Prasasti
Wingit di Tirtomoyo, Wonogiri, Jawa Tengah, menjadi salah satu monumen untuk mengingatkan peristiwa
pembantaian yang dilakukan oleh orang-orang PKI. Prasasti itu menggambarkan
penderitaan Kiai dan pengikutnya yang berjumlah 13 orang. Kiai dan pengikutnya
itu dibunuh secara kejam oleh Anggota Parta Komunis Indonesia. Sebelum prasasti
itu didirikan, terdapat sebuah lubang/sumur yang digunakan oleh orang-orang PKI
untuk mengubur mereka. Kiai itu adalah K.H. Dimyathi dan pengikutnya, mereka
hendak pergi ke pusat pemerintahan di Yogyakarta untuk melaporkan kondisi
Pacitansaat itu. Namun sebelum berhasil melaporkan kondisi Pacitan, mereka
tertangkap oleh anggota PKI yang berhasil menguasai daerah itu. Mereka disiksa secara sadis sebelum akhirnya
dimasukan ke dalam sumur.
Kejadian itu terjadi saat pemberontakan Partai
Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1948. Peristiwa ini dikenal dengan
Pemberontakan PKI 1948 di Madiun. Sama seperti pemberontakan tahun 1965, korban
yang jatuh akibat kekejaman PKI pada tahun 1948 juga sangat banyak. Pemberontakan PKI 1948 di Madiun, berusaha
merebut kekuasaan negara.
Pada saat itu, Pemberontakan PKI/Front Demokrasi
Rakyat (FDR) telah merembet ke Pacitan. saat itu, Pacitan adalah salah satu daerah
yang masuk dalam wilayah Karesidenan Madiun. Daerah lainnya adalah Kabupaten
dan Kota Madiun, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Magetan, dan Kabupaten Ngawi.
saat itu Markas PKI berada di Madiun, maka tidak mengherankan jika Pacitan
tidak luput dari daerah yang dikuasai PKI. Tidak berbeda dengan wilayah lain, PKI menggelar permusuhan tidak saja
kepada Pemerintah RI yang berkuasa, tapi juga menjadikan umat beragama terutama
Islam serta berbagai pihak dari partai politik yang berseberangan dengan
komunis, sebagai musuh utamanya.
Di Pacitan, terdapat Pondok Pesantren Tremas yang
saat itu dipimpin KH Hamid Dimyathi. KH Hamid Dimyathi merupakan putra dari KH
Dimyathi, dan cucu dari KH Abdullah. KH Abdullah merupakan salah satu anak dari
pendiri Pesantren Tremas, KH Abdul Manan. KH Hamid Dimyathi juga merupakan
ketua Partai Masyumi di Kabupaten Pacitan. Ia adalah seorang yang alim dan
memiliki banyak ilmu, serta memiliki keberanian untuk menentang ketidakadilan
seperti para kiai umat islam lainnya.
Pada masa perjuangan tahun 1945, KH Hamid
Dimyathi bersama beberapa pengasuh ikut menerjunkan diri dalam kancah
perjuangan. Bahkan KH Hamid Dimyathi masuk dalam KNIP (Komite Nasional
Indonesia Pusat) dan masuk dalam Partai Masyumi yang saat itu merupakan
satu-satunya partai Islam. Karena itulah beliau jarang berada di Pondok sampai
pada masa pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948.
Partai Masyumi saat itu mengeluarkan pernyataan
mendukung pemerintah dan membantu menindas pemberontak PKI Muso dan FDR serta
membasmi pemberontak dan pengkhianat negara. Sebelum munculnya Pemberontakan
PKI di Madiun, suasana kacau begitu terasa di Pacitan. Huru-hara terjadi di
berbagai daerah, terutama daerah-daerah sekitaran Madiun. Pondok Tremas pun
termasuk salah satu sasaran anggota-anggot PKI yang mengganas, membabi buta dan
menghancurkan apa saja yang mereka kehendaki.
Keamanan Pondok Tremas semakin terancam. Kondisi
tersebut membuat KH Hamid Dimyathi yang juga ketua penghulu di Pacitan
prihatin. Dia mencoba melakukan kontak dengan pemerintah pusat di Yogyakarta,
untuk melaporkan kondisi Pacitan. karena laporan gagal disampaikan lewat
telepon, KH Hamid Dimyathi memutuskan berangkat ke Yogyakata. Sebanyak 14
orang, ikut bersamanya. Di antara mereka adalah Djoko, Abu Naim, Yusuf, dan
Qosim. Mereka adalah para kakak dan adik ipar KH Hamid Dimyathi, serta ada juga
Soimun.
Dengan berjalan kaki, mereka menyusuri jalan
pintas. Agar tak diketahui PKI, mereka menyamar seperti penduduk biasa. Namun
na’as, saat rombongan ini berhenti untuk beristirahat di sebuah warung di
wilayah Pracimantoro (selatan Wonogiri), Jawa Tengah, penyamaran mereka
terbongkar oleh gerombolan PKI yang telah menguasai daerah itu. Pracimantoro saat
itu merupakan rute perjalanan yang harus ditempuh dari Pacitan menuju
Yogyakarta.
Mereka ditangkap, disekap, dan disiksa di
Baturetno, wilayah yang cukup tersembunyi di Wonogiri dan memiliki jalur yang
cukup strategis karena dekat dengan Madiun dan Ponorogo. Satu minggu kemudian,
mereka dipindah ke Tirtomoyo, Wonogiri. Di daerah ini, KH Hamid Dimyathi dan
rombongan dihabisi. Tak cuma itu, jasad mereka dimasukkan ke dalam satu lubang
semacam sumur.
Satu orang yang ada dalam rombongan ini, yaitu Soimun,
dibiarkan hidup. Soimun sengaja dibiarkan hidup karena PKI berharap peristiwa
itu dikabarkan ke keluarga dan orang terdekat, dengan harapan umat Islam yang
kontra PKI lebih merasa ketakutan. Situasi kacau saat itu berhasil membuat
takut para masyarakat. Namun pemberontakan tersebut akhirnya berhasil
dihentikan oleh pemerintah. Setelah situasi aman, pelacakan dilakukan
berdasarkan petunjuk yang disampaikan Soimun. Kuburan massal di bekas sumur tua
akhirnya ditemukan. Namun, ketika dilakukan evakuasi dari dalam lubang sumur
tersebut ada 13 mayat yang kondisinya mengenaskan dan sangat sulit dikenali.
Jenazah para syuhada ini kemudian dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Jurug
Surakarta.
Itulah salah satu peristiwa kekejaman PKI Madiun
yang menyebabkan meninggalnya salah satu petinggi Pondok Pesantren tremas. Sama
halnya dengan korban PKI lainnya, mereka terlebih dahulu disiksa lalu kemudian dibunuh dengan sadis. Kekejaman
yang dilakukan oleh anggota PKI bukanlah sebuah misteri, melainkan sebuah
kejadiannya nyata. Setiap korban kekejaman anggota PKI menjadi peristiwa
memilukan bagi bangsa Indonesia yang saat itu belum lama merdeka.
Kekejaman yang dilakukan oleh anggota PKI semoga
menjadi pengingat agar kejadian tersebut tidak terulang kembali. Dan semoga
para syuhada yang meninggal secara syahid ditempatkan di tempat terbaik di sisi
Allah SWT. Dan kita doakan agar tidak terjadi lagi peristiwa kelam yang terjadi
di negara kita.
Sumber Referensi : daerah.sindonews.com
pacitanku.com