward Djanner (1960). Communism and the Communist Party in Indonesia (MA Thesis). George Washington University School of Government.
5). Roosa, John (2006). Pretext for Mass Murder, The September 30th Movement & Suharto's Coup D'état. Madison, Wisconsin: University of Wisconsin Press. ISBN 978-0-299-22034-1.
6). https://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Komunis_Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar